Oleh: Ermi Ndoen, Epidemiolog, Gugus Tugas COVID 19 NTT
POS-KUPANG.COM - Ada satu poster menarik yang beredar di media sosial dari Provinsi Papua Barat. Poster itu dibuat Puskesmas Waigama, Kabupaten Raja Ampat Papua Barat.
"Virus Corona Tidak Memandang Siapa Kamu. Mau Kepala Daerah, Kepala Dinas, Kepala Distrik, Kepala Kampung Kah. Apalagi Ko Cuma Kepala Batu"; pesan menarik tentang virus COVID19 atau C19 itu disertai gambar badan manusia berkepala "Batu".
Pesan dari Papua Barat itu kontras dengan data penderita C19 di NTT. Pada hari ini Kamis (24/9), angka konfirmasi positif C19 di NTT bertambah 21 orang setelah kemarin 18 positif baru dan pada Selasa 17 positif baru.
• Antara Pilkada dan Virus Corona
Total 209 penderita baru di bulan September. Ini menandai kenaikan 746 persen jumlah positif C19 di NTT dibanding total bulan Agustus yang "hanya" 28 orang. Total sudah 388 positif di NTT.
Kenaikan signifikan C19 di NTT ini juga sejalan dengan jumlah total angka kenaikan positif C19 secara nasional yang sudah menembus angka 4000-an per hari; membawa Indonesia dengan total kasus di atas 260 ribu kasus dan ada pada posisi 23 dunia saat ini. Telah terjadi lonjakan drastis dibanding kondisi bulan Juni -Juli 2020. Saat itu Indonesia berada pada posisi 40-an dunia.
Kluster Pejabat dan Pilkada
Kondisi kenaikan drastis, harus dilihat sebagai sesuatu yang penting untuk diwaspadai. Sebentar lagi pesta demokrasi langsung yang berpotensi menggumpulkan massa dalam jumlah banyak akan berlangsung di 9 kabupaten di NTT.
• Pesona Air Tejun Cunca Jami Manggarai Barat: Tersembunyi di Sekitar Labuan Bajo
Pesta ini harus dipastikan berlangsung aman dengan protokol kesehatan yang ketat. Bukan apa-apa, sebelum Pilkada dimulai saja, Ketua dan anggota Komisi Pemelihan Umum (KPU) Arief Budiman dan Ubaid Thantowi, serta Ketua KPU Sulawesi Selatan, Faisal Amir terkonfirmasi positif C19.
Belum lagi 60 orang calon kepala daearah yang sudah positif C19, di antaranya calon dari satu kabupaten di NTT. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika semua tahapan pilkada dilaksanakan sejak pendaftaran, penetapan calon, kampanye, tahap pencoblosan dan perhitungan suara berlangsung dengan tidak memperhatikan protokol C19.
Tidak terbayangkan berapa banyak orang yang mungkin terinfeksi virus C19. Kluster pilkada bisa jadi akan menjadi salah kluster baru di NTT yang beberapa kabupatennya juga akan melakukan pesta demokrasi.
Perlu diingat virus C19 hanya bisa dicegah dengan protokol ketat: pemakaian masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan terutama menghindari kerumunan. Hal yang sama sekali diabaikan pemerintah. Bukti bahwa virus C19 tidak pandang bulu, semua orang bisa terinfeksi penyakit ini tidak membuat orang jera. Harian Kompas (22/9) memberitakan merebaknya "Kluster Pejabat".
Lima Bupati di Provinsi Aceh yang aktif berinteraksi dengan publik/masyarakat, positif C19 dan di beberapa tempat lainnya.
Antisipasi timbulnya "Kluster Pejabat" ini beralasan, dan tidak hanya menjadi ancaman di Kota Besar. Patut kita cermati, bahwa para pejabat adalah public figure yang aktif dalam berinteraksi dengan banyak orang, baik sesama "pejabat" maupun dengan masyarakat.
Kunjungan pejabat antardaerah maupun kunjungan kerja di berbagai daerah adalah suatu hal yang lumrah dalam kondisi pandemi C19 saat ini.
Karena itu kluster pejabat merupakan kluster yang harus diantisipasi; dan dukungan para pejabat untuk memberitakan hasil pemeriksaannya ke masyarakat akan sangat membantu dalam pelacakan kontak, jika terbukti positif.
Kluster Pekerja/Tempat Kerja
Kepatuhan terhadap protokol C19 para aparat sipil negara ataupun karyawan di berbagai Lembaga dan tempat kerja saat melaksanakan tugas harus makin ditingkatkan untuk mencegah Kluster Perkantoran atau tempat kerja; termasuk tempat ibadah.
Di NTT, saat ini korban virus C19 juga mulai bermunculan di kalangan tenaga kesehatan. Di Ende, beberapa tenaga kesehatan terpapar virus C19 dari transmisi lokal akibat interaksi dengan pasien. Ini juga terjadi Kota Kupang, Sikka, Alor dan Sumba Timur.
Kita juga semua tahu bahwa tenaga kesehatan kita banyak yang gugur selama masa pandemi C19 ini. Untuk itu perlindungan lebih bagi mereka merupakan pilihan yang utama. Melindungi mereka bukan hanya lewat kelengkapan APD, tapi juga bagaimana kita berperilaku agar tidak menambah jumlah yang positif C19 untuk menjaga ketersediaan sumberdaya kesehatan kita, baik fasiltas dan tenaga kesehatan tidak overload.
Kluster Asrama/Barak
Dari Kompas (21/9) juga diberitakan, di Provinsi Riau, Pasien C19 dari "Kluster Asrama "terus bertambah. Kondisi ini juga terjadi di NTT. Jumlah kasus baru dari "Kluster Asrama/Barak" juga mendominasi dalam kenaikan kasus di NTT saat ini; terutama berasal dari basis-basis pelatihan yang mengumpulkan banyak orang di satu tempat.
Beruntung kluster ini di NTT sudah `di-amankan' oleh kesatuannya sehingga tidak menjadi sumber penularan baru di masyarakat. Untuk itu, kegiatan-kegiatan institusi yang mengumpulkan orang banyak dalam satu tempat dan waktu yang lama, perlu ditinjau kembali. Sebab ini mengundang bahaya.
Kluster Keluarga dan Pelaku Perjalanan
Kluster lain yang paling bahaya dan perlu antisipasi segera atau "Kluster Keluarga". Dari data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 NTT terlihat Kluster Lokal di lingkungan keluarga inti atau kerabat sangat tinggi.
Ada 9 dari 17 Kabupaten/Kota yang melaporkan penularan lokal kluster keluarga. Penularan lokal ini memberikan kontribusi 35 persen total penderita C19 di NTT. Dari data yang ada, satu indeks kasus dalam keluarga, bisa menularkan rata-rata antara 4 -10 orang.
Dengan budaya kekeluargaan yang tinggi di NTT, terutama tingkat pertemuan hidung dan pipi juga tinggi saat bertemu di dalam tenda pesta dan dukacita sangat memungkinkan timbulnya kluster-kluster keluarga di NTT.
Dengan meroketnya angka kasus C19 di NTT, sudah saatnya pemerintah tegas mencegah terjadinya kluster keluarga di NTT melalui pembatasan acara sosial kemasyarakatan untuk sementara waktu.
Kluster pelaku perjalanan di NTT menyumbang hampir setara dengan kluster lokal. Ini menunjukan bahwa aktivitas dan mobilisasi sosial antardaerah dapat memindahkan virus dari daerah lain yang "merah" ke NTT.
Segera kembali pada pengetatkan protokol C19 bagi pelaku perjalanan merupakan hal yang tidak bisa ditawar; terutama bagaimana surveilans berbasis masyarakat, pemantauan terhadap isolasi mandiri dan test sample swab pelaku perjalanan bisa segera di terapkan di NTT.
Rendahnya Angka Test
Kembali ke situasi C19 di NTT yang juga seakan ikut bersaing dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Jumlah positif 188 dalam tiga minggu September mungkin terlihat masih "kecil" dibanding angka di daerah lain. Tapi jangan lupa, sumberdaya kesehatan kita di NTT juga terbatas; dengan rentang geografi berpulau-pulau, tentu membawa tantangan tersendiri.
Apalagi ditambah dengan ancaman paparan virus C19 terhadap tenaga kesehatan yang langsung menangani pasien C19 positif dan rendahnya kapasitas testing sample C19 di NTT
Dengan tingginya angka positif C19 harian di NTT, otomatis akan meningkatkan upaya contact tracing. Jika satu orang positif saja, kemungkin kontak yang harus diambil sample untuk diperiksa antara 50 -100 orang.
Ini belum termasuk hitungan sample para penderita yang harus ditindaklanjuti untuk diketahui tingkat kesembuhannya. Saat jumlah sample yang lagi antre untuk dapat segera diperiksa mulai mendekati angka 900-an; artinya dengan kondisi sekarang delay dalam pemeriksaan sample C19 hingga hasilnya diumumkan sudah berkisar 5 hari hingga 1 minggu. Ini antrian yang harus segera diurai.
Kondisi ini berhubungan dengan kapasitas testing sample kita masih di bawah 200 test per hari; jauh dari standar WHO yang mensyaratkan 1 per 1000 penduduk per minggu.
Untuk NTT, seharusnya minimal ada 1000 sample perhari jika jumlah penduduk kita 5.5 juta jiwa. Rendahnya kapasitas testing swab PCR ini berdampak pada makin lamanya masa tunggu sejak sample diambil, dikirimkan, diperiksa dan hasilnya diinformasikan ke masyarakat.
Tantangan lain adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengambil, mengumpulkan, mengirimkan sample dari berbagai pulau di NTT ke Kota Kupang.
Data menunjukkan, butuh waktu 2-3 hari untuk dapat mengirimkan sample ke LBM RSU Johannes di Kota Kupang. Harus diingat bahwa dengan adanya keterlambatan di setiap tahapan penanganan Kontak atau Suspek C19 akan meningkatkan peluang virus ini menyebar di masyarakat akibat mobilisasi dan interaksi antarmanusia; apalagi jika protokol pencegahan C19 tidak dilaksanakan.
Karena itu sangat dibutuhkan terobosan segera untuk mempercepat pemeriksaan sample swab C19; misalnya dengan segera dioperasikannya Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT yang sedang mempersiapkan pool qPCR RS Pratama UNDANA Kupang.
Sambil menunggu perlu diingat: masker -mencuci tangan -menjaga jarak; termasuk menghindari kerumunan adalah pencegahan paling dasar dan paling ampuh dalam membendung penyebaran virus C19.
Dukungan pelacakan yang cepat dan kapasitas laboratorium untuk meningkatkan cakupan pemeriksaan sampel tidak bisa ditunda. Mari kita semua jaga NTT dari serangan virus C19. Mari bergerak! (*)