Nilai-nilai Pancasila dan Trilogi Kerukunan (Bagian 2)
Oleh: Dr. Norbertus Jegalus
(Dosen tetap pada Fakultas Filsafat Agama Unika Widya Mandira Kupang)
Materi yang dipresentasikan dalam acara “Talk Shaw Pancasila”, bersama anggota FKUB Provinsi NTT, utusan komunitas agama, serta tokoh masyarakat, yang diselenggarakan oleh FKUB Provinsi NTT, di Kupang, 24 November 2020.
Mewujudkan Trilogi Kerukunan
Apa itu Trilogi Kerukunan
Trilogi kerukunan adalah politik kerukunan yang dicanangkan oleh Menteri Agama, Alamsyah Ratu Perwiranegara (1978-1983) yang menyangkut tiga matra kerukunan: antarumat beragama, internal umat beragama, dan umat beragama dengan pemerintah.
Trilogi kerukunan adalah sebuah megaproyek kerukunan yang sangat komprehensif, meskipun dalam pelaksanaannya sejak Orde Baru sampai dengan sekarang, tidak selalu berjalan lancar dan sukses. Akan tetapi, konsep trilogi kerukunan masih sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini dan karena itu menjadi tugas dan tanggung jawab semua kaum beragama untuk mewujudkanya.
Pertama, kerukunan internal umat beragama adalah kerukunan ke dalam sesama agama, jadi antara penganut satu agama, misalnya: kerukunan sesama umat Islam atau sesama umat Kristen.
Perbedaan penafisran atas doktrin teologi dalam satu agama biasa terjadi dan tak jarang perbedaan pandangan itu melahirkan konflik internal agama itu. Perbedaan itu menjadi konfliktual karena ditambah oleh adanya pelbagai aliran dan mashab serta ormas-ormas keagamaan dan akhirnya terjadi saling klaim kebenaran dan bahkan sampai saling mengkafirkan.
Kedua, kerukunan antarumat beragama adalah kerukunan antara umat dari agama yang satu dengan agama lain. Tujuannya adalah untuk menciptakan hubungan yang tidak saling merendahkan dan mengaggap agama yang dianutnya paling benar dan yang lain sebagai salah. Tidak terdapat saling curiga antara satu dengan yang lain.
Ini perlu dilakukan untuk menghindari lahirnya fanatisme beragama yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum. Bentuk nyata yang bisa dilakukan adalah dengan dialog.
Ketiga, kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Posisi dan peran pemerintah di sini sangat menentukan, karena di satu pihak ia pelaku kerukunan berhadapan dengan semua umat beragama dan di pihak lain ia pembuat kebijakan kerukunan itu sendiri. Karena itu, pemerintah perlu bijaksana dalam membuat politik kerukunan agar tidak menjadikan agama-agama hanya sebagai sarana bagi kepentingan politik pemerintah.
Sedangkan dari pihak agama-agama diminta juga sikap taat dan bijaksana dalam menjalankan kebijakan pemerintah. Itu artinya, dalam hidup beragama, masyarakat tidak lepas dari norma hukum negara, jadi kaum agama harus taat kepada norma hukum negara, tetapi sejauh isi hukum itu adil.
Proyek Kerukunan Beragama
Awalnya adalah SKB No. 1/1969
Untuk mencegah konflik antaragama lantaran pembangunan rumah ibadat, maka pemerintah mencetuskan rencana untuk membuat peraturan yang antara lain mempersyaratkan persetujuan mayoritas masyarakat setempat.
Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, langsung memberikan sikap atas rencana itu: „Jikalau sebuah gereja yang akan didirikan harus mendapat persetujuan mutlak mayoritas, maka ada kemungkinan di Indonesia ini tidak pernah akan ada gereja yang akan berdiri, karena mayoritas masyarakat kita adalah yang beragama Islam“.
Akan tetapi pandangan Ali Sadikin itu tidak membatalkan niat pemerintah untuk mengeluarkan peraturan tentang pendirian rumah ibadat. Pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama, K.H. Moh. Dachlan dan Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud, menerbitkan Keputusan Bersama, yang dikenal dengan sebutan SKB No. 1/1969, di dalam mana ditetapkan khususnya pada pasal 4: Ayat 1: Setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapat izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk itu.
Ayat 2: Kepala daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberikan izin yang dimaksud setelah mempertimbangkan: (a) pendapat kepala perwakilan departemen agama setempat; (b) planologi; (c) kondisi dan keadaan setempat. Ayat 3: Apabila dianggap perlu, kepala daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniwan setempat.
DGI (sekarang PGI) dan MAWI (sekarang KWI) langsung mengajukan memorandum kepada pemerintah dan meminta pemerintah untuk meninjau kembali keputusan itu. Argumentasinya adalah bahwa SKB itu memuat suatu kontradiksi di dalam dirinya. Karena di satu pihak negara, seperti ditetapkan di dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945, menjamin hak dan kebebasan beragama dan menjalankan ibadatnya, namun di lain pihak kebebasan itu dikekang yakni adanya persyaratan untuk mendirikan rumah ibadat.
Konflik muncul karena adanya interpretasi masing-masing agama yang tidak luput dari kepentingan diri. Karena di dalam SKB itu tidak secara eksplisit ditetapkan persyaratan bahwa harus ada persetujuan atau tidak ada keberatan dari penduduk di sekitar rumah ibadah yang akan dibangun. Namun dalam pelaksanaannya hal inilah yang menjadi salah satu persyaratan yang justru sangat sulit dipenuhi oleh kaum Kristen.
Karena sulit mendapatkan izin untuk membangun rumah ibadat, ada kaum Kristen yang menjalankan ibadat di rumah-rumah, baik yang dihuni oleh warganya maupun yang secara khusus disewa untuk keperluan itu. Tetapi justru pelaksanaan ibadat di rumah-rumah ini dilarang lagi oleh pemerintah, seperti dilakukan Pemda DKI Jakarta dengan bersandar pada SKB itu.
Karena sulitnya membangun rumah ibadat terutama di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maka banyak umat Kristen mendirikan rumah ibadat secara diam-diam. Namun hal itu justru menjadi alasan bagi masyarakat yang tidak menyetujui kehadiran agama Kristen di wilayah itu untuk melakukan penutupan, perusakan dan bahkan pembakaran. Hal itu mereka lakukan karena mereka bersandar pada SKB itu.
Di satu sisi para perusak gedung Gereja itu memahami bahwa merusak rumah ibadat dilarang oleh agama dan kitab suci, namun di sisi lain mereka berusaha membenarkan tindakan kekerasan itu manakala pembangunan rumah ibadat umat Kristen itu dinilai sudah mengganggu dan mengancam eksistensi umat Islam sebagai agama mayoritas di wilayah itu.
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
Bertolak dari pengalaman negatif itu pemerintah lalu menyempurnakan SKB No. 1 Tahun 1969 itu dengan PBM (Peraturan Bersama Menteri) No. 9 dan 8 Tahun 2006. Dilihat dari segi proses pembuatannya, PBM ini tampak adanya niat yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk membangun kerukunan antarumat agama karena melibatkan semua unsur atau wakil dari setiap agama dalam merumuskannya.
Majelis setiap agama mengirim wakilnya untuk ikut merumuskan peraturan bersama ini. Dengan itu bisa dijamin bahwa isinya akan sesuai dengan kepentingan semua agama dan tidak ada suatu kepentingan tersembunyi dari kelompok agama tertentu.
Pada intinya PBM ini memuat tiga pedoman pokok: pertama, tentang tugas dan peran kepala daerah/wakil kepala daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama di daerah sebagai bagian dari kerukunan nasional, yang sebelumnya hanya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat.
Kedua, tentang tugas dan peran masyarakat dalam memelihara kerukunan, maka dibentuklah wadahnya bernama FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama); dan ketiga, tentang pendirian rumah ibadat. Tetapi justru pedoman pendirian rumah ibadat ini tetap melahirkan konflik antarumat beragama sampai dengan sekarang.
Akan tetapi PBM ini juga tetap rentan terhadap konflik, terutama pasal 13, karena membuka ruang bagi pelbagai penafsiran khususnya menyangkut pengertian „komposisi jumlah penduduk“ dan „keperluan nyata dan sungguh-sungguh“. Karena pemerintah dalam penjelasan resminya tidak menerangkan apa yang dimaksud dengan komposisi penduduk dan keperluan nyata.
Pemerintah hanya mengatakan bahwa „dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud di atas tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi“.
Kemudian dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan keperluan nyata adalah „bila terdapat sekurang-kurangnya 90 pemeluk agama dewasa (dengan KTP) di suatu wilayah kelurahan/desa atau kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi“.
Dari penjelasan itu ternyata yang dimaksud dengan komposisi penduduk adalah persyaratan minimal jumlah pemeluk agama dewasa di suatu wilayah untuk bisa mendirikan sebuah rumah ibadat. Persyaratan ini tetap rentan dengan konflik, karena ada komunitas agama yang demi kepentingan komunitasnya sebagai komunitas mayoritas di wilayahnya, maka mati-matian mempertahankan jumlah 90 pemeluk itu.
Begitu mereka melihat fakta bahwa jumlah yang dituntut tidak terpenuhi, meski pendirian rumah ibadat itu suatu keperluan nyata dan sungguh-sungguh, maka mereka menolaknya dengan pelbagai cara termasuk dengan cara pengrusakan atau pembongkaran. Sementara pengertian „keperluan nyata dan sungguh-sungguh“ tidak diterangkan oleh pemerintah.
Persoalan lain adalah tentang pemanfaatan sementara bangunan gedung yang bukan rumah ibadat untuk ibadat yang diatur dalam pasal 18 sampai pasal 20. Pasal 18, ayat 1 berbunyi: „Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan: a. laik fungsi; dan b. pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat“.
Persoalan kita selama ini adalah bahwa ada kelompok umat beragama yang menggunakan rumah tempat tinggal untuk beribadat, karena tidak mendapatkan izin membangun rumah ibadat dan juga karena tidak mampu secara finansial membangun sebuah rumah ibadat. Namun komunitas agama mayoritas merasa „tidak nyaman“ kalau ada sekelompok kecil umat beragama lain menunjukkan diri mereka dalam bentuk perayaan ibadat agama di wilayahnya.
Perasaan tidak nyaman dari kaum mayoritas inilah yang memicu lahirnya konflik. Dan itu didukung oleh sikap Pemerintah Daerah yang cenderung menganjurkan kepada mereka yang ingin menggunakan tempat sementara untuk beribadat, yaitu kepada komunitas minoritas, untuk memperhitungkan atau menghormati perasaan kaum mayoritas. Tetapi apakah menghormati perasaan kaum mayoritas ini wajar.
RUU Kerukunan Umat Beragama
Melihat banyak kasus kerusuhan atau konflik bernuansa agama dengan korban paling banyak adalah perusakan dan pembakaran gedung Gereja, Menteri Agama Tarmizi Taher pada tahun 1997 mengusulkan sebuah rancangan undang-undang tentang Kerukunan Umat Beragama.
Namun justru kaum Kristen sendiri yang paling depan menolak RUU tentang Kerukunan Umat Beragama itu, karena di mata kaum Kristen, RUU KUB ini sesungguhnya lebih banyak menciptakan masalah daripada menyelesaikan masalah. Intervensi negara begitu besar terhadap urusan agama dan pengaturan pidananya pasal 49-53 sangat mengekang kebebasan beragama baik dalam wujud pengajaran maupun peribadatannya.
RUU KUB (ps.10) mengatur bahwa hari besar agama hanya dirayakan dan diikuti oleh pemeluk agama yang bersangkutan, jadi warga agama lain tidak boleh mengambil bagian dalam perayaan itu. Padahal pengertian hari raya agama seperti diatur dalam pasal 17 adalah bahwa bukan acara ibadat atau kebaktian khusus melainkan hanya sebuah pesta atau pertemuan ramah-tama belaka. Pengaturan seperti ini sangat jelas membuat pengkotakan manusia berdasarkan agama, dan pengkotakan ini jelas tidak mempromosikan kerukunan apa pun di antara anggota masyarakat yang majemuk.
Sedangkan pasal 7 huruf b menetapkan bahwa setiap umat beragama wajib meningkatkan pemahaman ajaran agamanya. Intervensi negara di sini sudah kelewatan. Pengaturan seperti itu hanya dapat terjadi di dalam sebuah negara agama, akan tetapi Indonesia bukanlah negara agama. Yang mewajibkan kaum beragama untuk meningkatkan pemahaman agamanya adalah agama itu sendiri, itu pun diwajibkan tidak secara lahiriah melalui peraturan hukum, melainkan melalui pembangunan kesadaran rohani.
Tugas negara di sini terbatas, yakni hanya menciptakan kondisi yang memungkinkan agama-agama untuk dapat menjalankan ajaran agamanya bukan untuk mewajibkan kaum agama menjalankan ajaran agamanya. Pewajiban secara lahiriah bagi kaum agama melalui peraturan hukum hanya dapat terjadi di dalam negara agama, namun Indonesia bukan negara agama.
RUU KUB ini membuka ruang bagi organisasi sosial keagamaan yang ada di Indonesia untuk mengontrol dengan leluasa pelaksanaan undang-undang ini. Begitu mereka melihat, misalnya, seorang Kristen tidak ke Gereja pada hari Minggu untuk beribadat, maka mereka pun memiliki kekuatan hukum, yaitu undang-undang ini, untuk bertindak atas cara mereka sendiri.
Mengapa mereka bisa mengambil tindakan seperti itu padahal mereka bukan orang Kristen? Alasannya karena seluruh masyarakat mempunyai kewajiban untuk mengontrol pelaksanaan undang-undang ini (pasal 42 tentang peran serta masyarakat)
Bingkai Teologi kerukunan
Karena usul RUU Kerukunan Umat Beragama ditolak lalu muncul usul baru Menteri Tarmizi Taher bahwa agar setiap agama menyusun bingkai kerukunan hidup umat beragama di Indonesia berdasarkan teologinya masing-masing.
Tujuannya adalah mencapai suatu hubungan yang rukun dan harmonis di antara kelompok-kelompok agama yang bermacam-macam di Indonesia, dalam suatu kerangka dan pijakan atas landasan yang sama yang didasari ajaran agama masing-masing.
Bingkai teologi kerukunan hidup umat beragama ini adalah pedoman dan acuan membina, memelihara dan meningkatkan kerukunan hidup di antara umat beragama tersebut tanpa mengurangi iman dan akidah masing-masing.
Nukilan teologi kerukunan dari agama-agama yang ada di Indonesia itu dapat diringkaskan berikut ini: Pertama, posisi dan peran umat Islam dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama di Indonesia sangat besar bahkan Islam sangat mementingkan kerukunan umat beragama. Kalau terjadi gesekan atau konflik dalam masyarakat, maka hal itu tidak berasal dari ajaran Islam, tetapi lebih disebabkan oleh faktor-faktor sosial.
Kedua, orang Kristen dipanggil untuk menjadi warga negara yang patuh. Tetapi kepatuhan itu ada batasnya, yakni sejauh pemerintah sungguh-sungguh melaksanakan keadilan. Ada perbedaan antara agama dan negara. Kerukunan antarumat beragama sangat bergantung pada pemahaman dan penataan yang benar mengenai hubungan agama dan negara.
Ketiga, orang Katolik meyakini bahwa Allah yang diimani di dalam masing-masing agama adalah maha sempurna, maha baik, maha benar, maha pengasih dan maha mutlak. Adapun manusia yang menerima wahyuNya adalah terbatas dan tidak dapat melepaskan diri dari konteks sejarah yang konkret. Pengakuan ini penting untuk menjalankan dialog secara otentik.
Keempat, ajaran Hindu dan Budha. Ajaran Hindu mengutamakan tingkat pencapaian kesadaran pada diri manusia. Ego dan pikiran adalah penyebab dari segala bentuk kerusuhan dalam diri manusia. Kalau manusia mampu melepaskan pikiran maka barulah dia sampai pada tataran budi, dan dengan itu orang itu menjadi bijaksana dalam lingkungan sosialnya.
Sedangkan Agama Buddha mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa menempatkan persatuan dan kesatuan bagi kepentingan dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kepentingan golongan.
Bingkai teologi kerukunan itu jelas suatu upaya positif untuk mencapai saling pengertian di antara pimpinan agama. Dengan adanya saling pemahaman maka terbentuklah kesadaran diri masing-masing agama bahwa setiap agama mempunyai hak hidup sama dan bahwa karena itu mereka harus hidup berdampingan secara damai. Yang selalu menjadi soal kita adalah bagaimana rumusan-rumusan itu sungguh-sungguh hidup dalam masyarakat. (bersambung)
Baca juga: Nilai-nilai Pancasila dan Trilogi Kerukunan (Bagian 1)
Baca juga: Nilai-nilai Pancasila dan Trilogi Kerukunan (Bagian 3)
NONTON JUGA VIDEO TALKSHOW PANCASILA BERIKUT INI: