Mengejar Ketertinggalan Mencari Daya Ungkit Untuk Kemandirian Energi dan Ekonomi NTT

Total potensi energi terbarukan di Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 388.310 megawatt (MW), yang 95% di antaranya adalah energi surya

|
Penulis: Alfred Dama | Editor: Alfred Dama
Ist/Alfred Dama
Panel listrik tenaga Surya di Desa Mataredi, Sumba Tengah 

Potensi Energi Terbarukan

TOTAL POTENSI energi terbarukan di Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 388.310 megawatt (MW), yang 95 persen di antaranya adalah energi surya. Potensi energi surya NTT memang yang terbesar di Indonesia. Namun, hanya 0,01 persen dari potensi itu yang telah dimanfaatkan per 2023. Padahal, potensi tersebut dapat berperan penting mendongkrak konsumsi energi dan menggerakkan roda ekonomi.


Konsumsi energi NTT pada 2023 hanya 1,87 barrel of oil equivalent (BOE) per kapita, jauh di bawah angka nasional sebesar 4,38 BOE per kapita.

Lebih dari separuh konsumsi energi pun terjadi di sektor rumah tangga. Sementara itu, proporsi konsumsi sektor industri adalah yang terendah: tak sampai 2 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa energi lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, belum menjadi pendorong produktivitas sosial-ekonomi.


Kondisi ini tak lepas dari rendahnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, yang mencerminkan pendapatan rata-rata penduduk NTT. Per 2024, angkanya hanya Rp24,27 juta—terendah kedua di Indonesia.

Jenis Pembangkit Listrik
Jenis Pembangkit Listrik

Di saat yang sama, minyak bumi mendominasi bauran energi NTT, terutama untuk mengoperasikan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD). Padahal, biaya pembangkitan listrik rata-rata atau levelized cost of electricity (LCOE) PLTD lebih tinggi daripada pembangkit berbasis energi surya yang potensinya begitu besar di NTT.


Hasil studi Universitas Indonesia pada 2024 menunjukkan LCOE di Waingapu, NTT, yang 80 persen listriknya dari PLTD, mencapai US$0,254 per kilowatt-hour (kWh). Sementara itu, berdasarkan laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) pada 2023, LCOE panel surya photovoltaic (PV) hanya US$0,044 per kWh.


Per 2023, total kapasitas pembangkit listrik NTT baru menyentuh 638 MW. Padahal, dengan memanfaatkan energi terbarukan secara optimal, NTT bisa mengurangi ketergantungan pasokan energi dari daerah lain, membangun kemandirian energi, dan mengungkit pertumbuhan ekonomi.

Baca juga: Soal Ujian Sekolah dan Kunci Jawaban Geografi Kelas 12 Halaman 75 Kurikulum Merdeka Bab 1

Peluang Pembangunan

Sesuai regulasi yang ada, pemerintah Provinsi NTT dapat mengusulkan proyek strategis nasional (PSN) kepada Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). Kehadiran PSN, utamanya terkait energi terbarukan, dapat membantu NTT mewujudkan kemandirian energi dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi.


Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, NTT telah diarahkan menjadi kawasan swasembada pangan, air, dan energi. Ini di luar sejumlah sasaran lainnya, termasuk menjadikan NTT destinasi pariwisata prioritas dan kawasan komoditas unggulan. Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) pun memproyeksikan dalam jangka panjang NTT dapat memasok lebih dari 50 persen kebutuhan hidrogen hijau nasional, yang akan diproduksi dengan tenaga surya. Tak hanya ramah lingkungan, penggunaan hidrogen hijau penting untuk modernisasi distribusi energi dan mendorong pertumbuhan berbagai industri di NTT. 


Untuk itu, Pemerintah Provinsi NTT telah merumuskan rancangan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) 2025-2034 dengan visi "Terwujudnya kemandirian energi yang produktif, andal, berkelanjutan, dan berkeadilan".

Proyeksi Kebutuhan Energi NTT 2034
Skenario Optimistis
Proyeksi Kebutuhan Energi NTT 2034 Skenario Optimistis (RUED Provinsi NTT 2025-2034)

Dengan RUED tersebut, diharapkan NTT dapat memanfaatkan potensi dan sumber daya lokal untuk meningkatkan produktivitas sosial-ekonomi. Ini dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kesetaraan gender serta inklusi disabilitas dan sosial demi mewujudkan transisi energi berkeadilan.


Kemauan politik yang kuat untuk mengembangkan sektor energi juga tercermin dari program "Dasa Cita Ayo Bangun NTT" gubernur NTT saat ini. Seraya menekankan pentingnya kolaborasi, kepala daerah berkomitmen menaikkan kesejahteraan masyarakat NTT dengan membangun "jalan, listrik, dan rumah layak huni", merencanakan pariwisata sebagai penggerak ekonomi, serta menempatkan kelompok milenial dan perempuan sebagai motor kreativitas lokal.


Tantangan

PDRB NTT adalah yang terendah kedua di Indonesia. Ini disertai tingginya angka kemiskinan yang mencapai 19,96 persen pada 2023—dua kali lipat angka median nasional 9,36 persen. Sebagian besar PDRB NTT disumbangkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, tapi ironisnya angka Nilai Tukar Petani (NTP) di provinsi tersebut adalah yang terendah di Indonesia. Artinya, petani mengalami defisit dan hal ini akan diperparah dampak perubahan iklim.


Sumber daya manusia NTT juga berkualitas rendah. Angka prevalensi stunting NTT tertinggi di Indonesia. Lebih dari separuh penduduk NTT hanya berpendidikan SD atau lebih rendah. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dibentuk tiga dimensi dasar (umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, standar hidup layak) NTT juga terendah ketiga di Indonesia.


Rendahnya IPM, kualitas SDM, dan perputaran ekonomi NTT tidak lepas dari terbatasnya akses dan konsumsi energi—terutama listrik—di sana. Meski telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir hingga menyentuh 95,27 persen per 2023, rasio elektrifikasi NTT tetap merupakan yang terendah ketiga di Indonesia. Konsumsi listrik per kapita masyarakat NTT pun hanya seperlima dari konsumsi rata-rata nasional.

Kesenjangan Sosial-Ekonomi NTT 2
Kesenjangan Sosial-Ekonomi NTT

Karena itu, pemerintah berusaha meningkatkan akses dan konsumsi listrik, terutama dengan memanfaatkan potensi besar energi terbarukan NTT, untuk mendorong pembangunan provinsi tersebut. Ini tertuang, misalnya, dalam RPJMN dan RUED NTT.


Masalahnya, perencanaan dalam dokumen-dokumen tersebut dibuat dengan baseline kondisi sosial dan ekonomi NTT yang saat ini masih marginal. Sejumlah faktor lain pun jadi pertimbangan, seperti lambatnya pertumbuhan berbagai indikator pembangunan di masa lalu, terbatasnya pembiayaan, kondisi geografis NTT sebagai provinsi kepulauan, dan lokasi penduduknya yang terpencar.


Ini semua membuat perencanaan dan berbagai asumsi yang diambil menjadi sangat konservatif dan tidak menyediakan ruang gerak yang cukup untuk melonjak cepat atau membuat sasaran yang bersifat lebih ideal.


 RPJMN, misalnya, memproyeksikan tingkat kemiskinan NTT pada 2029 masih akan tiga kali lebih buruk dari angka nasional. Di saat yang sama, PDRB per kapita diperkirakan masih jadi yang terendah kedua di Indonesia.


Sementara itu, skenario optimistis RUED menunjukkan konsumsi energi final NTT hanya akan mencapai 1,93 BOE per kapita pada 2034. Ini bahkan masih jauh di bawah angka nasional pada 2023 sebesar 4,38 BOE per kapita. Penggunaan energi tradisional seperti minyak tanah dan kayu bakar pun akan tetap dominan, yang berujung pada emisi gas rumah kaca lebih besar dan hadirnya sejumlah dampak lingkungan dan kesehatan, khususnya kepada perempuan dan anak-anak.


Maka, bisa dikatakan proyeksi ke depan atau forecasting berdasarkan baseline tidak sesuai dengan kondisi sosial dan ekonomi NTT.

Kesenjangan Sosial-Ekonomi NTT
Kesenjangan Sosial-Ekonomi NTT

Pendekatan ini kurang memungkinkan untuk mencari daya ungkit besar nan inovatif yang dapat mengakselerasi pembangunan NTT.


Solusi

Alih-alih menggunakan forecasting, metode perencanaan backcasting yang lebih berorientasi pada visi ke depan bisa menjadi alternatif. Dengan backcasting, kondisi masa depan yang diinginkan ditetapkan terlebih dahulu, barulah sumber daya yang diperlukan diupayakan serta berbagai kendala yang ada dicarikan penyelesaiannya.


Khusus untuk sektor energi, Pemerintah Provinsi NTT telah merumuskan RUED 2025-2034 yang mengusung visi "Terwujudnya kemandirian energi yang produktif, andal, berkelanjutan, dan berkeadilan". Dokumen ini dibuat dengan menggunakan pendekatan bottom-up dan telah mengintegrasikan isu gender and inklusi sosial.


Visi tersebut kemudian diturunkan menjadi enam misi:


Menciptakan sebanyak dan sesegera mungkin kebutuhan energi yang produktif untuk melonjakkan baseline dan mengakselerasi pertumbuhan sosial-ekonomi.
Mengentaskan sesegera mungkin konsumsi energi yang marginal dan kemiskinan energi.
Intensifikasi dan ekstensifikasi pemanfaatan energi terbarukan, termasuk mengembangkan energi sebagai komoditas.

Elektrifikasi secara masif berbagai aktivitas, terutama sektor pertanian dan perikanan, pemerintahan, pariwisata, dan transportasi.

Membangun NTT sebagai pusat sumber daya manusia, pendidikan, riset, dan vokasi energi terbarukan.
Membangun tata kelola energi yang baik di NTT, termasuk membentuk iklim yang sangat kondusif untuk investasi energi terbarukan dan transisi energi berkeadilan.

Visi dan misi ini menempatkan NTT sebagai pusat keunggulan energi terbarukan di masa depan. Energi terbarukan, utamanya surya, idealnya menjadi pendorong utama produktivitas sosial dan ekonomi masyarakat sehingga PDRB dan konsumsi energi per kapitanya bisa sejajar atau bahkan melebihi rata-rata nasional.


Untuk itu, diperlukan upaya yang sangat berbeda dengan yang telah dilakukan selama ini. Agar efektif dan mampu memberikan hasil yang segera, upaya tersebut setidaknya harus memiliki karakteristik:


Ambisius (target pencapaian tinggi).
Masif (massal, besar-besaran).
Sesegera mungkin (crash program).
Mampu memberikan daya ungkit besar (high leverage).
Padat karya (memberi manfaat untuk banyak masyarakat NTT).
Afirmatif (memberikan kesempatan lebih besar pada kelompok rentan).

Dari sana, dibuatlah sembilan strategi dengan enam karakteristik tersebut. Dalam pelaksanaannya, penting bagi Pemerintah Provinsi NTT untuk melibatkan pemangku kepentingan terkait, terutama pemerintah pusat yang dapat mengakselerasi pembangunan NTT lewat otoritas, diskresi, dan sumber dayanya.


Sembilan strategi untuk mewujudkan visi energi NTT:


Menetapkan NTT sebagai daerah prioritas khusus energi terbarukan dan membentuk branding "Nusa Tenggara Timur adalah Energi Terbarukan". Ini diwujudkan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi masif pemanfaatan energi terbarukan agar ia bisa menjadi pendorong utama pembangunan berkelanjutan.

Merelokasi kegiatan-kegiatan yang menggunakan energi besar sesegera mungkin ke NTT untuk mendongkrak konsumsi energi dan baseline ekonomi, termasuk aktivitas berbagai lembaga pendidikan di bawah otoritas pemerintah pusat dan ajang-ajang besar seperti Pekan Olahraga Nasional (PON).

Mengusulkan berbagai PSN di NTT, termasuk untuk proyek transmigrasi modern berbasis energi terbarukan dan kawasan industri rantai pasok energi terbarukan.
Melipatgandakan kegiatan padat karya dan energi melalui hilirisasi industri pertanian, kehutanan, perikanan, pariwisata, dan rantai pasok energi terbarukan dengan memanfaatkan energi terbarukan.

Konversi secara masif dan segera kompor minyak tanah dan kayu bakar ke kompor LPG dan listrik.
Melistriki sesegera mungkin (dengan energi terbarukan sebagai prioritas) desa-desa yang belum terlistriki dengan kapasitas dan kualitas memadai agar mendukung kegiatan sosial-ekonomi produktif. Perlu dipikirkan partisipasi swasta ke sektor listrik desa serta skema insentif bagi perempuan kepala keluarga, penyandang disabilitas, dan rumah tangga miskin untuk memperoleh listrik yang terjangkau. 

Elektrifikasi secara masif berbagai aktivitas di NTT, terutama di sektor rumah tangga, pertanian, perikanan, kelautan, pariwisata, transportasi, dan pemerintahan. Perlu dipastikan hadirnya akses listrik yang adil untuk mendukung usaha kecil yang dikelola oleh perempuan dan penyandang disabilitas.

Menerapkan crash program pengembangan sumber daya manusia bidang energi terbarukan yang kompeten dan menjadikan NTT pusat ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan, riset, serta vokasi energi terbarukan.

Membangun tata kelola energi yang baik, termasuk membentuk iklim yang kondusif untuk investasi energi terbarukan, transisi berkeadilan, serta kemitraan dengan berbagai pihak dari pemerintah pusat hingga korporasi, lembaga pendidikan dan vokasi, serta organisasi masyarakat sipil. Pemerintah daerah wajib mengedepankan prinsip kesetaraan gender serta inklusi disabilitas dan sosial dalam kebijakan energi, termasuk yang terkait perencanaan, pendanaan yang inovatif, dan penerapannya.

 Melalui pendekatan perencanaan energi yang progresif ini, NTT dapat menjadi model pembangunan kesejahteraan energi daerah tertinggal. NTT dapat menunjukkan pembangunan berbasis energi terbarukan dapat bersinergi dengan sumber daya lokal—keduanya saling mengungkit dalam mendongkrak kinerja sosial dan ekonomi daerah secara komprehensif. Dengan begitu, NTT bisa mengambil peran bermakna dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. (Dedy Haning- Demonstration  Project Lead Program MENTARI)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved