Begini Sebaiknya Menyikapi Kasus Persekusi Wakil Walikota Kupang Herman Man

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Walikota Kupang, dr. Herman Man

Kedua, politik. Wakil walikota adalah juga jabatan politis, tidak sekadar birokratis. Dalam perspektif ini, harap hati-hati dalam menyikapinya. Sebab, bisa jadi ini adalah permainan politik.

Pertama, kejadian ini katanya adalah buntut dari janji kampanye kepada tim sukses (timses). Menurut sumber yang belum bisa dikonfirmasi kebenaran informasinya, oknum-oknum ini adalah timses paket walikota-wawali yang kini resmi menjabat tersebut.

Kepada timses dari latar ASN/PNS ini dijanjikan mutasi kedinasan apabila berhasil menang. Memang paket wali/wawali ini kemudian menang. Maka, wewenang untuk melakukan mutasi seharusnya dilakukan Jefri Riwu Kore selaku walikota.

Namun, mungkin karena yang bersangkutan sadar bahwa ini adalah isu panas, lalu melemparkannya ke wakil walikota yakni dr. Herman Man untuk menunaikannya.

Bola panas ini memang mungkin sudah diterima oleh dr. Herman, akan tetapi berhubung UU No. 8/2015 tentang Perubahan Atas undang-Undang No. 1/2015 tentang Penetapan Perpu No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi undang-Undang, khususnya pasal 162 ayat (03) mengatur

"Gubernur, Bupati, atau Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota, dalam jangka waktu enam bulan terhitung sejak tanggal pelantikan," maka jelas dr. Herman belum bisa melaksanakan hal itu.

Sekelompok oknum itu bisa saja karena tidak sabar, lalu mencoba menekan dengan melakukan persekusi terhadap Wakil Walikota Kupang tersebut.

Tinjauan kritis pantas dilontarkan terkait ini. Bila benar para oknum tersebut adalah timses, maka ini berarti mereka terlibat politik praktis, hal mana melanggar Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Otonomi Daerah, serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang mana semuanya melarang ASN/PNS berpolitik praktis.

Di sini tentu kedua pihak bersalah. Jangankan yang menang, yang kalah saja bisa dipenjara karena secara nyata melakukan pelanggaran terhadap amanat UU di atas.

Di sinilah mungkin letaknya kenapa dr. Herman masih bergeming tidak mau tampil ke publik guna mengklarifikasi kasus persekusi yang dialaminya tersebut.

Tepat di sini pula para simpatisan korban perlu berhati-hati mengadvokasi. Niat membela, malah jerat hukum menunggu beliau. Jadi, kasus ini harus betul-betul dikaji mendalam dahulu sebelum kita melontarkan nada-nada simpati.

Kedua, dari persepktif politik kasus ini pantas juga dinilai sebagai upaya menaikkan popularitas dr. Herman. Membanjirnya simpati jelas merupakan modal yang besar dalam domain politik.

Ingat, dalam domain politik, tak ada yang benar-benar merupakan tragedi sebagaimana pula tak ada kebahagiaan yang abadi. Semuanya kabur di balik balutan kepentingan. So?

Hentikan Simpati Konyol!

Telah penulis singgung bahwa kasus ini serta-merta menuai simpati khalayak kepada dr. Herman. Namun, Ketua PKB Mabar Sirilus Ladur punya pendapat berbeda.

Halaman
123

Berita Terkini