Renungan Harian

Renungan Harian Kristen Protestan Rabu 3 Juli 2019, Apa yang Baik Memakai Topeng atau Melepaskannya?

Editor: Eflin Rote
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pdt. Dr. Mesakh A.P. Dethan, MTh, MA

Renungan Harian Kristen Protestan Rabu 3 Juli 2019

Oleh: Pdt DR Mesakh A P Dethan MTh Ma

--

Apa yang Baik Memakai Topeng atau Melepaskannya?

Dalam dunia kita sekarang ini, susah kita membedakan mana orang orang tulus dan mana penipu. Karena penipu bisa berkamuflase sebagai orang tulus.

Karena topeng juga bisa membuat penipu nampak sebagai orang tulus.

Aturan-aturan Negara atau Perda-perda seringkali menjadi multi tafsir.

Janji-janji politik dan kenyataan politik saling bertolak belakang. Sehingga terasa ada jarak antara nilai-nilai dan tindakan-tindakan nyata.

Malahan sistim politik kita kadang menjebak dan menjadikan orang untuk turut menjadi munafik, bahkan menjadi penipu atau kutu loncat. 

Jika sebuah sistim yang didasarkan pada penipuan dan korup,  maka semua orang yang terlibat dalam sistem itu semuanya terjebak menjadi penipu dan koroptur.

Dalam hal ini sipiritualitas diperlukan bukan sebagai topeng untuk menutupi kebobrokan dan tindakan yang korup.

Kehidupan spiritual yang sesungguhnya bukan sekedar menjalankan upacara-upacara keagamaan, memberi sumbangan sambil meminta di foto dan disoroti kamera Televisi, tetapi lebih dari pada suatu upaya melepaskan topeng  yang menghambat manusia menjadi dirinya sendiri di hadapan sesama, lingkungan hidupnya dan Allah pencipta. 

Ada satu lukisan yang indah dan menarik dari Verdirosi: The Moment under Discussion dapat menjelaskan lebih dalam apa yang saya katakan tadi di atas.

The Moment under Discussion: lukisan dari Verdirosi
 
Dalam lukisan itu digambarkan bahwa pada saat menjelang kematian seseorang topengnya jatuh tepat di muka malaikat pencabut nyawa. Sehingga ia tidak lagi dapat menipu siapapun lagi termasuk kepada si malaikat pencabut nyawa.

Sayang sekali bahwa topengnya baru terbuka ketika disaat ajalnya tiba, sehingga tidak ada kesempatan sedikitpun untuk dia bisa memperbaiki dirinya lagi.

Seorang manusia yang memiliki nilai spiritual harus lebih berani dari sejak awal melepaskan topengnya justru di tengah-tengah dan dalam kehidupannya, sehingga ia menemukan dirinya sendiri masyarakat dan dunia dimana ia hidup. Bukan dia baru menemukan dirinya pada saat berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa.

Seorang manusia spiritual bukan hanya mementingkan hal-hal yang tampak luar,  dari  keberadaannya yang berpusat pada egoisme diri sendiri, tetapi lebih kepada kehidupan dan nilai batiniah bersama orang  lain di hadapan Tuhan Allah.

Kehidupan manusia yang memiliki nilai spritual adalah kehidupan yang juga berarti bagi banyak orang.

Hegel, Ahli filsafat Jerman yang terkenal merumuskannya dengan kalimat „Das Wahre ist das Ganze“ (Apa Yang sejati adalah apa yang ada dalam keseluruhan). 

Proses untuk menemukan apa yang benar dan sejati tidak hanya dilihat dari satu bagian saja tetapi dari seluruh bagian. Secuail penampilan dari seseorang belumlah menggambarkan karakter keseluruhan dari orang itu. 

Kata-kata Yesus dalam Matius Matius 5:13-16 ini bukan ditujukan kepada pribadi, satu orang, tetapi orang banyak. Kamu (u`mei/j) dalam kalimat ini adalah dalam pengertian jamak.

Teks Matius 5:13-16 merupakan bagian dari khotbah Yesus di bukit.

Nasehat dalam Matius ini ditujuan bukan kepada  jemaat kristen  yang mapan, kaya, tetapi kepada jemaat yang berada dalam penindasan. Mereka  yang lemah yang memiliki ketakutan dan yang berjuang mempertahan iman dan identitas mereka ditengah tekanan pemerintah romawi yang represif.

13 "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.

 14 Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.

 15 Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.

 16 Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."

Menurut Matius ditengah penindasan dan situasi yang sulit orang Kristen harus berani menujukkan identitasnya sebagai garam dan terang. Identitas yang benar tercermin dalam spiritualitas yang  serupa garam yang memberi nilai rasa dan cahaya yang menerangi kegelapan.

Banyak tokoh dunia mempertaruhkan hidupnya demi spiritualitas imannya. Bonhoeffer mati melawan rezim Hitler demi spiritualitas. Luther mengeluarkkan 95 dalil karena spritualitas.

Spiritualitas  (dari bahasa Latin spiritus, roh, napas 'atau spiro, saya bernapas' [1]-. Bahasa Ibrani  x;Wr ruah juga berarti roh, napas, atau dalam bahasa Yunani sebagai  ψυχή, psyche,  jiwa dan pneu/ma, Roh, kehidupan batin) dalam arti  yang luas menunjuk kepada hal-hal yang bersifat  spiritual,  artinya berhubungan dengan rohaniah atau batiniah.

Dalam Leksikon Oestergaard, yang diterbitkan pada tahun 1936 kata Spiritual diartikan sebagai "mental, kecerdasan emosional," dan gagasan spiritualitas diartikan juga sebagai  kerohanian, yang berbeda dengan materialitas. 

Dalam Encyclopedia DTV Brockhaus Tahun 2004 kata spiritualitas diartikan sebagai "kesalehan, iman yang didukung orientasi mental dan cara hidup".

Hal ini sebagai suatu penegasan kepada Kamus Saku Meyer  bahwa spiritualitas memiliki dampak pada desain kehidupan individu. Menurut Arndt Büssing Spiritualitas adalah "orientasi dan praktek kehidupan rohani yang nyata dari seseorang  yang didasarkan oleh iman dan nilai-nilai kehidupan.

Psikolog Rudolf Sponsel mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu tindakan sadar dengan didasarkan pada nilai-nilai dan makna keberadaan manusia dan dunia ini dan khususnya tentang eksistensinya di dalam kehidupan dunia ini.

Arndt Büssing memberikan paling kurang 7 faktor yang mempengaruhi spirtualitas  seseorang yaitu: 1) Doa, iman kepada Tuhan, 2) pengetahuan, kebijaksanaan dan wawasan, 3) Keyakinan, 4) Rasa Simpathi dan Belaskasihan, dan toleransi,  5)Relasi yang sehat dengan sesama, diri sendiri dan lingkungan, 6) Kekaguman dan rasa syukur, 7) Keseimbangan batin dan meditasi.

Kendatipun  spiritualitas dimiliki dan ditafsirkan secara beragam dalam kandungan budaya, agama-agama,dan kepercayaan, namun pada hakekatnya, menurut saya, spiritualitas merupakan aspek hakiki dalam hidup manusia yang mengungkapkan siapa dirinya (being) dan orientasi kehidupan dan karyanya (doing).

Dengan menjadi garam dan terang berarti kita membangun suatu kehidupan yang tidaK berpusat pada diri sendiri, tetapi bagi orang lain juga.

Perilaku dasar manusia kristen karena itu tidak berpusat pada Ego (pada diri sendiri atau egoisme), tetapi kepada apa yang ada di luar dirinya. 

Namun lebih jauh dari pada itu, menurut saya, patut dicatat bahwa spiritualitas juga mencakup aspek-aspek perubahan diri manusia, baik yang menyangkut eksitensinya (berjuang melawan sifat egosentrik dan sifat defensif), kognitif (belajar bertumbuh secara  intelektual dan emosional), maupun aspek relasional (yang bersifat membangun hubungan harmonis aktual dan kontinyu dengan masyarakat, lingkungan dan Tuhan).  ********


[1] Lihat Langenscheidt, Großes Schulwörterbuch Lateinisch-Deutsch, Berlin und München 2001, hal. 1167.

Berita Terkini