Berita Nasional

Sastrawan NH Dini Meninggal Dunia karena Kecelakaan, Begini Kronologi Kecelakaannya

Editor: Bebet I Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Novelis NH Dini Meninggal Dunia Usai Kecelakaan, ini yang Terjadi Sebelumnya

Sastrawan NH Dini Meninggal Dunia karena Kecelakaan

POS-KUPANG.com - Sastrawan NH Dini (82) meninggal dunia akibat kecelakaan, Selasa (4/12/2018) sore.

Jenazah saat ini masih berada di kamar jenazah RS Elisabeth Semarang.

Kepala Humas RS Elisabeth, Probowati Condronegoro membenarkan bahwa NH Dini tutup usia.

Dijelaskan, dia meninggal akibat kecelakaan di tol Semarang.

Mengenal Sosok NH Dini, Sastrawan yang Bercita-cita Jadi Masinis

Tim Basarnas Temukan Jenazah Ke-10 di Selat Malaka, Identitasnya Masih Diselidiki

Google Perkenalkan Ponsel Wizphone, Dijual di Alfamart Rp 99.000

"Beliau meninggal dunia pukul 16.30 WIB saat berada di IGD rumah sakit Elisabeth," ujarnya.

Dijelaskan Probo, NH Dini sebelumnya menjalani program rutin akupuntur atau tusuk jarum.

Namun, saat melewati turunan Gombel, mobil yang dikendarai tertimpa muatan truk yang ada di depannya.

"Mobil yang dikendarai mengalami kecelakaan. Lalu korban dibawa ke IGD untuk diperiksa MRI," tambahnya.

 
Saat ini jenazah masih disucikan di RS Elisabeth untuk disemayamkan di Wisma Lansia Harapan Asri.

Direncanakan Rabu (5/12/2018) pukul 12.00 WIB akan dikremasi di pemakaman Kedungmundu Semarang. 

Catatan Wikipedia, beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan.

Dikutip dari ensiklopedia.kemdikbud.go.id, pada Sebuah Kapal merupakan novel karya N.H. Dini dalam dekade tahun 70-an. Novel itu telah mengalami tiga kali cetak oleh penerbit yang sama, yaitu Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.

Cetakan pertama diterbitkan pada tahun 1973, cetakan kedua tahun 1976, dan cetakan ketiga tahun 1979. Mulai tahun 1985 novel itu diterbitkan oleh Gramedia.

Pada tahun 1990 Gramedia telah menerbitkan buku itu untuk ketiga kalinya.

Novel Pada Sebuah Kapal terdiri atas dua bagian yang satu sama lainnya tidak merupakan satu kesatuan, tetapi saling mendukung dan memperjelas alasan peristiwa atau sifat-sifat tokoh pada bagian yang lain.

Tokoh-tokoh di kedua bagian sama, tetapi tokoh utama dalam bagian pertama adalah Sri, seorang penari yang menjadi istri seorang diplomat Perancis, Charles Vincent, sedangkan tokoh utama dalam bagian kedua adalah Michel Dubanton, seorang pelaut. Alur kedua bagian novel itu berbeda sekali.

Bagian pertama berisi rangkaian peristiwa yang dialami tokoh Sri sejak kecil sampai bertemu dan berpisah lagi dengan Michel Dubanton, sedangkan bagian kedua berisi rangkaian peristiwa yang dialami Michel Dubanton sejak kecil sampai bertemu dan berpisah lagi dengan tokoh Sri.

Sejak terbit pertama kali, Pada Sebuah Kapal telah mendapat tanggapan dari berbagai pihak.

Sebagai contoh, H. Zain menanggapi novel Pada Sebuah Kapal dengan mengatakan novel tersebut merupakan pemberontakan atas kungkungan nilai-nilai pernikahan dengan melepaskan segala ikatan warna dan bangsa serta cara perkawinan yang membuat manusia yang menciptakan nilai-nilai itu merasa tidak berbahagia (Pedoman, 20 November 1973).

Jadi, Pada Sebuah Kapal berisi pemberontakan untuk mencari kebebasan, khususnya kebebasan kaum perempuan. Lain lagi dengan pendapat H.B. Jassin (Dokumentasi H.B. Jassin, 17 Juli 1977) yang menyatakan bahwa tokoh Sri dalam novel itu telah menemukan eksistensi dirinya sebagai orang yang merdeka, berkehendak dan bertindak.

Ia bebas dari kekerasan dan kemarahan suaminya yang terus-menerus, serta penghinaan-penghinaan yang menimpa dirinya.

Tanggapan Alfons langsung pada sasarannya, yaitu selama ini pengarang merasa kecewa dengan sikap suaminya dan kekecewaan itu ditransformasikan dalam sikap dan perilaku tokoh Sri dalam novel itu. Jadi, pendapat itu mengesankan novel itu sebagai sarana penyampaian "uneg-uneg" (Kompas, 9 Agustus 1974). (*)

Berita Terkini