Opini Pos Kupang

Demam Caleg Mantan Koruptor

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi

Toh, masih gertak mau caleg lagi. Lebih sinting lagi adalah partai politik. Karena saya tidak mengerti cara berpikir mereka. Masa mantan maling digadai representasi partai.
Miris, ya.

Logika politik partai sepertinya mengerucut ke titik nol. Di mana-mana yang namanya "mantan" penjahat, maling, pembunuh, dan koruptor menakutkan publik. Tapi, partai politik tetap konsisten menampung "para mantan" untuk merepresentasikan partainya di medan pertarungan pileg. Ini benar-benar tidak sehat.

Mari kita membayangkan sejenak. Kita ingin bepergian ke sebuah destinasi yang belum kita kuasai. Kita naik mobil dengan menggunakan GPRS yang tidak beres atau error. Apakah kita bisa berharap sampai pada tempat tujuan? GPRS yang terbukti aktif sempurna saja bisa meleset. Apalagi, memilih GPRS yang sudah ketahuan error.

Analogi di atas mirip dengan kekonyolan yang didramatisasikan oleh partai-partai politik sekarang. Jika pemimpinnya saja sudah cacat atau error, apa masih bisa mengurus dan menyuarakan kepentingan publik yang bertumpuk-tumpuk. Karena itu, untuk menyembuhkan penyakit ini maka kita harus paham sakitnya (si)apa. Jujurlah.

Taruhlah anak sedang sakit demam. Umumnya kita langsung meraba kulitnya. Panas bukan main. Secara otomatis kita berusaha untuk mengompresnya. Padahal, kulit yang panas itu hanya reaksi tubuh. Sinyal bahwa ada penyakit serius yang ada dalam tubuh. Kira-kira begitu pula masalah pro-kontra caleg mantan koruptor yang riuh ini.

Para caleg mantan koruptor ini hanya "sinyal panas" yang dilempar ke publik. Tetapi penyakit yang sesungguhnya ada dalam tubuh partai politik. Karena itu, jika kita ingin menyembuhkan sinyal panas ini maka sembuhkan dulu partainya. Banyak "penyakit kronis" dalam partai yang perlu disembuhkan. Ini tugas super berat bangsa ini.

KPU menggebuk mantan caleg koruptor dengan deretan aturan adalah bentuk penyembuhan "kompres" ala sakit demam. Peyembuhan instan. Toh, penyakit berat itu bercokol dalam tubuh partai. Kita tidak bisa berharap banyak pada produk undang-undang baru untuk menyehatkan partai. Lihat saja! KPU dan Bawaslu saling gunting.

KPU membutirkan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018. Larangan narapidana menjadi caleg. Lalu Bawaslu menggunting PKPU itu dengan UU No 7/2017 tentang pemilu yang tidak mengatur pelarangan bekas koruptor menjadi caleg. Gila. Tak pakai bohong!

Drama politiknya cakep. Hasilnya, 6 daerah loloskan caleg mantan koruptor
Aceh, Toraja Utara, Sulut, Parepare, Bulukumba, dan Rembang (Kompas,31/8/2018).

Oleh karena itu, saya menganjurkan dua solusi ekstrem. Pertama, kita sebagai rakyat bisa menyembuhkan partai-partai "sakit-sakitan" itu. Boikot partai yang serius mendukung korupsi itu. Jangan memilih calegnya. Mantan koruptor saja mereka bela. Sikap elegan bahwa serius merawat korupsi. Masa kita nonton saja.Sudah keterlaluan.

Kedua, media lokal jangan takut disebut sebagai evil media minded. Sebarluaskan nama-nama partai yang konsisten mencalonkan mantan koruptor menjadi calegnya. Dengan cara ini, publik selalu diingatkan akan partai-partai yang tidak sehat ini. Bila perlu kata koruptor diganti dengan "maling". Jadi, ada 207 maling siap nyaleg. Lucu! *

Berita Terkini