Pria kelahiran tahun 1993 di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut harus rela hadir ke dunia dengan kondisi tak sempurna. Kaki dan tangan kanan alami kelainan.
"Seringkali dengan kondisi saya yang seperti ini, saya merasa cemburu. Apalagi ketika melihat teman-teman di sekeliling rumah yang mampu berjalan kesana kemari sesuka hati," tuturnya.
Selain kondisi yang dialami Abu Bakar, sang ibu dan ayah yang hanya bermata pencaharian sebagai petani hanya cukup untuk penuhi kehidupan keenam anaknya sehari-hari.
Hal itu membuat dirinya tak lagi miliki harapan masa depan. Harapan untuk enyam pendidikan pun pupus seketika.
"Dulu, dengan segala kekurangan saya, saya berpikir bahwa Allah tidak adil. Tak lagi berikan harapan hidup pada saya." tambahnya.
Hingga diusia 18 tahun, Abu Bakar hanya mampu membantu kedua orang tuanya di rumah.
Kelima kakaknya sebagian besar sudah tak tinggal bersamanya, mereka masing-masing miliki keluarga.
Beberapa waktu kemudian, hadir kabar dari seorang kawan yang mengajak Abu Bakar untuk ikuti sebuah beasiswa.
Beasiswa yang ditawarkan adalah program Tahfidzul Qur'an di Jakarta.
Abu Bakar akui dirinya nekat tanpa pikir panjang untuk pergi ke pulau Jawa. Pergi hanya bermodal pakaian sehari-hari.
Menjadi kernet angkutan adalah upaya dirinya mengumpulkan uang agar dapat menaiki sebuah kapal yang mengantarkan Abu Bakar ke sebuah tempat di mana ia harus dapatkan beasiswa tersebut.
Sejak 2012 akhir Abu Bakar resmi menjadi santri disebuah Mahad (setara dengan Sekolah Tinggi).
Hari-harinya ia habiskan untuk menghafal ayat suci Al Quran.
Tahun 2017 adalah masa di mana segala doa dan keluh kesah Abu Bakar menjadi nyata.
Ia akui menangis sejadi-jadinya atas peraihan gelar Hafidz Al Quran30 Juz yang ia hafal selama 5 tahun lamanya.