Opini Pos Kupang

Alasan di Balik Persoalan Sampah di Kota Kupang

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kegiatan Jumat Bersih di Jalur 40 Kota Kupang oleh Lantamal VII Kupang, Instansi Jasa Maritim Kupang serta Masyarakat Alak pada Jumat (1/2/2019).

Oleh Elvis Albertus Bin Toni
Dosen FKIP Bahasa Inggris Unwira Kupang

POS-KUPANG.COM - Sampah masih merupakan sebuah persoalan kronis yang belum terpecahkan secara paripurna di banyak tempat termasuk di Kota Kupang.

Halaman depan Harian Pos Kupang tanggal 12 Janauari 2019 menyajikan berita tentang penumpukan sampah medis yang mengandung Bahan Beracun dan Berbahahaya (B3) oleh beberapa rumah sakit di kota Kupang.

Perstiwa ini bukan baru kali pertama terjadi. Tahun lalu pun ada kejadian serupa (lihat http://kupang.tribunnews.com/2018/01/07/).Tentu bukan hanya sampah medis saja yang menjadi persoalan tetapi juga jenis sampah lain pun masih kerap kita jumpai berserakan di berbagai sudut kota Kupang.

Ramalan Zodiak Minggu 3 Februari 2019, Ini Deretan Zodiak Yang Raih Keberuntungan

Ucapan Suga BTS Kerap jadi Kenyataan, Beli Apartemen Rp 42 Miliar hingga Bergelar Miracle Idol

BERITA POPULER Drakor Encounter Keluarga Mahasiswa Unwira Tolak Autopsi & Bripda Puput Resmi Mundur

Tidak heran kota Kupang masuk dalam daftar kota terkotor di Indonesia berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK.649/MENLHK/PSLB3/PLB.0/12/2018. Ini tentu memalukan.

Pertanyaan mendasar yang memicu tulisan ini adalah "Mengapa masih banyak orang di Kota Kupang ini tidak tertib membuang sampah?" Menurut hemat saya ada beberapa faktor penyebab yang saling berkaitan.

Pertama, faktor mentalitas masyarakat. Konsep "tertib membuang sampah" masih semacam software atau perangkat lunak yang belum terinstal pada mental kebanyakan orang. Karena itu kadar kepekaan terhadap lingkungan hidup pun boleh dikatakan masih sangat rendah.

Akibatnya, banyak orang tidak merasa terganggu bila melihat pengendara motor, sopir angkutan kota, penumpang mobil mewah plat hitam maupun plat merah dengan seenaknya mebuang plastik kemasan air mineral ke jalan raya.

Orang tidak pernah menegur tetangganya yang membuang sampah rumah tangga ke parit-parit saluran air di sepanjang jalan raya; banyak pelajar maupun mahasiswa tidak merasa bersalah ketika membuang bungkusan makanan ringan di halaman sekolah atau pun kampus meskipun baru semenit yang lalu dibersihkan oleh petugas cleaning service.

Pendek kata, bagi kebanyakan orang, perilaku tertib membuang sampah belum menjadi produk budi alias "kebudayaan" dan atau pemarka adab bagi masyarakat kita. Di negara-negara maju seperti Jepang dan Singapura lingkungan bebas sampah adalah sebuah keniscayaan.

Berdasarkan pengamatan lansung penulis ketika berada di kedua negara ini, anak-anak sejak dini sudah mempunyai kepekaan yang tinggi soal hidup bersih. Membuang sampah pada tempatnya adalah gerakan otomatis karena perilaku ini sudah terpola dalam pikiran mereka. Bagi mereka kebersihan adalah peradaban. Masih banyak masyarakat kita belum mencapai tahap ini.

Kedua, kurangnya keteladanan dari kaum terdidik. Berpendidikan tinggi dan memiliki profesi yang prestisius tidak selalu berbanding lurus dengan perilaku hidup bersih. Kasus sampah medis tersebut di atas telah menunjukan bukti nyata. Banyak dari kita pasti merasa miris karena pelakunya adalah orang-orang yang empunya ilmu kesehatan. Mereka yang seyogyanya menjadi panutan.

Peristiwa ini seolah menjadi sebuah bentuk pembangkangan terhadap Bapak Gubernur Viktor Laiskodat. Seingat penulis di awal pemerintahannya Gubernur mengancam akan mendenda dengan uang sebesar Rp 50.000 siapa saja yang kedapatan membuang sampah sembarangan.

Beliau juga malah dengan sangat keras mengatakan akan menyuruh si pelaku memungut sampah dengan mulut. Akan tetapi ancaman ini belum sepenuhnya menggerakkan hati kaum terdidik di lingkungan sekolah, kampus dan lembaga pemerintahan untuk menjadi contoh yang konsisten dalam menangani persoalan sampah di masyarakat.

Kita hampir tidak pernah mendengar ada organisasi kemahasiswaan berdemonstrasi gara-gara masyarakat membuang sampah sembarangan atau ada pegawai dinas kebersihan memberi penyuluhan secara rutin kepada masyarakat soal penanganan masalah sampah. Padahal aksi-aksi seperti ini bisa menjadi cara yang tepat untuk merubah perilaku masyarakat dalam menangani sampah.

Ketiga, keterbatasan fasilitas. Merujuk pada kasus sampah medis di atas, salah satu alasan mengapa sampah-sampah itu menumpuk adalah karena banyak rumah sakit belum memiliki insinerator (alat pembakar sampah medis).

Diberitakan bahwa dari tiga belas rumah sakit di Kota kupang hanya dua rumah sakit (RS St. Carolus Borromeus dan RS TNI AU El Tari) yang memiliki alat pembakar sampah tersebut. Ironisnya rumah sakit negeri sebesar RSU Prof. Dr. WZ Johannes pun belum memilikinya.

Fasilitas untuk pembuangan sampah rumah tangga pun memprihatinkan. Jumlah tempat sampah di setiap kelurahan di Kota Kupang masih jauh dari memadai. Di Kelurahan Bello, Kecamatan Maulafa, misalnya, belum ada satu pun tempat sampah yang dibangun oleh pemerintah untuk menampung sampah rumah tangga sebelum, idealnya, diangkut oleh petugas dinas kebersihan ke tempat pembuangan akhir.

Alhasil, masyarakat terpaksa membuang di pinggir jalan umum atau pun tanah warga yang belum dihuni. Lebih parah lagi sampah-sampah itu bertumpuk berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun karena tidak pernah diangkut oleh petugas kebersihan kota sehingga menciptakan pemandangan yang buruk dan menimbulkan bauh yang tidak sedap.

Langkah yang Harus Diambil

Bila kita ingin menjadikan hidup bersih sebagai sebuah pemarka peradaban dan mengeluarkan Kota kupang dari daftar kota terkotor maka persoalan sampah harus ditangani secara serius. Ada beberapa langkah yang bisa diambil.

Pertama, menyuarakan secara konsisten bahwa hidup bebas dari sampah adalah tuntutan peradapan. Bebas sampah berarti bersih. Bersih berarti sehat. Masyarakat sehat menandakan majunya sebuah peradapan. Gerakan ini membutuhkan sinergitas antara lingkungan keluarga, masyrakat, sekolah, kampus, dan lingkungan pemerintahan.

Orang tua mesti memberi contoh kepada anak-anak tentang bagaimana menangani sampah. Contoh itu mesti ditunjukan berulang-ulang hingga bisa menciptakan sebuah kebiasaan. Kebiasaan ini mengalami penguatan ketika anak-anak beranjak ke lingkungan sekolah dan kampus karena guru-guru dan dosen-dosen pun adalah para pemberi contoh.

Intervensi pemerintah dalam mengadakan dan menegakan regulasi seperti Perda dan Pergub juga merupakan langkah lain yang sangat penting. Pemerintah Kota Kupang sudah sejak tahun 2011 memiliki Peraturan Daerah (Perda) terkait masalah sampah yakni Perda No. 2 tahun 2011 tentang penangan sampah dan Perda No.3 tahun 2011 tetang pengurangan sampah.

Kedua Peraturan daerah ini perlu lebih gencar lagi disosialisasikan. Sanksi-sanksi tegas perlu diberikan kepada mereka yang melanggar peraturan-peraturan ini. Di samping itu ancaman Bapak Gubernur di atas perlu diejawantahkan dalam sebuah Peraturan Gubernur yang berkekuatan hukum yang mana di dalamnya sanksi-sanksi bagi para pelanggar harus diartikulasikan secara tegas.

Langkah ketiga juga masih berkaitan dengan intervensi pemerintah. Pemerintah wajib menyediakan fasilitas penampungan dan pengolahan sampah sehingga masyarakat tidak kesulitan dalam menangani sampah.

Bila langkah-langkah ini sungguh-sungguh diambil maka bukan tidak mungkin impian kita menjadikan Kota Kupang Kota Pariwisata yang bersih dan beradap akan tercapai. Mari kita bergerak bersama, satu suara, Kota Kupang bebas sampah! *

Berita Terkini