Oleh Abdul Munir Sara
Putra Alor dan Tenaga Ahli Anggota DPR RI
POS-KUPANG.COM - Hari Jumat 14 September 2018, kami baru saja dari Air Kenari, usai bertemu warga untuk suatu hajat sosial. "Pak, jangan ikut jalan utama, macetnya tak karuan karena pawai Expo Alor 2018," begitu kata warga setempat dan para pengendara yang lalu-lalang, saat kami melipir keliling Kota Kalabahi.
Dari atas ketinggian Air Kenari, di balik celah pepohonan yang rindang, tampak tersingkap air laut nan teduh membelah Kota Kalabahi dan Moru. Mencekah pesona Kota Kenari. Teluk Kalabahi, seperti Villefranche di Prancis yang acap nongol di acara channel Natgeo People.
Hijau bakau sepanjang pantai Beldang dan Welae, mendederkan keindahan. Pun gunung-gunung yang ngangkang berjejer mengelilingi Pulau Alor. Tak kalah indah mulut Kumbang, yang mengapit pulau Kepa dan Alor Kecil.
Persis pusaran Old Sow yang membelah pantai Deer Island dan pulau Moose-Amerika. Cuma old sow-Deer Island di Amerika sana, tiap tahunnya meraup miliaran dollar AS, sementara mulut Kumbang di Alor?
Hanya meninggalkan mitologi dan kharisma magis yang dikisahkan turun-temurun. Di pantai selatan Jawa, mereka bisa mengkapitalisasikan sisi magis Ny Roro Kidul. Tiap tahunnya menghasilkan pemasukan bagi pemerintah daerah setempat.
Pariwisata di sepanjang pantai selatan, tumbuh pesat dan menggairahkan perekonomian masyarakat di sekitarnya. Mereka punya mitos, tapi memberikan benefit ekonomi. Kita punya mitologi, tapi cuma mewariskan rasa takut.
Hawa sore di Kota Kalabahi cukup hangat. Lagit cerah, nyaris tak ada setitik pun awan di atap langit Kota Kalabahi. Jalan-jalan nampak resik, menyambut kedatangan tetamu dari berbagai Kabupaten di NTT yang ingin menggelar budayanya di Alor.
Sekitar pukul 16.30 Wita, suara guguh gong sudah terdengar lirih dari jauh.
Dengan mobil Avanza putih punya Mr. Stubborn, kami merapat ke sekitar lapangan Mutiara Kalabahi. Akhirnya kami ngetem di warung kopi; sekitar lapangan Mutiara. Kopi dan pisang goreng, menemani kami yang sudah tak sabar ingin menyaksikan peserta karnaval.
Memang agak susah mencari tempat nongkrong di Kalabahi. Pagi sebelum acara karnaval, lima orang bule yang nginap di hotel Melati, ngaku kesulitan mencari sarapan. "We have trouble finding a breakfast stall here." Begitu kata mereka, ketika berpapasan dengan saya di depan toko Gunung Bromo-Kalabahi.
Saya pun jadi ingat kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng). Mereka mampu membikin branding image Palu sebagai "kota 1.000 kafe." Pariwisata di kota Palu, tumbuh bersama sentra-sentra kuliner yang berkembang bak jamur di musim hujan. Dan kafe-kafe yang terus bertumbuh di sentra kota hingga melipir ke pinggir kota, ini dikelola oleh mayoritas anak-anak muda.
Rata-rata kafe dan restoran di Kota Palu, menyajikan panganan lokal. Kaledo Palu yang terkenal, pun menjadi menu wajib. "Jangan bilang ke Palu, kalau belum menyantap kaledo." Itu yang ada di isi kepala orang Palu dan yang berkunjung ke sana. Rata-rata kafe di Palu, menjual branding image Kota Palu.
Sementara Kalabahi cuma punya Resto Mama dan Hotel Pulau Alor yang agak layak. Kasarnya, pariwisata di Alor belum siap tumbuh dengan menjadikan pariwisata sebagai core business daerah.
Bahkan tiga sektor yang memberikan sumbangsih pertumbuhan paling tinggi di Kota Palu adalah perhotelan, restoran dan kafe. Inilah yang menjadi pilar pemicu pertumbuhan pariwisata di Kota Palu. Pariwisata di Kota Palu sana sedang tumbuh ke arah industri. Dengan kondisi topografi yang tandus, maka mereka tahu betul, pariwisata adalah core business yang menjanjikan bagi Kota Palu.
Regional expenditure dalam APBD Palu, benar-benar disasarkan pada sektor-sektor andalan daerah. Salah satunya adalah pariwisata. Itu hasil diskusi kami panjang lebar dengan Wakil Walikota Palu, Sigit Purnomo alias Pasha Ungu saat kunjung ke sana. Mungkin pariwisata di Palu, bisa dijadikan benchmarking untuk pariwisata di Alor.
Core Business
Soal karnaval di Alor, sudah pasti, tak bosan-bosan saya melihat tampilan pakaian etnik Alor yang beragam. Sekitar 20 menit kami nangkring, munculah peserta karnaval. Dari dekat, saya melihat dan terpesona dengan detail-detail aneka kostum etnik Alor berbahan tenun tradisional.
Tak luput pakaian etnik kulit kayu yang digunakan penari Cakalele. Dengan menghunus pedang, mereka jingkrak-jingkrak sambil mendedau. Entah apa yang diomongnya. Konon itu tari perang. Budaya Alor tak luput dari heroisme. Sebab itu, di pusar kota, nampak patung seorang ksatria memegang tombak menuding langit. Menjadi episentrum; simbol keksatriaan orang Alor.
Alor menyimpan kekayaan etnik dan alamnya. Saya jadi ingat empat tahun lalu, ketika Mas Hanafi Rais menginjakkan kaki di Alor. Katannya, "Alor punya core business kepariwisataan yang luar biasa. Tapi belum disentuh dengan baik."
Semestinya investasi di bidang kepariwisataan tumbuh pesat di Alor. Tapi prasyarat tumbuhnya investasi pariwisata harus mampu dijawab dalam prioritas pembangunan yang tertuang dalam visi pembangunan dalam RPJMD. Secara operasional, semuanya tercermin dalam APBD tiap tahun. Jadi APBD-nya tak cuma berisi rutinitas anggaran.
"Interkoneksi pembangunan, harus menyokong core business di Alor. Jadi kalau mau bangun apa-apa, harus adala kalkulasi benefit sosial dan ekonomi. Khususnya di bidang kepariwistaan." Mas Hanafi terpukau oleh keindahan pantai Alor sepanjang bandara Mali. Sampai-sampai dia tanya, kenapa tak begitu nampak investasi kepariwisataan di Alor?
Bahkan sebelum naik pesawat, mas Han menyempatkan diri mandi di pantai Maimol, sekadar ingin tercelup dalam keindahan pantainya. Intinya, Alor bisa menadah spillover effect dari tumpahan destinasi dari Bali dan NTB, asalkan pemerintahnya sungguh-sungguh ingin menjadikan pariwisata sebagai andalan penerimaan daerah dan betul-betul membangun infrastruktur penunjang. Spillover effect dalam teori ekonomi adalah; pengaruh kelimpahan aktivitas ekonomi daerah tetangga.
Branding Image
Berdasarkan data Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nusa Tenggara Timur misalnya, pada tahun 2016, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke destinasi wisata di Kabupaten Alor dan pulau-pulau kecil lainnya mencapai sekitar 1.577 orang. Jumlah kunjungan ini tergolong kecil jika dibandingkan dengan kunjungan wisman ke Pulau Komodo yang mencapai 29.377 orang pada tahun yang sama.
Dari data ini, nampak jelas bahwa, destinasi-destinasi yang ada di kabupaten Alor, belum memiliki branding image yang kuat sebagaimana pulau Komodo dengan branding dengan reptil Komodo yang terkenal. Demikianpun sarana pendukung seperti perhotelan dan infrastruktur pendukungnya yang jauh lebih maju.
World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, mengemukakan pemasukan APBD Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) dari sektor pariwisata mencapai Rp 1 triliun per tahun. Pemasukan Pemda Mabar di sektor pariwisata ini setara dengan total APBD Kabupaten Alor pada tahun anggaran 2017.
Padahal Mabar adalah kabupaten baru yang dulunya adalah kecamatan kecil yang gelap gulita. Kini, dengan sektor pariwisata, kabupaten Mabar, sedang tumbuh mengejar Bali dan NTB yang sudah jauh lebih maju di sektor pariwisata.
Tentu kita berharap, selain Mabar, sektor pariwisata Alor pun bisa tumbuh sebagai destinasi penyanggah atau menadah spillover effect dari tumpahan destinasi dari Bali dan NTB. Semoga. *