Oleh: Dr. Leta Rafael Levis
Dosen Fakultas Pertanian Undana Kupang
POS-KUPANG.COM - Tulisan ini terinspirasi oleh kegiatan Festival Bose, Se'i dan Lu'at (FBSL) yang diadakan oleh Pemerintah Kota Kupang, Hari Sabtu Tanggal 21 April 2018 di Jalan El Tari Kupang. Penulis menyaksikan langsung kegiatan tersebut.
Antusiasme warga Kota Kupang saat itu mengandung pesan antara lain, 1) Masyarakat sadar bahwa mengonsumsi `jagung bose' sangat penting sebab jagung bose selain mengandung karbohidrat, mineral, protein, vitamin, energi dan air, tetapi juga mengandung bahan anti diabetik dan antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh;
Baca: Inilah 6 Drama Korea yang Dibintangi Shin Won Selain Drakor Legend of The Blue Sea
Baca: Libra Dan 4 Zodiak Ini Paling Humoris, Berada Di Dekat Mereka Bikin Kamu Bahagia Terus
Baca: BTS Dapatkan Penghargaan Order of Cultural Merit, Apa Lagi Itu, Yuk Kepoin
2) Masyarakat sesungguhnya merindukan suatu terobosan dari pemerintah tentang kiat-kiat untuk menggali serta mengembangkan potensi lokal sebagai suatu tradisi yang telah terbukti secara turun-menurun mampu menghidupi masyarakat di Kota Kupang khsusnya serta di Pulau Timor umumnya. Tradisi tersebut berbasis pada pengetahuan lokal atau local knowledge.
Selama ini, pemerintah NTT secara terus-menerus mengajak masyarakat untuk mencintai dan mengonsumsi pangan lokal. Banyak pemimpin dan sebagian masyarakat NTT yang menganggap mencintai dan mengonsumsi makanan lokal sama dengan laggards (kolot). Mind set seperti itu berimplikasi pada kebijakan pemimpin tersebut yang seringkali mereduksi semangat masyarakat mengembangkan potensi lokal.
Oleh karena itu, gebrakan dari Dr. Jefri Riwu Kore dan dr. Herman Man patut diberikan apresiasi karena telah memenuhi ekspetasi sebagian masyarakat yang selama ini merindukan adanya keseriusan pemerintah di dalam mengangkat potensi-potensi lokal yang dikreasi berdasarkan local knowledge yang telah teruji oleh waktu dari generasi ke generasi.
FBSL Ikon Pariwisata Kota kupang
Pariwisata terkait dengan hal-hal unik, mistik, tradisi, alamiah, ramah tamah, kemudahan, seni, indah dan bernilai ekonomis. Banyak kota di Indonesia menjual kuliner lokal sebagai ikon obyek pariwisata. Misalnya, Kota Malang dan Kota Bandung dan beberapa kota lainnya.
Jika kegiatan Festival Kuliner Lokal tersebut diadakan secara berkala dan memiliki interkoneksi antar daerah maka dapat dipastikan akan memiliki dampak yang positif bagi pengembangan pariwisata di daerah ini. Jagung Bose, Se'i dan Lu'at adalah tiga jenis makanan khas masyarakat di Timor, khsusunya Kota Kupang dan telah dikenal luas.
Namun, sejauh ini campur tangan pemerintah masih sangat minim. Menu makanan ini dikembangkan oleh orang-orang tertentu sehingga belum menjadi `ikon' bagi Kota Kupang. FBSL diharapkan menjadi ikon baru pariwisata Kota Kupang.
Pariwisata Berbasis Local Knowledge
Pengetahuan lokal atau local knowledge' dalam aspek praktis dapat diartikan sebagai pandangan, norma dan keyakinan masyarakat lokal yang menuntun perilaku masyarakat untuk bertindak menghasilkan karya tertentu sesuai dengan kebiasaan yang dimiliki masyarakat sebagai warisan para leluhur dan telah teruji oleh waktu.
Tindakan yang berbasis pada pengetahuan lokal ini tersebar di berbagai bidang kehidupan seperti bidang ekonomi (pertanian dan non pertanian), kesehatan, seni, social budaya, politik, dan keamanan.
Banyak obyek wisata di NTT yang keberadaannya hanya semata oleh kekuatan imajinasi para leluhur dalam menciptakan sistem pertanian, makanan, tenunan, benda, kesenian, situs budaya atau aktivitas lainnya.
Contoh, sistem pertanian tradisional `salome' yang menjadi ciri khas budaya para petani di Timor di mana para petani menanam secara bersamaan yakni jagung, kacang dan labu dalam satu lubang tanaman yang sama dan dalam waktu bersamaan.
Kemudian, alat musik Sasando yang telah mendunia merupakan hasil karya nenek moyang dari Rote Ndao. Contoh lain, variasi kain tenun ikat, berbagai upacara pinangan di daerah ini, juga merupakan aktivitas masyarakat yang berbasis pada local knowledge.
Berbagai keunggulan tersebut di atas, merupakan hasil karya para leluhur (kecuali `given') yang dibuat berbasis pada pengetahun lokal. Singkatnya, NTT kaya dengan obyek wisata yang berbasis pada local knowledge.
Produk lokal ini merupakan sesuatu yang indah dan unik sebagai warisan leluhur sehingga sangat baik digunakan sebagai salah satu cara mengembangkan pariwisata di NTT.
`Cetak' Uang Berbasis Pariwisata
Pemerintah NTT telah menetapkan sektor pariwisata menjadi prioritas pertama dalam pengembangan ekonomi masyarakat NTT. Dari banyak aspek, sejauh ini aktivitas ekonomi masyarakat NTT bukan bersumber dari pariwisata tetapi bersumber dari sektor pertanian dalam arti luas dan kerajinan (tenun ikat).
Tidak sampai sepuluh persen rakyat NTT bergerak di sektor pariwisata. Oleh karena itu, untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai `money getter' bagi masyarakat dan juga PAD NTT memerlukan semangat dan tekad serius dari pemerintah.
Pemerintah harus bangkit untuk mengerahkan semua tenaga, uang dan sumber daya lainnya untuk mewujudkan sektor ini sebagai penghasil uang. Kalau tahun 2017, sektor pertanian berkontribusi 29,5% terhadap PDRB NTT, maka berapa persenkah yang disumbangkan sektor pariwisata?
Harus diakui bahwa kepemimpinan Dr. Marius Jelamu dan jajarannya yang menahkodai Dinas Pariwisata Provinsi NTT sejauh ini menunjukkan tren positif. Pariwisata NTT dilihat dari aspek event dan obyek terjadi kemajuan signifikan.
Walaupun demikian, dampaknya terhadap masyarakat masih perlu diuji. Olehnya, mungkin ada baiknya pemerintah dan pihak terkait melakukan evaluasi terhadap program pengembangan pariwisata yang dikembangkan selama beberapa tahun terakhir.
Misalnya, event `Tour de Flores', "Tour di Timor' dan lainnya. Evaluasi tentang berapa banyak uang yang telah pemerintah investasikan ke dalam sektor pariwisata?. Apa hasil yang diperoleh? Berapa banyak uang yang telah `dikembalikan' ke pemerintah dalam PAD?
Berapa banyak event dan obyek wisata yang telah mengkristalisasi ke dalam aktivitas ekonomi masyarakat NTT? Apakah ada dampak nyata terhadap perkembangan ekonomi warga sekitar even atau obyek wisata? Masih banyak hal yang harus dilakukan evaluasi agar pengembangan pariwisata sebagai sektor unggulan ekonomi terjawab.
Evaluasi ini diperlukan karena dari aspek geografis maupun aspek perilaku masyarakat terdapat kesenjangan yang lebar antar wilayah di NTT. Interkoneksi antara wilayah, obyek wisata di lokasi yang berjauhan bukanlan pekerjaan yang mudah. Hal ini merupakan salah satu perbedaan pengembangan pariwisata di NTT dibandingkan dengan pengembangan pariwisata ala Bali. Letak obyek wisata yang berjauhan mereduksi optimisme wisatawan untuk berkunjung ke tempat itu karena berdampak pada peningkatan aspek biaya, tenaga dan waktu.
Di lain pihak, untuk mengubah perilaku masyarakat berbasis budaya pertanian dengan perilaku berbasis pariwisata yang mengutamakan keramahtamahan, sopan santun, kelemahlembutan, senyum, bersih, indah, pengetahuan dan skill yang mumpuni tentang pariwisata adalah pekerjaan yang sangat sulit.
Sebab, persoalan utama mengubah perilaku masyarakat NTT adalah pada aspek mengubah sikap dan `mind set'. Mengubah kedua hal ini membutuhkan waktu dan proses yang benar. *