Wawancara Eksklusif

Wawancara Eksklusif Prof Fred Benu: Undana Jangan Jadi Menara Gading, Harus Bisa Jadi Menara Air

Itu saya mendorong seluruh dosen, peneliti, pengajar yang ada di Undana.

Editor: Ryan Nong
TANGKAPAN LAYAR POS KUPANG PODCAST
UNDANA TALK - Guru Besar Bidang Sosial Ekonomi Pertanian Undana, Prof. Fred Benu bersama host jurnalis Pos Kupang, Ella Uzurasi dalam Undana Talk, Rabu (26/2/2025).   


Kalau untuk gamalnya sendiri? 

Nah ini yang tahun ini akan kita akan kombinasikan terbaik. Kalau lamtoro itu sekitar 3.900-4.000 kalor yang dihasilkan. Sekarang kalau kita mau kombinasikan dengan gamal, berapa kombinasi terbaik dan bagaimana mengkombinasikannya agar kalornya tidak turun drastis karena ini ada risiko juga bahkan risiko sudah dialami oleh masyarakat.

Saya ambil contoh, sebelum kita substitusi dengan wood chip, batubara yang dihasilkan ada side produk namanya FABA (Flying ash bottom ash) digunakan oleh UMKM untuk memproduksi batako.

Itu batakonya sangat kuat dan mengurangi cost of production dari unit produksi batako. Waktu kita substitusi dengan wood chip itu kekuatan daya ikat dari batako ini menurun drastis. Dibuang saja hancur. Itu risiko yang UMKM sekarang hadapi, mau bagaimana?

Ada track of, satu kita turunkan emisi tapi satu mereka yang gunakan side produk, limbah FABA ini menjadi tidak bermakna apa-apa. Itu risikonya. Nah kita mau cari kombinasi terbaik tahun ini. 


Apa tantangan yang dihadapi selama menjalankan penelitian ini? 

Ada tantangan yang bersifat internal dalam tim, dalam sistim dan juga tantangan eksternal khususnya dengan masyarakat.

Bagi kami, yang paling berat dari tim, penelitian kami ini multidisipliner jadi saya orang ahli ekonomi lingkungan, harus memperhatikan semua konsekuensi lingkungan yang dihasilkan. Tapi juga saya butuh orang yang ahli Teknik Mesin, ada Profesor Jefri Balle dan teman Pak Defmit Riwu, ada juga orang ahli peternakan Dr. Agus Nale ada Pak Minggus Osa, di situ.

Ada juga ahli kebijakan publik, Dr. David Pandie, ahli hukum juga Dr. Simpleks Asa, itu kami libatkan semua disiplin ilmu.

Mengkoordinasi semua ini juga tidak gampang. Perlu seorang koordinator, ketua tim yang cukup senior sehingga bisa mengorganize tim ini secara baik karena masing-masing datang dengan latar belakang yang berbeda dan masing-masing urus urusannya dia. Jadi saya bagi tugas benar-benar.

Kesulitan yang paling besar itu ada di tingkat masyarakat. Meyakinkan masyarakat untuk benar-benar mereka paham dan mau menerima program ini sebagai bagian dari rekayasa untuk pemberdayaan kesejahteraan mereka itu agak susah. Kita sudah coba beberapa kali. Itu tidak gampang. 

Yang kedua dari eksternal. Sebenarnya Undana sendiri sudah punya unit Bisnis dibawah BPU (Badan Pengelola Usaha). Mesin kita ada. Produksi wood chip kita pernah coba dua tahun itu hampir sekitar 20 ton per hari.

Tapi kerjasama kalau government to government ini saya alami, kita bisa saling mengerti karena instrumen yang kita pakai sama antara pemerintah dan universitas. Tapi government to business kadang-kadang agak susah karena instrumen yang dipakai itu berbeda.

Ini yang membuat Undana agak kesulitan untuk keep going dengan pihak bisnis sehingga Undana terpaksa mengambil kebijakan mesin yang ada ini dikerjasamakan dengan pihak swasta. Jadi swasta tinggal menggunakan mesin dan ada ratenya bayar tetap untuk Undana. Deal dengan bisnis ini tidak gampang, itu yang terjadi.

Tapi itu bukan urusan kita tim peneliti. Itu urusannya Universitas, kami ini hanya menghasilkan teknologinya, mesin dan lain sebagainya.

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved