Wawancara Eksklusif
Wawancara Eksklusif Prof Fred Benu: Undana Jangan Jadi Menara Gading, Harus Bisa Jadi Menara Air
Itu saya mendorong seluruh dosen, peneliti, pengajar yang ada di Undana.
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Michaella Uzurasi
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Guru Besar Bidang Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Nusa Cendana ( Undana Kupang ), Prof. Ir. Fredrik Lukas Benu, M.Si., Ph.D mengatakan, Undana tidak bisa hanya berperan sebagai menara gading yang indah tetapi juga harus berperan sebagai menara air yang memberikan kesejukan bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT).
Hal ini diungkapkan dalam Acara Undana Talk kerjasama Undana dan Pos Kupang Podcast pada Rabu (26/2/2025).
Berikut cuplikan wawancara eksklusif dalam dialog dengan tema "Dari Kandang ke Pembangkit : Kisah Sukses Energi NTT".
Dari kandang ke pembangkit, bisa berikan gambaran besarnya seperti apa?
Penelitian kita ini sebenarnya kalau mau dilihat konsistensinya, masuk pada tahun yang ketiga. Tahun pertama (2022) kami meneliti isu yang sama tetapi memenangkan program Kosabangsa namanya, itu titik beratnya lebih banyak pada pengabdian, bukan penelitian.
Tahun kedua, 2023 juga isunya masih sama soal bagaimana kita manfaatkan potensi vegetasi khususnya Lamtoro Leucaena Leucocephala, yang begitu besar dan dimanfaatkan oleh masyarakat sekian lama untuk produksi pakan ternak.
Itu kita coba manfaatkan sisa ranting dan cabangnya untuk produksi wood chip sebagai proses substitusi bagi pembangkit listrik yang menggunakan batubara. Itu bobot penelitiannya lebih besar dari tahun 2022.
Tahun 2024, kalau tahun pertama 2022 itu scheme-nya namanya Kosabangsa, tahun kedua 2023 itu scheme-nya namanya Kedaireka. Kita mencoba manfaatkan ranting lamtoro ini.
Nah ini tahun ketiga scheme-nya beda lagi, kompetisi tapi masih soal konsistensi dan keberlanjutan pemanfaatan potensi sumber daya alam bagi substitusi batubara, scheme-nya didanai oleh LPDP, scheme Rispro, cuma tidak saja lamtoro, kita kombinasi dengan vegetasi lainnya yang kita sebut dengan gamal atau Gliricidia.
Kenapa kita kombinasi? Karena pembangkit PLTU ini tidak bisa hanya mengandalkan satu vegetasi saja, itu bisa cepat rusak sehingga kita mencari lagi vegetasi lainnya yang cukup besar tapi punya kalor yang cukup tinggi yaitu gamal.
Tahun ini kita coba kombinasi dengan gamal untuk produksi kalor yang relatid setara dengan batubara untuk pembangkit listrik PLTU Bolok. Itulah kerja kita di tahun yang ketiga ini dan untuk Rispro LPDP ini kami dapat dua tahun, 2024 dan 2025, hitungannya bukan satu tahun kalender tapi 12 bulan.
Jadi startnya nanti September, akhirnya nanti habis tahun pertama itu September 2025 nanti baru lanjutkan lagi Oktober 2025 sampai 2026 untuk periode keduanya.
Prinsipnya begini, kami mencoba untuk memanfaatkan karena sejak kita tahu komitmen global dari Rio de Janeiro, isu pemanasan global terus masuk pada Kyoto Protocol, itu semua negara di dunia ini sudah ratifikasi sampai pada perjanjian Doha, ratifikasi itu mengharuskan menurunkan pemanasan global dengan setiap negara itu wajib untuk menurunkan produksi emisi yang dihasilkan.
Nah negara-negara ini dibagi atas tiga kelompok, NX1, NX2 dan non NX. NX1 itu adalah negara-negara yang dikategorikan sebagai negara maju, yang sudah memberikan kontribusi terhadap emisi sangat besar sekitar 150 tahun. Mereka itu wajib untuk menurunkan emisi yang tentunya berdampak pada penurunan pemanasan global. NX2, kelompok yang kedua ini adalah mereka yang tergolong dalam negara-negara yang baru mau masuk ke negara industri maju yaitu negara di Eropa Timur dan Eropa Tengah.
Yang ketiga, tidak masuk kategori 1 dan 2, non NX, Indonesia ada di situ, negara-negara berkembang. Apa konsekuensinya?
Negara-negara maju itu walaupun komit untuk penurunan emisi yang berdampak pada pemanasan global, tapi mereka tidak berkenan untuk mengurangi emisinya karena kalau mengurangi emisi berarti penutupan pabrik, pengurangan pabrik yang bekerja sekian lama dengan energi konvensional yang habis dengan fosik dan lain sebagainya, sehingga mereka punya kewajiban itu hanya menyediakan financial resources untuk membantu negara-negara baik NX2 maupun non NX.
Mereka menyediakan dana atau anggaran, kita Indonesia yang masuk negara berkembang ini harus menjaga hutan kita dan reboisasi hutan menggunakan anggaran yang disediakan oleh negara maju. Itu yang kita sebut dengan carbon trading.
Jadi perdagangan karbon. Mereka kasih uang kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia tapi dihitung sebagai upaya mereka, komitmen mereka menurunkan emisi. Dari situlah pemerintah Indonesia ini sadari bahwa kontribusi terbesar emisi di tingkat nasional maupun global itu kontribusi paling besar dari pembangkit listrik sehingga pemerintah Indonesia mengubah seluruh pembangkit listrik yang menggunakan tenaga konvensional batubara dan lain sebagainya. Itu diubah dengan pembangkit yang bersifat co-firing.
Co-firing itu membantu pembakaran supaya jangan pakai batubara yang emisinya sangat tinggi walaupun kalor yang dihasilkan batubara itu juga tinggi, sekitar 4.300 kalor yang dihasilkan dari batubara per kilogram sehingga dibuatlah pembangkit listrik termasuk di NTT ini ada tiga. Satu, PLTU Bolok, dua, PLTU di Atambua dan yang ketiga di Flores, Ropa.
Tapi yang di Flores co-firingnya sampah. Jadi sampah dipakai untuk membakar, melakukan pembakaran bagi pembangkit listrik dikombinasikan dengan batubara sedangkan di Bolok itu biomasa dan di Atambua.
Dari tiga pembangkit ini yang baru berfungsi itu hanya di Bolok Kupang, itupun hasil kerjasama Undana dengan PLN. Jadi kita produksi wood chip, wood chip ini dibeli oleh PLN, bahan bakunya kita ambil dari masyarakat yang sekian lama manfaatkan lamtoro. Ranting dan dahannya dibuang kita ambil untuk produksi wood chip, itu dibeli.
Wood chip yang dihasilkan saat ini apakah kedepan bisa sepenuhnya menggantikan batubara atau akan berjalan seperti ini, hanya sebagai co-firing?
Sebenarnya semakin banyak melakukan substitusi dengan batubara semakin bagus. Saat ini kita diatas 5 persen, yang disubstitusi oleh wood chip di Bolok.
Produksi kira-kira wood chip per hari sudah sampai 50 ton untuk substitusi batubara, bahkan PLN sudah pernah uji coba 100 persen ganti batubara. Tapi kalau 100 persen ini membutuhkan biomasa yang sangat besar dan itu perlu upaya konservasi terhadap hutan energi yang kita gunakan sehingga kita tidak boleh eksploitasi berlebihan kalau tidak hutan ini akan rusak dan kita sendiri yang akan rugi.
Sekarang saja dengan persentasi sekitar 5 persen kurang lebih dari total batubara yang digunakan itu pun metode yang kita gunakan harus hati-hati. Teknik pemotongannya harus tepat dan sistimnya juga tepat. Kalau tidak hutan kita rusak dan kita juga yang rugi karena waktu kita tebang hutan lamtoro untuk pakan ternak dan rantingnya kita buat wood chip, itu sebenarnya pada saat yang sama kita mengurangi kemampuan dari hutan untuk menyerap karbon.
Nah waktu kita produksi wood chip ganti batubara sebenarnya emisinya itu turun. Jadi ada satunya positif emisi di Bolok turun, tapi daya serap karbon di hutan juga turun jadi kita harus hitung deltanya dan delta yang kita hitung itu positif, kita sudah coba itu khusus dari lamtoro saja.
Kalau untuk gamalnya sendiri?
Nah ini yang tahun ini akan kita akan kombinasikan terbaik. Kalau lamtoro itu sekitar 3.900-4.000 kalor yang dihasilkan. Sekarang kalau kita mau kombinasikan dengan gamal, berapa kombinasi terbaik dan bagaimana mengkombinasikannya agar kalornya tidak turun drastis karena ini ada risiko juga bahkan risiko sudah dialami oleh masyarakat.
Saya ambil contoh, sebelum kita substitusi dengan wood chip, batubara yang dihasilkan ada side produk namanya FABA (Flying ash bottom ash) digunakan oleh UMKM untuk memproduksi batako.
Itu batakonya sangat kuat dan mengurangi cost of production dari unit produksi batako. Waktu kita substitusi dengan wood chip itu kekuatan daya ikat dari batako ini menurun drastis. Dibuang saja hancur. Itu risiko yang UMKM sekarang hadapi, mau bagaimana?
Ada track of, satu kita turunkan emisi tapi satu mereka yang gunakan side produk, limbah FABA ini menjadi tidak bermakna apa-apa. Itu risikonya. Nah kita mau cari kombinasi terbaik tahun ini.
Apa tantangan yang dihadapi selama menjalankan penelitian ini?
Ada tantangan yang bersifat internal dalam tim, dalam sistim dan juga tantangan eksternal khususnya dengan masyarakat.
Bagi kami, yang paling berat dari tim, penelitian kami ini multidisipliner jadi saya orang ahli ekonomi lingkungan, harus memperhatikan semua konsekuensi lingkungan yang dihasilkan. Tapi juga saya butuh orang yang ahli Teknik Mesin, ada Profesor Jefri Balle dan teman Pak Defmit Riwu, ada juga orang ahli peternakan Dr. Agus Nale ada Pak Minggus Osa, di situ.
Ada juga ahli kebijakan publik, Dr. David Pandie, ahli hukum juga Dr. Simpleks Asa, itu kami libatkan semua disiplin ilmu.
Mengkoordinasi semua ini juga tidak gampang. Perlu seorang koordinator, ketua tim yang cukup senior sehingga bisa mengorganize tim ini secara baik karena masing-masing datang dengan latar belakang yang berbeda dan masing-masing urus urusannya dia. Jadi saya bagi tugas benar-benar.
Kesulitan yang paling besar itu ada di tingkat masyarakat. Meyakinkan masyarakat untuk benar-benar mereka paham dan mau menerima program ini sebagai bagian dari rekayasa untuk pemberdayaan kesejahteraan mereka itu agak susah. Kita sudah coba beberapa kali. Itu tidak gampang.
Yang kedua dari eksternal. Sebenarnya Undana sendiri sudah punya unit Bisnis dibawah BPU (Badan Pengelola Usaha). Mesin kita ada. Produksi wood chip kita pernah coba dua tahun itu hampir sekitar 20 ton per hari.
Tapi kerjasama kalau government to government ini saya alami, kita bisa saling mengerti karena instrumen yang kita pakai sama antara pemerintah dan universitas. Tapi government to business kadang-kadang agak susah karena instrumen yang dipakai itu berbeda.
Ini yang membuat Undana agak kesulitan untuk keep going dengan pihak bisnis sehingga Undana terpaksa mengambil kebijakan mesin yang ada ini dikerjasamakan dengan pihak swasta. Jadi swasta tinggal menggunakan mesin dan ada ratenya bayar tetap untuk Undana. Deal dengan bisnis ini tidak gampang, itu yang terjadi.
Tapi itu bukan urusan kita tim peneliti. Itu urusannya Universitas, kami ini hanya menghasilkan teknologinya, mesin dan lain sebagainya.
Ada pesan untuk Teman Undana yang menyaksikan tayangan ini?
Baik. Rekan-rekan Undana, dosen sekaligus peneliti, pengabdi di tingkat masyarakat, kita ini ada di Undana. Undana ini tidak bisa hanya berperan seperti menara gading saja. Tidak cukup.
Kalau hanya menara gading saja itu hanya namanya yang indah tapi tidak bermakna apa-apa bagi orang lain. Kita boleh indah namanya, Undana sebagai universitas besar dengan peneliti-peneliti hebat, Prof. Yantus sebagai salah satu dari 2 persen ilmuwan terkemuka dunia itu ada di Undana, tapi kita juga harus mengambil peran sebagai menara air Undana ini yang memberikan kesejukan terhadap upaya mengatasi persoalan di tingkat masyarakat.
Salah satunya dari riset-riset yang kita lakukan dan sekali lagi, teman-teman Undana, penelitian ini tidak bisa solo run lagi. Kita harus berkolaborasi. Saat ini yang eksis dalam kompetisi ini adalah mereka yang bisa membangun kolaborasi multiple helix yang kuat dengan berbagai lintas pelaku.
Even you pintar, even you hebat kelasnya but if you just run by yourself I don't think that you can compete at that national even at that international level. Itu saya mendorong seluruh dosen, peneliti, pengajar yang ada di Undana. (uzu)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
POS-KUPANG.COM/MICHAELLA UZURASI
Undana Talk - Guru Besar Bidang Sosial Ekonomi Pertanian Undana, Prof. Fred Benu bersama host jurnalis Pos Kupang, Ella Uzurasi dalam Undana Talk, Rabu, 26/02/2025.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.