Intolerensi di Sekolah Guru Agama Bertanggungjawab

Penulis: Oby Lewanmeru
Editor: Kanis Jehola
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kakanwil Kemenag Nusa Tenggara Timur Sarman Marselinus bersama peserta kegiatan Pembelajaran Berbasis IT, Hotel Astiti, Kupang, Jumat (23/08/2019).

POS-KUPANG.COM | KUPANG - Tindakan-tindakan Intolerensi, anarkhis yang terjadi di lingkungan Sekolah menjadi tanggungjawab guru-guru agama.

Guru guru agama mestinya mampu memberikan pemahaman agama yang benar kepada peserta didik sehingga para siswa mampu mengaktualisasikan ajaran-ajaran agamanya dalam hidup yang damai ketika berada di tengah kebersamaan di lingkungan Sekolah.

Demikian dikatakan Kakanwil Kemenag NTT, Drs. Sarman Marselinus kepada guru-guru Pendidikan Agama Hindu dalam kegiatan Pembelajaran Berbasis IT, Hotel Astiti, Kupang, Jumat (23/08/2019).

OJK - FKLJK Gelar Fun Walk, Izhak: Kita Bertransformasi Sejahterakan Masyarakat NTT

"Jika terjadi tindakan-tindakan intoleransi yang dilakukan oleh peserta didik, maka guru-guru agama mesti merasa bertanggungjawab atas hal itu," kata Sarman Marselinus.

Menurut Sarman Marselinus, proses pendidikan berkelanjutan seharusnya melahirkan dan membentuk para siswa untuk dapat hidup berdampingan secara damai.

"Learning live together perlu dikembangkan pada masa ini ketika kondisi kebersamaan kita tercedera oleh sikap intoleransi, radikal yang dimotivasi oleh pengetahuan dan doktrin agama yang menyesatkan yang diperoleh secara bebas dari internet," jelas Kakanwil Sarman.

Peringatan Dini Hari Ini, Tiga Pulau di NTT Diprediksi Akan Berpotensi Terjadi Angin Kencang

Sarman mengatakan untuk mengatasi masuknya pengetahuan yang menyesatkan yang membenarkan tindakan-tindakan radikal atas nama agama, para guru harus membentengi para siswa dengan menyampaikan ajaran dan nilai agama yang benar.

"Harus ada proses learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together," ujar Sarman.

Dengan proses seperti itu, jelasnya, para siswa bukan hanya belajar untuk mendapatkan pengetahuan agama, tetapi mampu melakukan apa yang diperintahkan oleh agama, mampu mengembangkan diri secara maksimal tetapi juga dapat hidup berdampingan dengan siapa saja dalam segala situasi dan lingkungan.

"Sekarang ini, para siswa kita bisa mendapatkan pengetahuan kapan saja dan di mana saja, tidak terikat di ruang ruang kelas, jika guru tidak bisa menemukan metode pembelajaran yang tepat, bisa kewalahan, Hal yang sama juga soal pendidikan agama," kata Sarman.

Sarman menegaskan untuk mengantisipasi tindakan-tindakan intoleransi di lingkungan pendidikan, Kementerian Agama menggemakan apa yang disebut dengan moderasi beragama.

Moderasi beragama adalah cara beragama yang benar sesuai ajaran agama, yang tidak ekstrim kiri dan juga tidak ekstrim kanan.

"Guru harus membantu para siswa mengenal dan memahami agamanya masing-masing secara benar. Tidak ada ajaran agama yang memerintahkan untuk menghancurkan penganut agama lain. Tetapi kalau itu sampai terjadi maka guru salah didik, salah memberikan informasi tentang hakikat agama," pungkas Sarman. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Laus Markus Goti)

Berita Terkini