Kisah LGBT di NTT, LGBT Bukan Makhluk Asing, Tapi Bagian Dari Jemaat

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

POSKUPANG.COM - Kisah LGBT di NTT, Lesbian Gay Biseksual Transgender Itu Bukan Makhluk Asing, Tapi Bagian Dari Jemaat

Idho, Coco, Jhow, Tia, Charli dan Nata, sejumlah LGBT ini punya kebersinggungan yang dekat dengan gereja sebagai umat Kristiani. Mereka berharap gereja bisa terbuka menerima keberadaan LGBT. Sebab Gereja adalah rumah Tuhan yang bisa didatangi oleh siapa saja termasuk LGBT.

Uskup Agung Kupang, Mgr Petrus Turang dengan tegas mengatakan, beridentitas LGBT bukanlah sebuah dosa. Secara biologis LGBT memang terlihat berbeda dengan kebanyakan orang tapi tidak lantas menjadikan mereka sebagai orang yang berdosa.

“Sama dengan kejadian injil saat Tuhan Yesus didekati orang susah dalam “kekacauan sosial”, apakah mereka berdosa? Orangtua mereka berdosa? Dan Tuhan Yesus bilang, siapa bilang mereka berdosa?” kata Uskup Turang, ditemui Senin (14/9/2020).

Bagaimana gereja melihat LGBT harusnya sama dengan bagaimana gereja melihat manusia lain. Bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dengan berbagai perbedaan dan kita menghormati keyataannya.

Uskup Agung Kupang, Mgr Petrus Turang (kanan) dan insert : Pendeta Emmy Sahertian (kiri atas), Wilhelmus Nahak (kiri tengah) dan Pdt Dr. John Campbell-Nelson (kiri bawah) (kolase pos kupang)

“Gereja sebagai gereja mesti memberikan satu kehadiran sehingga setiap orang dalam keadaan martabat apapun dia mendapat penghormatan. Itu intisari dari gereja,” jelas Uskup Turang.

Masyarakat seharusnya tidak menilai dan mengadili LGBT. “Masyarakat melihat hanya ada laki-laki dan perempuan lalu merasa ada yang berbeda dengan pandangan sosial, tapi tetap tidak boleh menilai atau mengadili,” pesan Uskup Turang.

Menurut Ketua BPP Advokasi Hukum dan Perdamaian GMIT Pendeta Emmy Sahertian, LGBT bukan suatu dosa namun kenyataan manusiawi dimana harus diberi perhatian, pertimbangan agar mereka dapat hidup sebagai anggota masyarakat yang terhormat.

Opini bahwa LGBT adalah sebuah dosa dan penyimpangan, kata Pdt Emmy, karena ada tafsir eksklusif dan subyektif. Tafsir terhadap ayat kitab suci dilakukan secara tidak utuh dan belum proporsional.

Uskup Agung Kupang, Mgr Petrus Turang di Istana Keuskupan Agung Kupang, pertengahan September 2020. (pos kupang/jho)

“Tidak pada tempatnya jika orientasi seksual dianggap sebagai criminal. Konsep dosa adalah mereka yang melawan Allah dan menolak anugerahNya. LGBT tidak melawan kondisi alami yang diberikan Tuhan. Mereka tidak menolak anugerah Allah. Malah mereka tidak bisa menolak kondisi terberi yang terjadi dalam hidupnya sebagai anugerah Tuhan,” katanya.

Pendeta Dr. John Cambell-Nelson selaku utusan gerejawi dari United Churh of Christ Amerika Serikat di Kupang menyarakan perlu proses pendidikan kepada jemaat dan pendeta agar bisa menerima kehadiran LGBT. Edukasi dapat dilakukan melalui sekolah teologi atau pertemuan dengan jemaat.

“Pelan-pelan akan membawa suasana yang lebih terbuka. Kerelaan, keberanian dan kesabaran komunitas LGBT sangat menolong dalam proses ini,” ujarnya, Senin (14/9/2020).

Pendeta Dr. John Cambell-Nelson selaku utusan gerejawi dari United Churh of Christ Amerika Serikat di Kupang (dok John Cambell)

Gereja diminta tak menolak memberikan sakramen kepada siapapun termasuk LGBT, kecuali untuk Sakramen Pernikahan.

“Menurut saya sakramen dapat dilakukan kepada siapapun, kecuali sakramen pernikahan. Dalam gereja Katholik pernikahan adalah pernikahan antara dua pribadi perempuan dan laki-laki,” ungkap Uskup Turang.

Meski tidak secara tegas melarang atau mendukung LGBT, hingga kini Keuskupan Agung Kupang dan Sinode GMIT NTT belum membuat peraturan tentang LGBT dalam kehidupan bergereja.

“Kita tidak usah bikin peraturan dan lainnya, nanti bikin susah umat dalam Gereja maupun saudara-saudara kita itu,” sahut Uskup Turang.

Pendeta John Campbell-Nelson pun sepakat, “Sebaiknya jangan dibuat dulu, selama belum ada proses dialog yang matang. Sabar, jangan panik. Tuhan masih bisa memberi terang.”

LGBT bisa menjadi pengurus gereja, pendeta, pastor dan biarawati. “Kalau memang ada dan dapat melakukan pekerjaannya dengan benar untuk kebaikan semua orang, apa kita punya patokan untuk menolak atau tidak,” kata Uskup Turang yang tak tahu apakah ada pastor dan biarawati yang LGBT.

Pdt Emmy mengungkap, ada presbiter bahkan pendeta yang LGBT tapi belum coming out. Hal ini tentu saja menjadi tantangan bagi gereja bagaimana menerima keberagaman ini. “Karena mereka bukan makhluk asing, mereka adalah bagian dari jemaat,” ceritanya, Minggu (13/9/2020).

Pendeta Emy Sahertian (POS KUPANG.COM/NOVEMY LEO)

Menurut Pdt Emmy, Wibawa pastoral pendeta tidak bergantung pada orientasi seksualnya tapi terletak pada bagaimana dia mengelola tubuhnya dengan baik agar menjadi berkat dan tidak menjerumuskan sesama ke dalam kriminal.

Uskup Turang berharap komunitas LGBT menghargai orang lain dalam kehidupan bermasyarakat.

“Kamu jangan hanya melihat dirimu sendiri tapi bagaimana menempatkan diri dalam kondisimasyarakat kebanyakan sehingga dapat diterima sebagai anggota masyarakat, keluarga dan jemaat,” pesan Uskup Turang.

Uskup Turang minta orang tua memiliki anak dalam bagian komunitas LGBT untuk tetap mencintai, memberikan kasih sayang dan tidak mengucilkannya. Karena pengucilkan itu bisa terbawa ke perilaku masyarakat.

“Berikanlah kehadiran sebagai orangtua yang bisa membangun anak supaya dalam keadaan yang khusus itu dia tetap menjadi anggota keluarga, anggota masyarakat yang terhormat,” harap Uskup Turang.

Kisah LGBT Nusa Tenggara Timur: Nyaris Bunuh Diri Hingga Enggan Gereja

LGBT, Iman dan Penerimaan Gereja, Nyaris Bunuh Diri Hingga Enggan ke Gereja

*Apapun Keadaannya Dia Tetap Anak Saya

Meme (67), ibu dari Coco mengaku tak langsung menerima atau menolak anaknya yang gay. “Bagaimanapun dia anak saya, saya tidak bisa membuang dia. Saya selalu mengingatkan dia untuk menjaga kekudusan hidup. Itu penting apalagi dia imam,” kata Meme yang saat itu mengenakan daster, masker dan bersandal jepit.

Meme bersukacita sebab Coco sudah menjadi imam. Ia berharap anak ketiganya itu bisa lebih kuat menghadapi tantangan dalam tugas sebagai seorang imam. Meme berharap orang tua lain bisa memahami kondisi anak yang LGBT.

“Beri dukungan tapi bukan berarti saat dia lakukan kesalahan kita tolerir,” pesan nenek satu cucu ini, Selasa (15/9/2020).

Ini juga yang dilakukan oleh Wilhelmus Nahak alias Emus (69), ayah dari Nata. Meski keluarga besar menolak keberadaan Nata sebagai transpuan, Emus tak pernah menolak atau berlaku kasar baik secara verbal dan non-verbal pada Nata. Bagi Emus apa yang dilakukan oleh Nata adalah hak anaknya.

“Apa saya mesti pukul, saya usir, saya gantung? Kan tidak bisa begitu. Itu bukan hak saya, itu hak anak saya. Saya hanya berdoa agar dikuatkan dan bisa menghadapi tantangan,” kata Emus.

Wilhelmus Nahak alias Emus (69) bersama anaknya, Natacya Goncalves Nahak (kiri) yang adalah seorang trasnpuan, September 2020. (POS-KUPANG.COM/NOVEMY LEO)

Tak putus-putus Emus mengingatkan Nata agar rajin berdoa, mengunjungi gereja dan tetap berbuat baik kepada sesama manusia. Tak jarang Emus pergi ke gereja bersama Nata, menggandeng lengan Nata yang tampak cantik dan percaya diri dengan pakaiannya.

Dan tak sekalipun Emus merasa risih saat berjalan, menggandeng lengan anaknya hanya karena Nata seorang transpuan.

“Saya selalu ada untuk melindungi Nata. Apapun keberadaannya, Nata tetap anak saya,” ungkap Emus. (poskupang.com, novemy leo)

Berita Terkini