Makan Bergizi Gratis
Riset GSRI: Program MBG Berpotensi Pemborosan Keuangan Negara
GSRI pun menyampaikan keprihatinan mendalam terkait implementasi program makanan bergizi gratis (MBG) yang dicanangkan oleh pemerintah.
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Hasil kajian dan riset Global Strategic Riset Indonesia (GSRI) menunjukkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan berbagai kelemahan dalam perencanaan, distribusi, dan pengelolaan anggaran.
GSRI pun menyampaikan keprihatinan mendalam terkait implementasi program makanan bergizi gratis (MBG) yang dicanangkan oleh pemerintah.
“Ini berpotensi menyebabkan pemborosan besar-besaran terhadap keuangan negara,” kata Direktur Eksekutif GSRI, Sebastian Salang dalam keterangan resmi, dikutip dari Kompas.com, Minggu (2/3/2025).
Dia menyayangkan adanya kelemahan di berbagai sektor tersebut. Sebab, program itu sejatinya bertujuan untuk memberikan asupan makanan bergizi bagi siswa dari tingkat PAUD hingga SMA, serta ibu hamil dan menyusui.
“Ini memang merupakan inisiatif yang terlihat positif. Namun, realisasi di lapangan menunjukkan adanya ketidaksiapan sistem, alokasi anggaran yang tidak realistis, serta skema distribusi yang berpotensi gagal menjangkau kelompok sasaran secara efektif,” ujarnya.
Sebastian menjelaskan, salah satu permasalahan utama adalah duplikasi anggaran dengan program-program bantuan serupa yang sudah ada.
Saat ini, terdapat anggaran program eksisting sebesar Rp 67,147 triliun, sementara makan bergizi gratis memerlukan tambahan dana Rp 171 triliun, sehingga total anggaran program ini membengkak menjadi Rp 238,147 triliun.
“Anggaran sebesar ini tanpa perencanaan yang matang dapat mengganggu kestabilan fiskal negara,” katanya.
Dia juga mengkritik terkait pembangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang menjadi tulang punggung distribusi MBG.
Adapun target pembangunan 5.000 SPPG di seluruh Indonesia hingga Juli 2025, namun penyebaran lokasinya disebut tidak berdasarkan kebutuhan nyata penerima manfaat.
Menurut Sebastian, sebagian besar SPPG justru terkonsentrasi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sementara wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) yang seharusnya menjadi prioritas utama malah belum tersentuh.
“Padahal, program ini diklaim bertujuan membantu daerah yang mengalami kekurangan gizi dan akses makanan sehat,” ujarnya.
Selain itu, ketidakjelasan skema pengadaan tanah untuk SPPG (apakah akan dibeli atau disewa) serta besarnya anggaran per unit (Rp 1,2 hingga Rp 1,5 miliar per SPPG) tanpa perencanaan teknis yang rinci berpotensi menyebabkan pemborosan dan penyalahgunaan dana.
GSRI juga menyoroti banyaknya celah dalam pengelolaan anggaran makan bergizi gratis, termasuk mark up harga food tray dari harga impor Rp 20.000 per unit menjadi Rp 50.000 per unit.
Kemudian, GSRI menyoroti potensi monopoli pengadaan oleh pihak tertentu tanpa transparansi dalam tender. Demikian juga, alokasi anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan penerima manfaat.
“Saat ini, dengan asumsi HPP Rp 10.000 per penerima manfaat, dana hanya cukup untuk 5,6 juta orang, jauh dari target pemerintah sebesar 17,5 juta penerima,” kata Sebastian.
Selain itu, masih banyak pekerja di SPPG yang belum menerima gaji, karena tidak adanya kejelasan mengenai hubungan kerja mereka (mitra, kontrak, atau pegawai tetap).
“Situasi ini sangat berisiko dan menunjukkan kurangnya perencanaan yang baik dari pemerintah,” ujarnya.
Berdasarkan temuan tersebut, GSRI mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi total terhadap program makan bergizi gratis sebelum terus dilanjutkan.
“Kami merekomendasikan, moratorium pelaksanaan MBG untuk menyempurnakan konsep, skema pengelolaan, serta data penerima manfaat agar lebih transparan dan efektif,” kata Sebastian.
GSRI juga merekomendasikan untuk menghentikan duplikasi anggaran dengan program bantuan gizi lainnya yang sudah berjalan, guna menghindari pemborosan dana negara.
Selain itu, merekomendasikan juga untuk menyusun ulang skema distribusi dan lokasi SPPG berdasarkan kebutuhan nyata penerima manfaat, bukan sekadar proyek politis.
“Kami juga merekmendasikan untuk mengusut tuntas potensi monopoli dan mark up pengadaan food tray dan kebutuhan logistik lainnya, serta memastikan perlindungan dan kesejahteraan pekerja SPPG agar tidak ada lagi kasus keterlambatan gaji dan eksploitasi tenaga kerja,” ujar Sebastian.
GSRI menegaskan bahwa program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat tidak boleh menjadi ajang pemborosan dan ladang korupsi.
Pemerintah harus memastikan bahwa makan bergizi gratis benar-benar dirancang untuk kepentingan masyarakat, bukan sebagai alat politik atau proyek bagi-bagi anggaran yang tidak efektif.
“Jika tidak ada perubahan signifikan dalam perencanaan dan pengelolaannya, maka MBG berisiko gagal total dan menjadi beban besar bagi keuangan negara,” kata Sebastian. (*)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.