NTT Terkini
Pengamat Politik Universitas Muhamadyah Kupang, Dr. Ahmad Atang : Antisipasi Keseragaman Pilkada
Kita bisa bayangkan kerja MK untuk merampungkan proses poltik yang sedang berlanjut.
Penulis: Irfan Hoi | Editor: Rosalina Woso
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Dari hasil Pilkada 2024 itu memang menyisakan problem hukum karena sebagian besar calon kepalan daerah yang ikut bertarung dan dinyatakan kalah, itu menggunakan hak hukumnya untuk menggunakan hak hukumnya mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut saya itu langkah ini adalah bagian dari upaya mencari keadilan. Tapi proses hukum itu tidak serta merta tidak menjadi keinginan semua orang. Karena mekanisme dan sidang di MK itu membutuhkan waktu.
Kalau melihat data di MK, diatas 50 persen calon kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota mengajukan gugatan. Kita bisa bayangkan kerja MK untuk merampungkan proses poltik yang sedang berlanjut.
Kalau kita merujuk ke desain awal KPU dan Kemendagri, sebetulnya sudah dihitung juga dengan proses di MK. Sehingga penentuan pelantikan tanggal 5 Februari untuk provinsi dan 10 untuk kabupaten/kota juga melihat mekanisme di MK.
Baca juga: Jadwal Kapal Ferry ASDP Kupang NTT Jumat 3 Januari 2025 KMP Lakaan Kupang-Hansisi PP
Barangkali perhitungan awal dan realitas hari ini, ternyata MK belum mampu menyelesaikan sengketa Pemilu akan berakhir sebelum tanggal 5 atau 10 Februari 2025. Langkah antisipasi oleh pemerintah adalah dengan memperpanjang pelantikan atau mundur satu bulan dari desain awal.
Saya kira ini bisa diterima. Setidaknya penundaan tidak membutuhkan waktu yang banyak. Konsekuensi dari penundaan itu adalah masa jabatan penjabat gubernur, bupati dan wali kota. Bahkan ada daerah yang masih dijabat kepala daerah definitif.
Bagi saya jabatan yang diemban oleh penjabat bisa diperpanjang atau penunjukan baru. Saya kira itu mekanisme yang sangat tergantung di Kemendagri dan Presiden.
Sementara kepala daerah definitif itu bunyi undang-undang, adalah tidak terbatas untuk masa jabatannya atau sampai ada pelantikan kepala daerah definitif yang baru.
Merujuk hasil Pilkada 2020, mereka punya masa jabatan selesai sekitar bulan September 2025. Karena Pilkada 2020 lalu dilantik pada bulan September.
Karena dipersingkat menjadi Pilkada serentak, maka posisi kepala yang berakhir masa jabatannya tahun 2025 dihitung sampai dengan pelantikan kepalan daerah definitif hasil Pilkada 2024. Artinya, jabatan ini bisa aman dan tidak perlu ada penunjukan penjabat baru.
Penundaan ini merupakan situasional. Dengan kasus ini maka dia menjadi yuris prudensi ke depan. Setidaknya untuk merancang Pilkada serentak 2029.
Terlepas dari apapun mekanisme tapi kita tetap mengacu ke akhir masa jabatannya. Untuk Pilkada 2029 maka dia dimulai dari saat pelantikan. Bisa jadi Maret 2029, menjadi waktu berakhirnya kepalan daerah yang dilantik Maret 2024 ini.
Penyelenggara bisa merancang seperti ini untuk lima tahun ke depan. Saya kira penundaan ini, tidak berdampak kuat ke politik lokal. Eskalasi atau dinamikanya tidak akan berdampak kuat.
Waktu satu bulan itu masih ditoleransi. Kalau rasional saja. Daerah yang tidak bermasalah bisa dilakukan pelantikan. Sementara yang bermasalah boleh ditunda. Kalau itu terjadi maka tidak serentak lagi di 2029. Memang jalan seperti ini bisa diambil.
Secara politis, administrasi bisa dilakukan pelantikan. Tapi kalau terminologi serentak maka tidak lagi serentak di tahun 2029. Jadi ini semacam kebijakan untuk mengantisipasi keseragaman Pilkada itu. (fan)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.