Menurut Doni, sekolah tiga hari akan membuat waktu anak-anak akan terbuang sia-sia karena tidak ada aktivitas pembelajaran.
Perbaikan pendidikan, lanjut dia, bukan berarti mengurangi waktu sekolah menjadi tiga hari.
"Supaya pendidikan itu baik, bukan berarti terus dikurangi tiga hari. Kalau cuma Senin, Selasa, Rabu, terus hari sisanya ngapain anak-anak itu," kata Doni.
"Sekarang ini kan enggak kaya zaman dulu. Anak-anak masih punya banyak waktu luang untuk bermain dan lain-lain," lanjut dia.
Selain itu, ia memberikan catatan, bagaimana dengan para guru yang harus memenuhi tuntutan jam kerja jika waktu sekolah hanya tiga hari.
"ASN tiga hari gimana? Kerja memenuhi peraturan gimana? Kan enggak bisa. Pegawai negeri kan harus 37,5 jam bekerja dalam seminggu. Itu terus bagaimana? Gurunya masuk sekolah terus siswanya libur? ngapain gurunya?" ujar Doni Koesoema.
Ia mengaku belum pernah menemukan kebijakan seperti ini di negara-negara lain.
Doni menilai, argumentasi Kak Seto ketika mengusulkan sekolah tiga hari tidak masuk akal dan tidak bisa dijadikan patokan secara nasional.
"Homeschooling dia kan hanya satu dari puluhan ribu homeschooling di Indonesia. Masa hanya dari satu contoh lalu kemudian dipakai secara nasional. Itu terlalu generalisasi," kata Doni.
"Jadi argumentasinya tidak masuk akal karena kalau sampelnya dari homeschooling saja tidak tepat dan sangat kecil," lanjut dia.
Oleh karena itu, Doni menganggap bahwa sekolah lima hari masih yang terbaik bagi pendidikan Indonesia saat ini.
Kebijakan Lima Hari Sekolah
Menteri Pendidikan sebelumnya Muhadjir Effendy telah menerapkan kebijakan sekolah lima hari dalam sepekan.
Menurut Muhadjir Effendy, kebijakan lima hari sekolah dengan durasi delapan jam setiap hari ditujukan untuk para guru, bukan siswa.
Hal ini disampaikan Muhadjir dalam acara pertemuan dengan para redaktur media massa, di Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Selasa (12/7/2017).