Dibandingkan dengan perempuan (laki-laki) di masanya, Kartini berbeda. Di dalam keterbatasannya sebagai perempuan yang tidak bisa melawan adat, yang harus patuh pada suami, pada tradisi, pada budaya patriarkal, masih ada ruang di dalam dirinya untuk berpikir. Ketidakpuasannya kepada belenggu adat, agama dan sistem sosial ia tuangkan dalam surat-suratnya. Ketika berkabar dengan kawan-kawannya di Belanda, dia tidak hanya menyapa dan sekadar menanyakan keadaan mereka.
Ia menuangkan pemikiran yang visioner; suatu rancangan kemerdekaan bagi perempuan, bagi rakyat jelata; suatu pemikiran kritis atas praktik-praktik peminggiran dan ketidakadilan. Ia menulis tajam mengenai ketidakpuasannya pada budaya Jawa yang membelenggu perempuan dan rakyat jelata. Ia memimpikan perempuan yang kedudukannya setara dengan laki-laki. Ia menginginkan pendidikan dan pengetahuan yang tinggi harus dimiliki setiap insan. Ia melihat bahwa sistem aristokrasi telah menyebabkan penderitaan.
Kartini juga terbuka pada nilai di luar budayanya sendiri yang lebih baik. Ia tidak primordialisme dan menganggap kebudayaannya sendiri paling benar. Ia memuji nilai dan budaya lain (Belanda dan modernisme) yang lebih berpihak pada perempuan. Ia juga menganggap bahwa pengetahuan dan ilmu dapat menjadi jalan pemerdekaan.
Surat dan pemikiran Kartini memang tidak berdampak bagi perubahan masyarakat dan perempuan di masa hidupnya. Ia bukan aktivis pejuang lapangan. Namun pena Kartini tajam. Tujuh tahun setelah kematiannya, surat-suratnya dikumpulkan dan dibukukan oleh Mr. Abendanon, Menteri Kebudayan, Agama dan Kerajinan Belanda masa itu. Buku dalam bahasa Belanda itu diberi judul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya). Setelah dicetak beberapa kali dalam bahasa Belanda, Armin Pane mengolahnya kembali dan menerbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Di sinilah pena Kartini telah mengubah sejarah Indonesia. Kata-kata, surat dan tulisannya membuat Kartini dikenal sebagai pejuang emansipasi, tokoh yang melancarkan kritik budaya yang menindas khususnya kaum perempuan. Kartini pantas disebut perempuan sejati justru karena kekuatan intelektualnya, bukan pada kebaya, konde dan kemolekan. Ketika kita memperingati Hari Kartini, hendaknya jangan pernah melupakan aspek intelektual dan sisi kritis si ibu muda ini. Hari Kartini seharusnya menjadi hari membaca dan menulis; hari studi yang intelektual. Selamat Hari Kartini.*