Setelah merobek surat perintah pembayaran pajak, Ola Bebe menggantung sobekan kertas tersebut di atas pohon sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda. Belanda marah dan perang bisa terelakan lagi. Korban berjatuhan, baik dari pihak Belanda maupun barisan pengikut Ola Bebe.
Dengan menggunakan pola perang gerilya, Belanda pun kesulitan menangkap Ola Bebe karena selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Tapi Belanda tidak kehilangan akal. Setahun berlalu, Pemerintah Kolonial Belanda pun mengadakan sebuah sayembara berhadiah 30 perak kepada siapa saja yang bisa menangkap Ola Bebe, baik dalam keadaan hidup maupun mati.
Sayembara itu diumumkan kepada seluruh masyarakat di Pulau Adonara, namun tak satupun berhasil menangkap atau membunuh Ola Bebe sebagaimana tawaran pihak Belanda. Bagaimana caranya membuat Ola Bebe menyerah?
Langkah tegas yang diambil koloni Belanda pada masa itu adalah menangkap Bengan Tokan, ibu kandung dari Ola Bebe saat pulang dari pasar.
Pria tangguh itu akhirnya memilih jalan menyerahkan diri untuk menyelamatkan ibu kandungnya dari tawanan Belanda. Tahun 1913, Ola Bebe menjalani proses hukum di Pengadilan Belanda yang berkedudukan di Desa Loga, Lewo Pulo, Adonara timur. Pada tahun 1914, Yoseph Ola Bebe dijatuhi vonis penjara 12 tahun atas dakwaan melakukan pembangkangan terhadap kebijakan Pemerintah Belanda.
Olah Bebe menjalani hukuman di penjara Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur. Hanya beberapa bulan di Larantuka, Ola Bebe dibawa ke Kupang.
Pada 1915, Belanda merasa seperti kurang nyaman jika Ola Bebe tetap menjalani hukuman di penjara Kupang.
Dia kemudian dikirim lagi ke penjara Surabaya selama dua tahun, dan seterusnya ke Nusa Kembangan di Jawa Tengah. Selama dua tahun lamanya, Ola Bebe menikmati kisah hidup di Nusa Kembangan, dan dipindah lagi ke penjara Sukamiskin di Jawa Barat, Jakarta dan Paledang Bogor.
"Kakek dulu menjalani hukuman penjara di hampir semua penjara besar di Pulau Jawa, tetapi berhasil kumpul kembali bersama keluarga setelah menjalani hukuman sebagai pekerja tambang batu bara di Sawahlunto selama sekitar empat tahun," kata Hendrikus Lebu Raya, seorang cucunya.
Pada 1917, Yoseph Ola Bebe bersama ribuan nara pidana lainnya diangkut dengan kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya menuju Pelabuhan Emmahaven--sekarang Pelabuhan Teluk Bayur, yang dibangun kolonial Belanda antara tahun 1888 sampai 1893.
"Mereka yang menjalani hukuman di Sawahlunto umumnya adalah narapidana yang melakukan pembangkangan terhadap kolonial Belanda. Ada juga tawanan yang mempertahankan tanah nenek moyang mereka yang dirampas Belanda," kata Nurna, pemandu Museum Sawahlunto.
Di Sawahlunto inilah para napi mengalami penyiksaan sebagai pekerja tambang batu bara. Dan, Yoseph Ola Bebe merupakan bagian dari sejarah perbudakan Belanda di Sawahlunto yang kini terus dikenang anak cucunya serta masyarakat setempat lewat lembaga pendidikan SMP Lamaholot 1912. (antara/bernardus tokan)