Menurut Martin Lau, tim Penasihat hukum 11 terdakwa sangat menyesalkan sikap Ketua majelis hakim, Rightmen MS. Situmorang, S.H, M.H, yang sangat otoriter memimpin persidangan perkara pidana pembakaran rumah itu di PN Larantuka. Hal ini terbukti, sepanjang persidangan ketua majelis hakim selalu bersikap mengarahkan, mengintimidasi, bahkan tidak segan-segan memaksa para saksi dan terdakwa yang dihadirkan di persidangan untuk berbicara mengikuti kemauan Ketua Majelis hakim. Bahkan tidak segan-segan memaksa para terdakwa untuk mengakui perbuatannya. Jika tidak, dianggap para terdakwa berbelit-belit sehingga diancam diganjar dengan hukuman yang berat.
"Kami Tim Penasihat Hukum para terdakwa juga kesal menghadapi sikap Ketua majelis hakim yang terkesan memposisikan diri membela korban, dan mempersalahkan para terdakwa dalam pemeriksaan perkara ini. Ketua majelis hakim beranggapan surat dakwaan JPU itu sudah 100 persen benar. Padahal fakta persidangan tidak sesuai surat dakwaan JPU, karena BAP penyidik Kepolisian Polres Flotim dikopi paste JPU seakan-akan benar semuanya. Padahal setelah diuji dipersidangan, ditemukan banyak cacatnya. Contoh, pada saat para terdakwa di-BAP sebagai tersangka di Polres Flotim, tidak didampingi Penasihat hukum.
Padahal wajib hukumnya sesuai perintah Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 114 KUHAP, karena ancaman pidana di atas 5 tahun. Fakta ini terungkap dalam persidangan perkara 11 terdakwa ini. Saat di-BAP di Polres Flotim, para terdakwa jawab lain, penyidik ketik lain. Ketika dikoreksi para tersangka sebelum tanda tangan, penyidik memaksa agar para tersangka tanda tangan saja. Ada penyidik janji untuk perbaiki BAP, tetapi nyatanya tidak diperbaiki hingga BAP itu lolos sampai ke persidangan hingga merugikan para terdakwa. Namun, semua cacat dan keteledoran ini terus dibenarkan ketua Majelis hakim dalam persidangan perkara 11 terdakwa ini," ungkap Martin Lau.
Menurut Martin Lau, cacatnya BAP dan terampasnya hak asasi para terdakwa pada saat di-BAP sebagai tersangka ditingkat penyidikan perkara 11 terdakwa, seharusnya menjadi dasar pijakan Majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya untuk menjatuhkan pidana yang ringan kepada para terdakwa, bukan sebaliknya justru menghukum para terdakwa dengan hukuman yang berat dengan mengabaikan tuntutan Jaksa penuntut umum yang lebih ringan.
"Oleh karena itu kami tim penasihat hukum bersama 11 orang terdakwa menyatakan sikap menolak putusan Majelis Hakim PN Larantuka tertanggal 28 JULI 2020, dan menempuh upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Kupang pada Hari ini SENIN 3 Agustus 2020. Karena pertimbangan hukum dan putusan majelis hakim PN Larantuka terhadap 11 terdakwa, terbukti benar-benar tidak adil sesuai peran dan perbuatan para terdakwa," tegas Martin Lau. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ray Rebon)