Opini Pos Kupang

Jagung Yes, Sapi Ok, Pangan Mantap

Editor: Kanis Jehola
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Logo Pos Kupang

Oleh: Leta Rafael Levis (Dosen Faperta Undana/Penulis Buku: Pemberdayaan Petani di Lahan Kering (Univ. Brawijaya Press, 2019)

POS-KUPANG.COM - Tulisan ini merupakan renewal dari tulisan dengan judul yang sama yang telah dimuat oleh koran ini, bulan Oktober 2010 dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia yang saat itu relevan dengan tekad Pemerintah Daerah NTT untuk mewujudkan provinsi jagung, provinsi ternak, provinsi koperasi dan lain-lain. Judul ini merupakan bentuk dukungan terhadap gagasan saat itu yakni TJPS.

Gagasan TJPS muncul dalam suatu forum diskusi Tim FEATI untuk menyukseskan program ketahanan pangan nasional, di mana selain padi, jagung dan sapi merupakan komoditi pangan unggulan nasional. Waktu itu kita sering mendengar jargon "tanam jagung, panen atau jual sapi".

Kasus Penipuan dan Penggelapan Pengusaha di NTT Belum Dilimpahkan Ke Pengadilan

Gagasan TJPS saat itu muncul dengan latar pertimbangan selain untuk kepentingan pangan, ekonomi tetapi yang mendasar adalah budaya petani kita yang selalu integrasikan kegiatan bertani dan beternak.

Untuk meningkatkan ketahanan pangan dan ekonomi petani dalam suatu siklus alamiah antara ternak sapi dan jagung, dimana daun-daun jagung dimanfaatkan untuk makanan sapi, kemudian kotoran sapi dimanfaatkan kembali oleh petani untuk memupuk tanaman jagung.

Kita bersyukur bahwa gagasan lama tersebut kembali digelorakan sebagai suatu tekad Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT saat ini untuk mewujudkannya. Bagi banyak pembaca, hal ini merupakan gagasan baru atau tekad baru. Namun perlu saya garis bawahi bahwa TJPS adalah gagasan lama atau gagasan 10 tahun yang lalu, namun saat itu tidak dilakukan secara serius oleh Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan Provinsi NTT. Mengapa?

Casilda Bangga Punya Wali Kota yang Peduli Masyarakatnya

Begini ceritanya; saat itu, tekad pemerintah sangat bagus, akan tetapi satu hal yang sangat sulit diatasi oleh pemerintah sendiri adalah memutus banang kusut koordinasi antara sesama instansi khususnya Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan serta Dinas Koperasi.

Akhirnya saat itu, munculah gagasan TANAM JAGUNG JUAL ATAU PANEN SAPI dalam suatu kawasan percontohan yang di dalamnya harus pula dihidupkan kelompok-kelompok tani, Gabungan Kelompok Tani dan kemudian dikembangkan Koperasi Tani yang sekarang lompat kelas jadi BUMDes. Dengan konsep seperti ini agar di dalam satu kawasan pengembangan jagung, juga hadir Dinas Peternakan, Dinas Koperasi.

Dengan kehadiran secara bersama ketiga dinas ini, dipastikan akan terjadi suatu sinergisitas kekuatan secara simultan dari ketiga `pendekar' tersebut dalam memberdayakan petani untuk mewujudkan tekad TJPS, sebab dengan hadir bersama di sana maka mereka akan mewujudkan `a public one line information system' tentang program TJPS kepada petani sehingga tidak terjadi bias makna dan bias persepsi oleh petani dan komponen lainnya terutama penyuluh terhadap `message' TJPS. Ketiganya dapat menggunakan pendekatan komunikasi inovasi TJPS secara gotong royong kepada petani.

Untuk terwujudnya gagasan TJPS, maka dibuatlah kajian untuk menyusun Road Map Pengembangan Jagung tahun 2013 sampai 2018. Di dalam dokumen tersebut ditetapkan Sembilan kabupaten pengembangan jagung di NTT dengan prioritas utama adalah komposit. Alasannya, 1) jagung komposit seperti Lamuru atau Bisma sudah akrab dengan petani, 2) dari aspek produksi sangat bagus, 3) dapat dikonsumsi oleh manusia, 4) dapat disimpan lama setidaknya untuk mengantisipasi musim paceklik antara Oktober sampai Januari, 5) dapat digunakan sebagai benih untuk tahun berikutnya sehingga petani tidak perlu membeli benih lagi.

Faktanya, sampai saat ini budaya integrasi jagung dan ternak sapi dalam prinsip agribisnis terpadu dengan pola link' hulu dan hilir masih sangat langkah di NTT.

Jargon tersebut dianggap terlalu sensasional sebab kita belum memiliki budaya berusahatni secara komersil yaitu integrasi yang membudaya antara jagung dan ternak sapi baik dalam skala implementasi lapangan maupun level koordinasi antar instansi terkait. Intergrasi jagung dan sapi di lapangan belum mencerminkan link and match antara industri hulu dan hilir.

Pertanyaan besar adalah bagaimana kalau tanam jagung tetapi tidak berhasil? Apakah kita tetap memanen sapi? Di sinilah letak persoalan yang perlu mencari solusi untuk mencari jalan keluar yang antisipatif.

Karena itu, menggalakan kembali gagasan TJPS saat ini oleh pemerintah daerah NTT merupakan langkah tepat tetapi mesti membutuhkan komitment serius dari instnasi teknis untuk meningkatkan kualitas koordinasi agar dapat mewujudkan gagasan besar ini.

Kita berharap spirit positif dari gubernur dan wakilnya saat ini merupakan `multivitamin' yang sangat cocok bagi instansi teknis untuk mewujudkannya.
'Flesh back' gagasan; TIM FEATI (Farmer Empowerment Agricultural Technology and Information) NTT yang berada pada Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) Provinsi NTT (saat itu) telah mencari jalan keluar untuk mewujudkan gagasan TJPS.

Pada akhir September 2010 di Kupang, Tim telah melakukan kajian serta diskusi mendalam bersama Feati Pusat, dosen Undana, para penyuluh dan peneliti BPTP NTT, untuk melakukan rumusan kalimat yang pantas dan realistis serta mudah dimengerti masyarakat sehingga dapat mendukung program pemerintah NTT khususnya TJPS.

Tujuan utama rumusan tersebut adalah untuk membuat suatu poster yang dapat menggugah nurani petani untuk meningkatkan pengetahuan serta sikapnya terhadap hubungan antara menanam jagung dan beternak sapi. Poster ini dianggap sebagai prototipe media yang dianggap cocok bagi lingkungan masyarakat NTT khusunya petani untuk membangkitkan sikap dukungan terhadap program pemerintah NTT tersebut.

Prinsip utama dari judul poster ini adalah jika mau merealisasikan usahatani terpadu jagung dan sapi maka pemerintah harus pastikan bahwa aktivitas bagian hulu yaitu tanaman jagung petani berhasil.

Sehingga diberikan kalimat `jagung yes'. Jagung yes artinya tanaman jagung yang ditanam petani berhasil, petani menanam, petani juga memanen jagung dengan produksi yang tinggi.

Hal ini berimplikasi pada implementasi program jagung di lapangan tidak sekedar rutinitas tetapi diperlukan usaha yang serius dan fokus. Para bupati harus mendukung program ini kalau mereka masih sadar bahwa sebagian besar rakyatnya masih menjadi petani. Jadi, aspek hulu dari agribisnis jagung menjadi prioritas utama.

Dalam hubungan simbiotik mutualistis antara jagung dan sapi, daun dan batang jagung local, komposit maupun jagung hihrida dapat dimanfaatkan petani untuk makanan sapi (salah satu aspek hilir). Note, jagung hibrida adalaj `jagung untuk industri' makanan ternak bukan untuk konsumsi manusia.

Oleh karena itu, dalam Roap Map Pengembangan Jagung NTT Tahun 2013 sampai 2018, prioritas jagung yang harus ditanam di NTT adalah jagung komposit.
Gagasan TJPS juga sebagai tindak lanjut hasil kajian para ahli peternakan, bahwa hambatan utama ternak sapi selama ini adalah kekurangan pakan.

Jadi jika jagung yes, maka kekurangan pakan ternak dapat diatasi sehingga sapi juga bisa bertumbuh dengan kualitas tinggi, sapi ok. Sebaliknya, kotoran sapi dapat dimanfaatkan oleh petani menjadi pupuk organik yang selanjutnya memupuk tanaman jagung. Dalam kasus ini petani menerima multiplier effect dari usaha tersebut yaitu memanen jagung dengan produksi tinggi, dapat menjual sapi dengan harga bagus, menghemat anggaran untuk beli pupuk, serta mendukung program pembangunan lingkungan (pupuk organik).

Jika jagung berhasil, ternak sapi berhasil maka pendapatan petani meningkat dan kesejahteraannya pun turut meningkat serta ketahanan pangan mantap.

Tugas pemerintah sekarang adalah mendata lahan ril (kepastian lokasi dan perkiraan luas lahan kompak) untuk pengembangan jagung dengan maksud untuk mengetahui secara jelas berapa luas lahan ril untuk tanaman jagung.

Karena jagung membutuhkan air maka lokasi mana sajakah untuk penanaman jagung yang didukung oleh ketersediaan air, baik air sungai (DAS), sumur bor, embung dan lain-lain. Kepastian tipologi lokasi seperti ini sangat diperlukan agar jagung yang ditanam petani dapat bertumbuh dengan baik dan dapat berpoduksi dengan baik pula. Sehingga tanaman jagung benar-benar YES.

Jika Dinas Pertanian telah menyediakan data yang ril (paling kurang mendekati kebenaran/fakta) maka Dinas Peternakan atau pun Koperasi harus menyesuaikan programnya dengan lokasi-lokasi yang telah tersedia tersebut agar di lapangan terjadi kolaborasi yang menguntungkan petani.

Tanaman jagung yang mengharapkan air hujan bisa menjadi prioritas kedua sebab perubahan iklim saat ini berdampak negative terhadap tanaman jagung pada tipologi lahan seperti ini dan menyebakan keterpaduannya dengan ternak sapi pun diragukan. Mari kita dukung tekad TJPS. *

Berita Terkini