Laporan Reporter Pos Kupang.Com, Adiana Ahmad
POS-KUPANG.COM|KUPANG—Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan NTT membeberkan hasil pemeriksaan terhadap laporan keuangn pemerintah daerah (LKPD) di NTT tahun 2017. Dari hasil pemeriksaan itu, ada 20 LKPD yang mendapat opini WDP, satu disclaimer dan hanya dua LKPD yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)
Demikian dibeberkan dua auditor Senior BPK RI Provinsi NTT, Erikson Simbolon dan Suandi daalam Media Workshop BPK Perwakilan NTT di Lantai III Gedung BPK RI Perwakilan NTT, Jumat (19/10/2018).
Erikson dan Suandi yang tampil sebagai narasumber bersama Kepala Perwakilan BPK Ri Provinsi NTT, Edward G. Hasiholan Simanjuntak, mengungkapkan, ada 10 persoalan yang sering ditemukan BPK dalam setiap pemeriksaan LKPD di NTT.
Sepuluh persoalan tersebut yakni;
pertama, asset tetap dimana hasil kapitalisasi tidak diatribusi ke asset induknya atau dicatat sebagi asset baru, inventarisasi asset tetaap belum dilaksanakan/ belum selesai/ tidak didukung dengan dokumen yang memadai, penyajian asset tetap di neraca belum didukung dengan rincian dari bidang asset dan OPD, penatausahaan asset tidak tertib, data informasi asset tetap dalam KIB/ buku inventaris tidak lengkap dan informative, asset tetap dicatat secara gabungan.
Kedua, asset tak berwujud belum dilakukan inventarisasi dan penilaian.
Ketiga, kas tekor dan/ atau selisih kas belum tuntas penyelesaiannya.
Keempat, penerimaan/ pengeluaran/ kas/ persediaan/ asset tetap dan bantuan operasional sekolah (BOS) belum disajikan secara akurat dalam LRA/ LO dan neraca.
Kelima, Piutang PBB Perdesaan dan perkotaan tidak akurat dan belum disajikan secara rinci per nomor obyek pajak.
Keenam, persediaan belum disajikan secara akurat berdasarkan nilai sebenarnya.
Ketujuh, pencatatan dana bergulir belum akurat dan memadai.
Delapan, investasi permanen berupa penyertaan modal tidak disajikan berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen.
Sembilan, nilai utang jangka pendek atas pekerjaan konstruksi disajikan berdasarkan selisih antara nilai kontrak dan realisasi pembayaran (SP2D) kepada penyedia jasa dan bukan berdasarkan realisasi riil. (*)