POS-KUPANG.COM - Paradoks NTT! Demikian judul buku karya Isidorus Lilijawa. Buku ini lahir pada masa pandemi Corona ( Covid-19). Satu buku lainnya yang juga terbit di era yang sama, yaitu Filsafat Bola.
Pria yang akrab disapa Iso ini memang gemar menulis. Kedua buku tersebut merupakan kumpulan artikel dan opini yang pernah ia tulis sejak menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero.
Iso merupakan seorang politisi. Kader Partai Gerindra ini pernah menjadi anggota DPRD Kota Kupang. Saat ini, Ia aktif sebagai tenaga ahli DPR RI.
• Rachel Vennya: Trending Topic
"Buku Paradoks NTT ini merupakan pergulatan saya selama lima tahun menjadi tenaga ahli DPR RI. Selama saya mendampingi Ketua Komisi V DPR RI, Pak Fary Francis. Kemana-mana selalu bersama dan melihat banyak realitas di lapangan dan saya kemas menjadi tulisan," ungkap Iso dalam acara Baomong Asyik Pos Kupang bertajuk Proses Kreatif Menulis Buku, Kamis (13/8). Kegiatan ini dipandu jurnalis Pos Kupang Intan Nuka.
"Saya sengaja beri judul Paradoks NTT. Memang sedikit provokatif. Tapi, saya menilai konteks NTT ini butuh provokasi-provokasi yang positif supaya kita lebih banyak bergerak bagaimana membangun daerah kita," jelas Iso mengenai judul bukunya.
• Ketum Hipmi Mardani H Maming Kunjungi Labuan Bajo: Tunda Investasi Saat Pandemi Covid-19
Cover buku Pradoks NTT menarik. Iso memasang foto sepasang kaki manusia terikat tali dengan tulisan TKI NTT. Ia menerangkan, salah satu tulisannya berisikan kegelisahannya tentang nasib para buruh migran NTT dan moratorium TKI.
Buku Paradoks NTT terdiri dari empat bagian. Bagian pertama berisi realita NTT terkait kebijakan-kebijakan pemerintah. Beberapa di antaranya seputar angka kemiskinan NTT, minuman Sopia, sampah, literasi, TKI, dan tambang.
Bagian kedua tentang politik. Ada tujuh opininya terkait dengan pengamatannya sebagai seorang politisi. Bagian ketiga mengenai problem masyarakat NTT. Sedangkan bagian keempat berisi opini-opini umumnya.
Iso mengatakan, menulis atau membuat buku berkaitan dengan kesempatan dan kemauan. Baginya, ada orang yang memiliki kesempatan, namun tak ada kemauan, atau sebaliknya. Ia bersyukur memiliki dua hal tersebut sehingga bisa menghasilkan buku-buku.
Iso menjelaskan bagaimana beberapa kegelisahannya terkait kebijakan pemerintah yang dirasa perlu diungkapkan dalam sebuah tulisan agar menjadi kegelisahan bersama (masyarakat) seperti moratorium TKI.
Ia menilai hal itu sebatas narasi tanpa aksi yang tegas. Sehingga, realitas di lapangan justru ditemui masih banyak para tenaga migran yang merantau. Hal itu juga berlaku untuk kebijakan-kebijakan lain dari pemerintah yang dinilai Iso belum terlalu tepat.
Iso tak melulu menuliskan kritik terhadap pemerintah. Bukunya juga berisikan solusi alternatif yang bisa dipahami oleh banyak orang yang membaca bukunya.
Pemilik tanggal lahir 4 April 1979 mengaku proses menulis tidak mudah. Ia mengalami tantangan menulis, di mana jumlah karakter tulisan harus disesuaikan dengan standar redaksi media.
Iso pun berusaha agar menggunakan kalimat yang umum dan mudah diterima oleh sasaran pembaca media. "Harus cerdik memilih judul untuk memikat pembaca," ujar Iso.
Ia mengatakan, aktivitas membaca dan menulis tentu menjadi sebuah aktivitas literasi yang harus mengakar sejak dalam keluarga. Seperti salah satu isi tulisan dalam bukunya yakni tentang literasi, Iso juga berharap pemerintah bisa membangkitkan kembali gairah membaca masyarakat dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada. Mobil perpustakaan keliling kiranya bisa berfungsi kembali dan perpustakaan aktif melakukan kegiatan-kegiatan guna menarik minat masyarakat.
"Sebenarnya motivasi awal saya membukukan ini sederhana saja. Agar pemikiran kita tidak hilang begitu saja. Bagaimana agar tulisan-tulisan (di koran) itu tetap ada? Ya dengan menjadikannya buku," terang Iso.