Renungan Harian Kristen

Renungan Harian Kristen Minggu 17 November 2024, "Menjaga Ketersediaan Pangan dari Tanah dan Laut"

Tanah memberi makan untuk sesama saudara, demikian tulisan Merry Kolimon tentang makna tanah bagi orang Timor.

Editor: Eflin Rote
POS-KUPANG.COM/HO
Pdt. Nope Hosiana Daik, M.Th 

Renungan Harian Kristen
Minggu 17 November 2024
(Markus  6:30-44)
Pdt. Nope Hosiana Daik, M.Th

"Dengan Kuasa Yesus Menjaga Ketersediaan Pangan dari Tanah dan Laut untuk Semua Orang"

Pendahuluan

Orang Timor (Atoni Meto) menyebut tanah sebagai nai (periuk) dan sebagai nain (kerabat). Sebagai nai (periuk/tempat) mendapatkan makanan dan minuman untuk semua kerabat.

Tanah memberi makan untuk sesama saudara, demikian tulisan Merry Kolimon tentang makna tanah bagi orang Timor.

John Mansford Prior menulis pandangan Masyarakat tradisional Flores tentang  tanah dalam tulisannya yang berjudul: Hukum Adat dan Hukum Positif Berseberangan, Mana Peran Teologi Kristen? Catatan dari Pulau Flores.

Bahwa orang Flores  menyebut tanah dengan istilah “Tana Amin More Amin =tanah kami, kehidupan kami.  Masyarakat pesisir pantai, misalnya di Rote melihat laut sebagai “ami masodak ma” (harafiah=yang menghidupi kami=tempat kami mendapatkan makanan.” Karena itu, tanah dan laut merupakan sumber kehidupan.

Secara teologis berdasarkan Alkitab), kita meyakini bahwa tanah dan laut sebagai sumber kehidupan diciptakan oleh Tuhan bagi manusia. 

Manusia sebagai salah satu ciptaan Tuhan, kemudian diberi kuasa (kabash) untuk mengusahakan ciptaan Tuhan yang lainnya (bdk.Kej.1:28). Karena itu kita harus belajar bagaimana mengelola tanah/darat dan laut sebagai sumber daya alam yang berlimpah untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Untuk ini, kita belajar dari Yesus.

Dalam Markus 6:30-44 kita dapat belajar tentang bagaimana Yesus memberi perhatian kepada banyak orang melalui pemenuhan kebutuhan mereka dari hasil tanah dan laut sebagai perwujudan dari penggunaan kuasa sotereologis (kuasa untuk menyelamatkan).

Dengan ini Yesus mengajarkan kepada kita juga tentang bagaimana mempergunakan kuasa yang ada pada kita. Kuasa diaktivasi untuk memelihara, menghidupkan dan  bukan untuk mematikan.

Yesus dan kepeduliaan terhadap kebutuhan banyak orang 

Yesus memberi makan lima ribu orang yang mengikutinya  dengan lima ketul  roti dan  dua ekor ikan yang dikenal sebagai mujizat, merupakan bentuk kepeduliaan Yesus terhadap kebutuhan banyak orang. 5 roti dan 2 ekor yang ada pada murid-murid-Nya pada saat itu disiapkan sebagai sajian bagi mereka yang mengikut-Nya. Roti dan ikan adalah dua jenis bahan makanan yang diambil dari tanah/darat dan laut. 

Yesus meletakkan 5 ketul roti dan 2 ekor ikan itu dihadapan Allah kemudian Yesus berdoa memohon berkat. Setelah itu dibagikan dan mereka makan sampai kemyang dan  ternyata masih tersisa 12 (dua belas) bakul roti, tidak termasuk ikan.

Sisa 12 bakul  menunjuk kepada 12 suku Israel. Ini berarti bahwa sebenarnya darat/tanah dan laut mampu memenuhi kebutuhan semua orang dan ditangan Allah hal itu digenapi (bdk. penyataan Mahatma Gandhi bahwa dunia ini cukup untuk kebutuhan setiap orang tetapi tidak akan cukup untuk kerakusan seseorang). 

 Mujizat ini, dapat dikatakan sebagai demonstrasi/tindakan perlawanan yang kreatif yang ditunjukkan oleh Yesus untuk memprotes monopoli sumber daya alam (tanah dan laut) oleh penguasa Romawi dan raja-raja wilayah (dinasti Herosian) pada saat itu.

Tanah Galilea yang subur dan iklim yang baik sehingga panen melimpah dan danau Galilea dengan ikan yang melimpah dikuasai oleh para penguasa. Ada  berbagai jenis  yang dibebankan kepada masyaraat miskin yang memberatkan jumlah pajak berkisar antara 30-70 perseb dari total penghasilan mereka[3]. Pajak kepada pemerintah pusat (Roma) dan pemerintah lokal (raja-raja wilayah).

Pajak untuk institusi keagamaan (untuk bait Allah dan perayaan hari keagamaan). Pekerjaan menagih pajak dilakukan oleh para pemungut cukai yang penuh dengan tindakan kecurangan.[4] Selain itu  ada praktek perbudakan[5] yang membuat kehidupan masyarakat pada saat itu sangat memprihatinkan.

Dengan mujizat itu Yesus ingin mengatakan bahwa banyak orang sebenarnya tidak harus menderita kelaparan atau berada dalam kondisi miskin jika tanah dan laut tidak  berada dalam pola/sistem kekuasaan politik dan ekonomi  yang tidak adil.

Yesus tidak saja menyerukan/menyatakan sikap perlawanan tetapi menghadirkan solusi. Solusi yang dihadirkan pada merupakan “akibat” adanya relasi yang baik antara Yesus dengan Allah yang sekaligus juga mendekatkan darat/tanah dan laut ke dalam hubungan itu.  Yesus mengambil lima roti dan dua ikan itu kemudian berdoa memohon campur tangan Allah. 

Yesus menunjukkan bahwa Allah berkenan atas semua usaha/perjuangan yang dilakukan untuk kepentingan orang banyak.

Allah yang bekuasa atas langit dan bumi  tidak menyukai sikap egois, mementingan diri (pelit/kikir) dan keserakahan. Allah ingin menghapus sikap kuatir/cemas yang berlebihan hanya karena berada dalam kondisi serba kekurangan.

Kekurangan tidak boleh menjadi alasan untuk memberi pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan. Allah sanggup menggantikan apapun yang sudah diberikan kepada mereka yang sangat membutuhkan (bdk.kisah Allah meminta janda di Sarfat dengan minimnya bahan makanan untuk  menjamu Elia).

Yesus berjuang bersama masyarakat untuk melawan melawan ketidakadilan. Dengan cara mengubah cara berpikir mereka dengan menghadirkan mujizat-mujizat.  Masyarakat harus dituntun ke dalam kedasaran bahwa darat/tanah dan laut yang disediakan Allah untuk kebutuhan setiap orang.

Tanah dan laut adalah pemberian Tuhan untuk melayani kebutuhan semua orang dan bukan untuk menjawab keserakahan segelintir orang saja. Karena itu Yesus menyerukan, “Berilah mereka makan dari tanah  (roti) dan laut (ikan). Orang miskin dan kaum rentan mendapatkan perhatian karena mereka telah kehilangan hak untuk mendapatkan makanan, minuman atau penghidupan yang layak dari alam semesta. 

Beberapa bentuk perampasan “piring nasi sesama” dan laut  pada masa kini

Tanah dengan segala makna bagaimanapun adalah suci. Tanah memiliki kesucian pada dirinya karena dari tanah memberi hidup bagi manusia, sehingga yang dihasilkan dari adalah suci, demikianpandangan masyarakarat tradisional Atoni Meto tentang tanah dan hasil-hasilnya yang dituliskan oleh Karen Campbell-Nelson. Tanah Timor, tanah suci, meskipun gersang, berbatu-batu sehingga mereka harus berkeringat dan mengeluarkan tenaga untuk mendapatkan makanan Meskipun data gizi buruk, stanting terbesar, tingkat kematian bayi tinggi tetapi bagi orang Atoni Meto “tanah timor lebe bae”.

Pandangan seperti ini juga sebenarnya hidup di tengah-tengah masyarakat tradisional lainnya. Tanah dan laut bagi masyarakat tradisional tidak sekedar saja menjadi place (tempat) tinggal tetapi juga space (ruang) bagi manusia mempraktekkan segala suatu terkait keberadaannya (ruang aktualisasi diri). 

Mircea Eliade, seorang fenomelog agama menyebut bahwa dunia adalah space dimana ada yang disebut Exit mundi (area yang menyeramkan tetapi menghibur). Dunia (darat dan laut)  adalah space bagi manusia untuk punya ruang sakral/suci (leu/reu)[7] dan waktu sakral/suci. Contoh ada upacara selamat di darat/kebun) untuk hasil panen pada bulan-bulan tertentu atau upacara melarung sesuatu di laut oleh masyarakat pesisir untuk tolak bala atau atas hasil melaut yang melimpah. 

Sayangnya, menurut  Merry Kolimon  khususnya masyarakat petani di Timor Barat (Atoni Meto),  bahwa mereka mengalami “peminggiran” dari tanah mereka karena pengaruh kapitalisme modern yang ditopang oleh sikap individualistik, materialistik dan sikap sekularistik.

Sikap mementingkan diri sendiri/kelompok merupakan kenyataan dari penggunaan kuasa atas alam semsta secara keliru  yang kita hadapi dalam era modern. Tanah dan laut juga dikuasai oleh pemilik modal sehingga banyak orang lebih menjadi tenaga kerja upahan. Ini adalah bentuk lain  “perampasan piring nasi sesama”.

Tindakan perampasan piring nasi terjadi disekeliling kita. Akan tetapi kita  lebih banyak memilih diam/bungkam karena takut, malu atau karena tidak memilih pengetahuan untuk berjuang. 

Tanah juga dijadikan alat politik (untuk meraih kekuasaan). Beberapa waktu lalu, waktu saya berada di satu kampung, adabeberapa keluarga bercerita bahwa mereka pernah didatangi oleh seorang calon dewan dan mengamcam mereka untuk merubuhkan rumah mereka jika tidak memilihnya.

Alasannya tanah yang mereka tempat itu merupakan hibh dari leluhur dari yang calon dewan tersebut.  Mereka sudah meninggal, tetapi kemudian ada “gugatan” atas tanah demi kepentingan kekuasaan.

Laut dikuasai hanya oleh mereka yang punya modal. Di beberapa daerag pesisir di Rote, Pesisr pantai menjadi tempat penambangan pasir liar oleh mereka yang memiliki modal.

Salah satu akibatnya adalah masyarakat pesisir tidak bisa dengan leluasa makan meting[8] seperti dahulu kala. Kantong-kantong kemiskinan perlahan mulai terbentuk di daerah pesisisr. Padahal pantai/pesisir dengan semua suber dayanya termasuk ZEE yang berada dibawah pengawasan negara/pemerintah untuk hajat hidup orang banyak dengan memperhatikan keselamatan alam. 

Leonardo Boff, menggambarkan seperti ini dengan mengatakan bahwa: jelas ketertindasan kaum miskin dan kerusakan alam adalah akibat dari hegemoni antroposentris-teknokratis kapital yang menguasai sumber daya alam lokal.

Sebagai gereja kita perlu berada dalam satu barisan perjuangan untuk pembebasan alam  (tanah dan laut) serta orang miskin dari berbagai bentuk penindasan sebagai praktek iman Kristen (orthopraxis). Penderitaan orang miskin di pedalaman dan dipesisir akibat sikap serakah segelintir orang tidak sekedar menjadi bahan cerita di saat kita duduk menikmati kopi sore di rumah kita tanpa tindak lanjut apa-apa.

Penutup

Monopoli/hegemoni terhadap tanah/darat dan laut yang dipraktekkan selama ini harus disadari sebagai bentuk perampasan  atas hak milik orang lain dan penyangkalan terhadap makna kuasa untuk memelihara alam semesta sebagaimana diamanatkn Tuhan.

Tanah/darat dan laut mesti diberikan kesempatan untuk menyediakan kebutuhan setiap orang, terutama yang miskin dan rentan. 

Kita perlu belajar dari Yesus. Menimba pesan-pesan ekologis dari peristiwa Yesus memberi makan lima ribu orang dari bahan-bahan makanan yang di dapatkan dari darat/tanah dan laut sebagai perwujudan dari kuasa (kabash) mengelola alam semesta. Inilah pertobatan ekologis.

Kita mesti memastikan bahwa setiap orang tetap bisa makan dan minum dan hidup dengan layak karena kita melepaskan sikap tamak/serakah. Amin. (*)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved