Artinya, “Andai ada udzur yang membolehkan senggama seperti perjalanan jauh atau yang lain, kemudian seseorang senggama dengan istrinya, padahal istrinya sedang berpuasa dan menginginkan itu, maka tidak ada kewajiban kafarat bagi orang tersebut walau telah merusak puasa istrinya.”
Kedelapan, dosa senggama pelaku hanya karena puasa.
ـ )وَقَوْلُنَا لِأَجْلِ الصَّوْمِ احْتِرَازًا مِنْ مُسَافِرٍ( أَوْ مَرِيضٍ )زَنَى( أَوْ جَامَعَ حَلِيلَتَهُ بِغَيْرِ نِيَّةِ التَّرَخُّصِ فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ )فَإِنَّهُ أَثِمَ لِأَجْلِ الزِّنَا( أَوْ لِأَجْلِ الصَّوْمِ مَعَ عَدَمِ نِيَّةِ التَّرَخُّصِ
Artinya, “Maksud pernyataan kami ‘karena puasa’ adalah mengeluarkan orang yang bepergian jauh atau orang sakit lalu berzina, atau mencampuri istrinya tanpa merasa punya rukhshah, maka tidak ada kafarat baginya. Sebab, ia berdosa karena zina atau karena puasa tapi tak merasa punya rukhshah (keringanan).”
Kesembilan, yang dirusak haruslah puasa sehari penuh dan pelakunya dikategorikan sebagai orang yang wajib berpuasa dalam sisa hari setelah senggamanya. Sehingga, orang yang pada suatu hari bersenggama tanpa ada alasan kemudian mengalami tunagrahita atau meninggal dunia pada sisa hari tersebut, berarti ia tidak dianggap merusak sehari penuh.
Kesepuluh, waktu yang dipakai pelaku bersenggama tidak samar dan tidak diragukan. Berbeda halnya jika ia mengira waktu masih malam, waktu sudah masuk malam, atau meragukan salah satunya, namun ternyata waktu sudah siang atau masih siang. Begitu pula bila ia makan karena lupa, lantas mengira puasanya sudah batal, lalu bersenggama secara sengaja. Maka tidak ada kafarat.
كَمَا لَوْ جَامَعَ ظَانًّا بَقَاءَ اللَّيْلِ فَبَانَ خِلَافُهُ )وَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ( لِأَنَّهُ جَامَعَ مُعْتَقِدًا أَنَّهُ غَيْرُ صَائِمٍ وَهَذَا خَارِجٌ بِقَوْلِهِ لِأَجْلِ الصَّوْمِ
Artinya, “Demikian halnya seandainya ada seseorang mencampuri istrinya karena mengira masih malam, namun ternyata sudah siang, maka tidak ada kewajiban kafarat baginya, karena ia melakukan itu atas dasar keyakinan dirinya belum berpuasa. Kesimpulan ini keluar dari pernyataan penulis matan ‘karena tujuan puasa.’”
Dengan demikian, orang yang mengetahui waktu sudah siang atau masih siang, maka mestinya ia seketika menghentikan senggamanya dan kembali berimsak disertai qadha di hari yang lain. Sebab, jika tidak, ia akan dijatuhi kewajiban kafarat karena sengaja melanjutkannya.
مَا إذَا طَلَعَ عَلَيْهِ الْفَجْرُ وَهُوَ مُجَامِعٌ فَاسْتَدَامَ فَإِنَّ الْأَصَحَّ الْمَنْصُوصُ وُجُوبُ الْكَفَّارَةِ مَعَ انْتِفَاءِ فَسَادِ الصَّوْمِ فِي هَذِهِ الصُّورَةِ
Artinya, “Jika fajar terbit, sedangkan seseorang sedang bersenggama, namun tetap meneruskannya, maka berdasarkan nas yang paling sahih, ia wajib menjalankan kafarat, walaupun tertolaknya kerusakan puasa dalam kondisi ini (karena puasanya tidak sah).”
Kesebelas, senggama yakin dilakukan di bulan Ramadhan. Berbeda halnya jika pelaku tidak yakin dirinya sudah memasuki bulan Ramaadhan, kemudian ia berpuasa dengan hasil ijtihadnya dan membatalkan puasanya dengan senggama, namun ijtihadnya ternyata salah, maka tidak ada kewajiban kafarat baginya. Wallahu a'lam.
Selain itu, terkait kafarat ini juga sudah pernah dibahas oleh Ustadz Abdul Somad, dan bisa disimak di video dibawah ini :
Inilah Hukum dan Sanksi Suami Istri Bersetubuh di Siang Hari Saat Bulan Puasa
Berikut ini hukum dan sanksi bagi suami istri yang bersetubuh di bulan puasa Ramadhan siang hari.
Ramadhan menjadi bulan istimewa yang dinantikan oleh umat Islam.