Kenaikan PPN

Litbang Kompas tentang Rencana Kenaikan PPN 12 Persen: Publik Tak Yakin Bisa Mendongkrak Ekonomi

Meskipun hanya menyasar pada barang-barang mewah, kebijakan fiskal PPN 12 persen rentan menurunkan daya beli masyarakat.

|
Editor: Agustinus Sape
TANGKAPAN LAYAR YOUTUBE/KOMPAS TV
Presiden Prabowo Subianto menyatakan kenaikan PPN 12 persen pada awal tahun 2025 hanya berlaku untuk barang-barang mewah. 

Langkah penghematan akan menjadi pilihan semua lapisan masyarakat. Selain dari berbagai latar belakang sosial ekonomi, respons penghematan juga menjadi pilihan hampir semua generasi. Suara penghematan paling lantang datang dari kelompok baby boomers (75 persen), disusul generasi di bawahnya, yakni generasi X yang berusia 44-57 tahun (59,2 persen).

Generasi yang lebih muda, baik gen Z maupun milenial, juga bakal melakukan hal yang sama. Menariknya, tak menyerah dengan langkah penghematan, generasi yang lebih muda ini memilih untuk mencari sumber pendapatan tambahan agar tetap dapat berbelanja seperti biasanya. Generasi saat ini menyebutnya sebagai side hustle.

Tampak bahwa makin muda usia responden, makin besar tekad untuk menghimpun lebih banyak penghasilan sampingan. Pada generasi milenial matang (36-43 tahun), sekitar sepertiga bagian dari mereka akan mengusahakan penghasilan tambahan. Sementara itu, pada milenial yang lebih muda makin besar proporsinya sebesar 42,1 persen dan makin menguat pada generasi Z hingga sebesar 43 persen. Untuk generasi X dan baby boomers proporsinya masing-masing kurang dari seperlima responden.

Fenomena tersebut dapat dipahami lantaran pada generasi yang jauh lebih senior itu kemungkinan untuk mencari penghasilan tambahan tak semudah generasi yang lebih muda. Apalagi, dunia usaha di Indonesia kerap kali mempertimbangkan usia sebagai persyaratan pendaftaran. Dampaknya, tak cukup banyak kesempatan bagi generasi yang lebih senior untuk mendapatkan pemasukan tambahan jika tidak dengan membuka usaha sendiri.
Merujuk pada penelitian Scott dkk (2020), mendapatkan tambahan pendapatan menjadi salah satu motivasi utama seseorang menerapkan side hustle. Baru diikuti oleh motivasi kedua, yakni aktualisasi diri, manakala di tempat kerja utamanya seseorang kurang mendapat ruang untuk mengembangkan diri.

Temuan Scott terkait motivasi utama itu memperkuat kajian Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2004 yang menyatakan side hustle di pasar tenaga kerja mengindikasikan dua hal. Pertama, side hustle menjadi pilihan untuk menjaga standar hidup layak apabila pendapatan atau upah utama tidak mampu mencukupi kebutuhan. Kedua, langkah tersebut diambil sebagai solusi di tengah biaya hidup yang meningkat.

Di Indonesia, fenomena side hustle saat ini kembali menguat. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) menyebutkan, tahun 2023 sebanyak 15,45 persen pekerja Indonesia memiliki side hustle. Angka ini kembali meningkat setelah sempat turun menjadi 12,71 persen pada 2022 dan terus merosot menjadi 11,25 di tahun berikutnya. Pandemi Covid-19 yang memorakporandakan ekonomi menjadi faktor penyebab terbesarnya sehingga peluang pekerjaan tidak lebih besar.

Inisiasi mencari side hustle yang kemungkinan hendak diambil di tengah isu kebijakan PPN itu menjadi angin segar bagi perekonomian. Sebab, dapat diartikan daya beli sebagian masyarakat akan relatif lebih terjaga karena memiliki sumber pemasukan tambahan untuk menyesuaikan harga barang kebutuhan di pasaran.

Namun, di sisi lain, pemerintah juga dituntut harus menyediakan ruang untuk membuka lapangan pekerjaan baru agar upaya tersebut dapat terpenuhi. Sayangnya, hal ini tampaknya tak mudah lantaran diprediksi lowongan pekerjaan tahun 2025 akan cenderung turun. Hasil kajian Mercer Indonesia, sebuah perusahaan konsultan SDM, menemukan bahwa hanya 25 persen perusahaan yang akan menambah karyawan baru pada 2025 (Kompas, 12/12/2024).

Hal tersebut dapat menjadi tambahan pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk kembali mempertimbangkan lebih matang kebijakan PPN 12 persen. Sebab, upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara justru berpotensi besar mengancam kemajuan perekonomian secara nasional. Jikapun benar-benar akan diterapkan, keberpihakan pada masyarakat, terutama kelompok rentan, harus diprioritaskan. Dengan pendapatan negara yang besar, harapannya teralokasi secara maksimal untuk dikembalikan pada sejumlah program kebijakan dan kegiatan yang mampu menyejahterakan masyarakat Indonesia secara luas, adil, dan merata. (Litbang Kompas)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved