VIDEO - Stok Pangan Menipis Warga Woedoa Terpaksa Makan Ubi Beracun
POS-KUPANG, COM | MBAY - Warga Desa Woedoa, Kecamatan Nangaroro di Kabupaten Nagekeo mulai menjerit karena stop pangan mereka mulai menipis.
Untuk menopang ketahanan pangan keluarga, warga terpaksa harus mengkonsumsi ubi beracun yang diolah sedemikian rupa sebagai pengganti nasi.
• VIDEO - VIRAL : Roy Kiyoshi Ditangkap Diduga Narkoba
• VIDEO - Desa Hadakewa Menjadi Desa Pertama Salurkan BLT Covid-19
• VIDEO - OTG Covid-19 di NTT Kini Berjumlah 435 Orang, Masyarakat Diminta Tetap Di Rumah
Ubi beracun itu adalah Ubi Gadung (Dioscorea Hispida) yang mengandung Racun Sianida. Warga setempat biasa menyebut ubi beracun tersebut adalah Odo atau Ondo.
Ondo memang menjadi pilihan terakhir bagi warga sebagai pengganti nasi karena jenis pangan lainnya sudah mulai menipis bahkan sudah habis.
Warga Woedoa, Isabela Suwo (46), mengatakan, hampir setiap tahun ia dan suaminya menggali Odo di hutan namun tidak banyak.
Tahun ini sangat kesulitan karena Covid-19 sehingga hampir setiap orang di Desa Woedoa menggali Odo dan mengolahnya menjadi makanan.
Menurut Isabela, akibat pandemi Covid-19 warga kesulitan mendapatkan bahan makanan.
Pasar dan akses transportasi ditutup sehingga kesulitan menjual hasil bumi dan lainnya.
Padahal tahun sebelumnya warga bisa bertahan hidup dengan menjual hasil bumi seperti Jagung, Pisang, Sayur-Sayuran, Kelapa, Kemiri dan lainnya di pasar.
Isabela mengatakan proses pengolahan Odo sangat lama dan harus benar-benar mengikuti langkah-langkah yang biasa dilakukan pada tahun sebelumnya.
Biasanya mengolah Odo memakan waktu dua hingga tiga hari baru bisa dimakan dan jangan sampai salah mengolahnya.
"Kami gali di hutan. Setelah itu, kupas kulit, iris harus tipis dan simpan di ember dan garam. Rendam dengan garam dapur selama satu malam. Paginya baru angkat taru di karung yang tipis baru rendam di air mengalir selama satu malam," ungkap Isabela, Kamis (7/5).
Ia mengatakan, jika tidak mengolah Odo maka tidak bisa makan apa-apa yang jelas masyarakat akan mengalami kelaparan. Odo menjadi salah satu pangan alternatif sebagai pengganti nasi.
"Setelah direndam dalam air mengalir selama satu malam, barulah diolah menjadi makanan. Bisa langsung dimasak atau dijemur terlebih dahulu baru bisa ditumbuk menjadi tepung sehingga bisa dikukus, atau olah dengan cara lain misalnya masak dan nanti campur dengan kelapa. Intinya, harus melalui langkah-langkah yang baik sehingga racunnya hilang. Karena ubi ini beracun," ungkapnya.
Ia mengatakan, jika Odo diolah asal-asal saja nanti bisa mabuk setelah mengkonsumsinya.
"Bisa mabuk dan kalau mabuk nanti bisa tidak mau makan lagi, makanya olah baik-baik," ungkapnya.
Warga lainnya, Maksimus Sela (48), mengatakan, akibat pandemi Covid-19 stop pangan masyarakat mulai menipis dan warga terpaksa menggali Odo untuk dijadikan bahan makanan.
Hasil bumi sulit dipasarkan dan harga Sembako mahal sehingga warga sangat kesulitan membeli. Apalagi uang tunai sangat sulit diperoleh karena hasil kebun tidak bisa dijual seperti sebelumnya.
"Kami gali dan olah Odo ini karena stok pangan menipis. Pasar tutup, mau jual hasil tidak bisa. Harga Sembako naik. Memang kemiri komoditi disini ada, pisang, kelapa dan masih banyak hasil bumi lainnya tapi mau dikemanakan," ujarnya.
Maksimus menyebutkan hampir 75 % warga Woedoa mengkonsumsi Odo sebagai pengganti nasi. Jika tidak ada pangan alternatif masyarakat akan kelaparan.
Katanya, memang gali dan olah Odo sudah menjadi tradisi namun tahun ini dampak Covid-19 sangat dirasakan oleh masyarakat sehingga warga Waedoa beramai-ramai pergi ke hutan mencari Odo.
"Kalau sebelumnya kami memang sering gali Odo. Tapi tahun ini sangat ramai untuk cari Odo. Karena memang stok pangan kami menipis. Ini bukan rekayasa. Ini bencana luar biasa. Ini tahun galinya cepat sekali. Ini sejak April sudah digali. Biasanya bulan Juni baru mulai digali karena stok pangan masih ada, tapi dengan adanya pandemo Covid sembilan belas orang semua pergi cari Odo ke hutan," ungkapnya.
Warga lainnya Leo Rengga (40), mengatakan, dirinya baru pertama kali ikut menggali Odo di hutan. Sebelumnya hanya bisa makan Odo yang sudah diolah oleh orangtua.
"Saya baru pertama ikut gali Odo di hutan. Karena memang stok pangan menipis bahkan sudah habis. Dua bulan lebih tidak ada kerja. Selama ini sudah tidak biasa. Sayur dan tomat yang ada dikebun hancur semua mau jual dimana," ungkap Leo.
Pria yang berprofesi sebagai tukang bangunan ini mengatakan selama satu bulan terkahir ini, ia tak lagi bekerja sehingga tidak ada pendapatan sama-sekali.
"Saya ada kerja gereja. Tapi sejak pandemi Covid ini tidak lagi kerja. Terpaksa untuk mendapatkan stok makanan harus ikut gali Odo ini," ungkapnya. Jumat, 8 Mei 2020 (POS-KIPANG.COM, Gordi Donofan)
Tonton, Like, Share, Subscribe Youtube Channel POS-KUPANG.COM
Ingat SUBSCRIBE, SHARE dan tinggalkan jejak di kolom KOMENTAR.
Update info terkini via ONLINE : https://kupang.tribunnews.com/
INSTRAGAM poskupangcom : https://www.instagram.com/poskupangcom/?hl=id
FACEBOOK : POS-KUPANG.COM: https://bit.ly/2WhHTdQ