Globalisasi, Densus Tipikor dan Etika Profesi

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi

Oleh: Watu Yohanes Vianey
Dosen Unwira Kupang

POS KUPANG.COM -- Sejarah mencatat pada tahun-tahun peralihan dari milenium lama hingga dewasa ini, ada sejumlah realitas tragis dan destruktuf yang berskala mondial mengguncang dunia.

Di negara berkembang termasuk negara kita terjadi beberapa tragedi kemanusiaan dalam berbagai bidang kehidupan sosial. Dalam ruang dan dinamika globalisasi dan fenomena edan multidimensi ini, kita harus mengakui negara kita masih dalam posisi yang 'rawan' (vulnerable).

Alfons Taryadi redaktur senior Kompas, mencatat dalam Jurnal "Iman dan Budaya (2004), ada 12 fakta situasi sosial budaya di Indonesia yang dominan 'rawan' tersebut. Beberapa di antaranya, yang datanya masih cocok hingga dewasa ini dapat diuraikan sebagai berikut.

(1) Negara kita masih berpredikat sangat korup. Konon bersama Uganda, Indonesia dicatat sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Bukankah sampai dewasa ini KPK sukses melakukan Operasi Tangkap Tangan saban bulan? Menarik bahwa justru ada fenomena dari sebagian anggota DPR RI ingin melemahkan KPK. Dan dalam suasana ini Jenderal Tito Karnavian menawarkan dan mewacanakan Lembaga Densus Tipikor.

(2) Masih banyak pelanggaran HAM dan perdagangan manusia. NTT termasuk wilayah yang rentan dengan fenomena ini. Konon rata-rata sekitar 24 juta perempuan Indonesia pernah mengalami berbagai bentuk tindakan kekerasan berat.

(3) Lemahnya reformasi hukum dan peradilan. (4) Mutu pendidikan rendah. Indonesia masuk dalam kategori yang negara yang mutu pendidikannya terendah di Asia Tenggara. NTT berdasarkan skala Ujian Nasional ada pada nomor ketiga dari urutan belakang, alias rendah di antara yang rendah.

Masalah sosial budaya dan religius yang lain, yang turut dipicu dinamika keedanan globalisasi adalah masalah jaringan narkoba trasnasional, jaringan gerakan fundamentalisme agama transnasional dan terorisme transnasional, serta gempitanya pemujaan tubuh dan ekstase hawa nafsu pada sebagaian masyarakat global.

Globalisasi pariwisata dan globalisasi informasi melalui cyberporno ala smartphone, menyuburkan fenomena disorientasi etis, baik menyata dalam berita-berita bohong, maupun mewujud pada disorientasi nilai tubuh melalui tindakan seks bebas dan aneka brutalitas ikutannya.

Hasrat untuk berkuasa dengan tipe pemimpin kharismatik egois yang demagogis ala 'neohitlernian' seperti diperankan pemimpin Korut, Iran, dan USA dewasa ini, yang terjalin dengan semangat neotribalisme kepribumian dan keagamaan, menambah runyam suasana kebatinan peradaban bangsa yang bhineka tunggal ika.

Singkatnya muncul gejala antagonisme radikal yang destruktif dan fatal pada sebagian masyarakat global, dan segelintir masyarakat negri ini, yang tidak menuju ke arah rekonsiliasi dan sintesis moral berbasis ideologi Pancasila.

Menghadapi aneka tantangan di atas, bangsa ini harus mendukung peran Polri sebagai penjaga Kambtimas yang etis dan profesional di NKRI. Pertanyaannya mengapa justru pada saat sekarang Kapolri menawarkan lagi lembaga Densus Tipikor? Selanjutnya, prinsip-prinsip etika profesi seperti apa yang seharusnya dimiliki oleh anggota Polri?

Saya percaya pada kepemimpinan Kapolri Jenderal Tito yang bersih dan reformis pada rejim Jokowi dewasa ini. Dan, karena itu saya setuju dengan gagasan Densus Tipikor untuk meningkatkan perlawanan yang total dan holistik terhadap para koruptor dan peternaknya di negeri ini. Kesuksesan Densus 88 melibas terorisme transnasional kiranya menjadi inspirasi dan motivasi untuk Densus Tipikor di atas.

Tentu semuanya harus dijalankan secara profesional dan tidak bertentangan dengan kode etik profesi, standar hukum pidana, bersinergi dan selaras dengan sistem lembaga peradilan dan hukum yang lain (KPK dan Kejaksaan).

Mengikuti Sonny Keraf (1998), penulis menawarkan prinsip-prinsip etika profesi yang kiranya dapat membantu kepolisian dalam menjalankan tugas mulia mereka itu. Pertama, prinsip tanggung jawab.

Tanggung jawab adalah salah satu prinsip pokok bagi Polri sebagai kaum profesional. Polri wajib bertanggung jawab atas panggilan dan dampak profesinya itu terhadap kepentingan rakyat, negara dan masyarakat, sebagai lembaga dan orang-orang yang dilayaninya.

Kedua, prinsip keadilan. Prinsip ini terutama menuntut Polisi agar dalam menjalankan profesinya, ia tidak merugikan dan melecehkan hak asasi manusia dan kepentingan yang fairness dari pihak mana pun, khususnya orang-orang yang menjadi korban. Demikian pula, prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan profesinya, polisi tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapa pun, termasuk pada orang yang mungkin tidak dapat membayar jasa profesionalnya.

Ketiga, prinsip otonomi. Prinsip ini dituntut secara internal di kalangan kepolisian sendiri terhadap dunia luar agar mereka sungguh percaya diri dan merasa bebas dan diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya.

Namun harus disadari bahwa prinsip otonomi berupa kebebasan ini dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen professional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut, serta dampaknya pada kebaikan dan peradaban masyarakat dan Negara.

Keempat, prinsip integritas moral. Polisi yang professional termasuk Densus Tipikor adalah sosok dan komunitas yang punya veracitas dan integritas pribadi atau integritas moral yang tinggi.

Oleh karena itu seluruh jajaran Polri harus punya komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya, dan juga kepentingan bangsa, negara dan masyarakat. Maka untuk menghadapi masalah sosial budaya yang terkait ketertiban masyarakat akibat dampak negatif dari globalisasi seperti dideskripsikan pada bagian pertama tulisan ini, pertama-tama, Polri harus menyadari bahwa masalah globalisasi itu adalah juga masalah Polri sendiri. Ada empat benang yang merajutnya.

Benang pertama, berkaitan dengan martabat dan keluhuran setiap insan yang diciptakan setara di hadapan Tuhan Yang Mahaesa. Dasar ideologis ini memperlihatkan jatidiri insani sebagai citra dan wakil Tuhan sendiri, yang ambil bagian dalam hidup Ilahi-Nya.

Masalah sosial akan timbul, kalau arus globalisasi dalam industri narkoba transnasional dan pariwisata budaya lokal, misalnya, melecehkan martabat manusia.

Bagi industri pariwisata budaya membiarkan maraknya pemujaan terhadap hawa nafsu seksual, seperti menyiapkan arena untuk merayakan kegiatan `sex bebas' (free sex), harus ditertibkan oleh Polri, tentu dengan strategi inside out -dari dalam keluar.

Benang kedua, berkaitan dengan eksistensi manusia yang selalu "ada bersama" sebagai makhluk sosial. Polri hendaknya menjalani hidupnya sebagai sahabat dan pengayom keamanan rakyat, mengasihi, tidak saling membunuh, berdusta, dan mencuri.

Masalah sosial timbul, kalau Polri berlaku tidak adil dan acuh tak acuh terhadap berbagai bentuk kekerasan dan pemerasan yang terjadi.

Benang ketiga, berkaitan dengan evidensi interdependensi antarmanusia, antaragama, antarnegara, antarbudaya dan dengan keutuhan ekosistem sebagai milik bersama seluruh ciptaan. Bumi adalah milik kita bersama.

Jadi sumber-sumber kekayaannya harus dikagumi, dinikmati dan digunakan secara adil bagi semua orang termasuk generasi yang akan datang. Karena itu Polri dipanggil untuk terlibat melestarikan alam dengan menjaga keutuhan dan keindahan nya.

Teknologi dan mafia investor yang mendukung industri yang merusak ekosistem harus dicegah dan dimusnahkan. Polri yang profesional itu peka dan sigap melawan segala bentuk rasialisme, neotribalisme, neoklonialisme dan neoimperialisme yang dibungkus dalam fundamentalisme ekonomi industrial itu.

Benang keempat, berkaitan dengan perbuatan jahat dan sikap Tuhan yang maha pengasih dan penyayang. Walaupun manusia jatuh ke dalam ketidak tertiban dan kejahatan, salah dan dosa, yang mengakibatkan aneka bentuk kesengsaraan, namun

Tuhan tetap mau menyelamatkan semua orang (1 Tim 2: 4-5). Masalah sosial budaya timbul dan merusak peradaban insani, kalau kita menyangka manusia tidak dapat bertobat.

Karena manusia dapat bertobat maka kita butuh upaya hukum dan rekonsiliasi. Polri diajak untuk menjadi tanda dan sarana penegak hukum dan pendorong rekonsiliasi di antara penjahat dan rakyat.

Kode etik tembak di tempat untuk para penjahat dan pelanggar kambtimas berat pada umumnya, perlu disiasati dan disikapi secara etis, dengan ciri karakter berani, disiplin, dan arif atas nama perwujudan profesionalitas untuk kebaikan bersama. Viva bonum commune!*

Berita Terkini