Wawancara Eksklusif
Wawancara Eksklusif Prof Fred Benu: Undana Jangan Jadi Menara Gading, Harus Bisa Jadi Menara Air
Itu saya mendorong seluruh dosen, peneliti, pengajar yang ada di Undana.
Jadi startnya nanti September, akhirnya nanti habis tahun pertama itu September 2025 nanti baru lanjutkan lagi Oktober 2025 sampai 2026 untuk periode keduanya.
Prinsipnya begini, kami mencoba untuk memanfaatkan karena sejak kita tahu komitmen global dari Rio de Janeiro, isu pemanasan global terus masuk pada Kyoto Protocol, itu semua negara di dunia ini sudah ratifikasi sampai pada perjanjian Doha, ratifikasi itu mengharuskan menurunkan pemanasan global dengan setiap negara itu wajib untuk menurunkan produksi emisi yang dihasilkan.
Nah negara-negara ini dibagi atas tiga kelompok, NX1, NX2 dan non NX. NX1 itu adalah negara-negara yang dikategorikan sebagai negara maju, yang sudah memberikan kontribusi terhadap emisi sangat besar sekitar 150 tahun. Mereka itu wajib untuk menurunkan emisi yang tentunya berdampak pada penurunan pemanasan global. NX2, kelompok yang kedua ini adalah mereka yang tergolong dalam negara-negara yang baru mau masuk ke negara industri maju yaitu negara di Eropa Timur dan Eropa Tengah.
Yang ketiga, tidak masuk kategori 1 dan 2, non NX, Indonesia ada di situ, negara-negara berkembang. Apa konsekuensinya?
Negara-negara maju itu walaupun komit untuk penurunan emisi yang berdampak pada pemanasan global, tapi mereka tidak berkenan untuk mengurangi emisinya karena kalau mengurangi emisi berarti penutupan pabrik, pengurangan pabrik yang bekerja sekian lama dengan energi konvensional yang habis dengan fosik dan lain sebagainya, sehingga mereka punya kewajiban itu hanya menyediakan financial resources untuk membantu negara-negara baik NX2 maupun non NX.
Mereka menyediakan dana atau anggaran, kita Indonesia yang masuk negara berkembang ini harus menjaga hutan kita dan reboisasi hutan menggunakan anggaran yang disediakan oleh negara maju. Itu yang kita sebut dengan carbon trading.
Jadi perdagangan karbon. Mereka kasih uang kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia tapi dihitung sebagai upaya mereka, komitmen mereka menurunkan emisi. Dari situlah pemerintah Indonesia ini sadari bahwa kontribusi terbesar emisi di tingkat nasional maupun global itu kontribusi paling besar dari pembangkit listrik sehingga pemerintah Indonesia mengubah seluruh pembangkit listrik yang menggunakan tenaga konvensional batubara dan lain sebagainya. Itu diubah dengan pembangkit yang bersifat co-firing.
Co-firing itu membantu pembakaran supaya jangan pakai batubara yang emisinya sangat tinggi walaupun kalor yang dihasilkan batubara itu juga tinggi, sekitar 4.300 kalor yang dihasilkan dari batubara per kilogram sehingga dibuatlah pembangkit listrik termasuk di NTT ini ada tiga. Satu, PLTU Bolok, dua, PLTU di Atambua dan yang ketiga di Flores, Ropa.
Tapi yang di Flores co-firingnya sampah. Jadi sampah dipakai untuk membakar, melakukan pembakaran bagi pembangkit listrik dikombinasikan dengan batubara sedangkan di Bolok itu biomasa dan di Atambua.
Dari tiga pembangkit ini yang baru berfungsi itu hanya di Bolok Kupang, itupun hasil kerjasama Undana dengan PLN. Jadi kita produksi wood chip, wood chip ini dibeli oleh PLN, bahan bakunya kita ambil dari masyarakat yang sekian lama manfaatkan lamtoro. Ranting dan dahannya dibuang kita ambil untuk produksi wood chip, itu dibeli.
Wood chip yang dihasilkan saat ini apakah kedepan bisa sepenuhnya menggantikan batubara atau akan berjalan seperti ini, hanya sebagai co-firing?
Sebenarnya semakin banyak melakukan substitusi dengan batubara semakin bagus. Saat ini kita diatas 5 persen, yang disubstitusi oleh wood chip di Bolok.
Produksi kira-kira wood chip per hari sudah sampai 50 ton untuk substitusi batubara, bahkan PLN sudah pernah uji coba 100 persen ganti batubara. Tapi kalau 100 persen ini membutuhkan biomasa yang sangat besar dan itu perlu upaya konservasi terhadap hutan energi yang kita gunakan sehingga kita tidak boleh eksploitasi berlebihan kalau tidak hutan ini akan rusak dan kita sendiri yang akan rugi.
Sekarang saja dengan persentasi sekitar 5 persen kurang lebih dari total batubara yang digunakan itu pun metode yang kita gunakan harus hati-hati. Teknik pemotongannya harus tepat dan sistimnya juga tepat. Kalau tidak hutan kita rusak dan kita juga yang rugi karena waktu kita tebang hutan lamtoro untuk pakan ternak dan rantingnya kita buat wood chip, itu sebenarnya pada saat yang sama kita mengurangi kemampuan dari hutan untuk menyerap karbon.
Nah waktu kita produksi wood chip ganti batubara sebenarnya emisinya itu turun. Jadi ada satunya positif emisi di Bolok turun, tapi daya serap karbon di hutan juga turun jadi kita harus hitung deltanya dan delta yang kita hitung itu positif, kita sudah coba itu khusus dari lamtoro saja.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.