Kecerdasan Buatan

Lulusan yang Tak Tergantikan Oleh Kecerdasan Buatan

Pendekatan pendidikan yang fokus pada hasil pembelajaran dan pengembangan manusia sangat diperlukan.

Editor: Agustinus Sape
FINGENT
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.. 

Oleh Ismunandar

Dirjen Belmawa (2018-2019) Staf Ahli Menristek/BRIN (2019-2021), Anggota AIPI
·
POS-KUPANG.COM - Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro baru-baru ini menyatakan bahwa banyak pekerjaan mungkin akan tergantikan oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) pada 2030.

Mengantisipasi hal tersebut, pendidikan tinggi harus mempersiapkan lulusan yang mampu berpikir kritis dan inovatif.

Sebenarnya peringatan ini sudah cukup lama kita sampaikan. Namun, AI generatif, yang berkembang pesat dua tahun terakhir, kini semakin memperluas cakupan pekerjaan yang bisa diotomatisasi.

Sepuluh tahun lalu, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) mendorong agar lulusannya tidak tergantikan oleh kecerdasan buatan yang disebut sebagai lulusan robot-proof.

Buku Robot-Proof: Higher Education in the Age of Artificial Intelligence oleh Joseph E Aoun waktu itu cukup berpengaruh dalam kebijakan pendidikan tinggi. Aoun menyebutkan tiga pilar utama untuk lulusan di era kecerdasan buatan: literasi teknologi, literasi data, dan literasi manusia.

AI generatif berkembang sangat cepat dalam dua tahun terakhir. Otomatisasi pekerjaan berbasis pengetahuan mulai terlihat. Pekerjaan di bidang pendidikan, hukum, teknologi, dan seni diprediksi akan lebih cepat terotomatisasi.

Literasi dan numerasi: fondasi penting

Dalam kaitan dengan kecerdasan buatan, kajian Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) serta Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengingatkan pentingnya literasi dan numerasi dasar.

Literasi AI atau digital tidak akan berkembang tanpa fondasi literasi dan numerasi yang kuat. Kemampuan dasar membaca, menulis, dan menghitung adalah langkah awal untuk memanfaatkan teknologi digital dan kecerdasan buatan.

OECD menambahkan, literasi dan numerasi adalah syarat untuk keterampilan digital yang lebih kompleks. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang menguasai keterampilan dasar ini lebih mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi.

Pendeknya, keterampilan digital dan kecerdasan buatan tidak bisa dipisahkan dari penguasaan literasi dan numerasi dasar. Kebijakan terbaru Presiden Prabowo Subianto serta Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti yang memprioritaskan matematika dan sains sangatlah tepat.

Selanjutnya, dalam mendukung penyiapan literasi AI, teknologi pendidikan memainkan peran penting.

Penting untuk menyesuaikan teknologi pendidikan dengan kebutuhan lokal.

Studi UNESCO menunjukkan bahwa teknologi tidak perlu canggih untuk berdampak positif. Yang lebih penting adalah relevansi teknologi dengan masyarakat dan tujuan pendidikan. Teknologi harus fokus pada hasil pembelajaran, bukan hanya pada alat digital.

Proyek One Laptop Per Child gagal di beberapa negara Pasifik karena kurang dukungan konten. Namun, Vanuatu berhasil mengembangkannya menjadi program e-learning nasional yang berkelanjutan.

Teknologi yang tidak sesuai malah dapat berdampak negatif. Di Selandia Baru, larangan telepon seluler (ponsel) sejak 2024 meningkatkan fokus dan perhatian siswa. Larangan serupa diterapkan di banyak negara lain.

Makna kompetensi AI

Dengan demikian, kesimpulannya, agar lulusan di masa depan mampu bersaing dan tidak tergantikan oleh kecerdasan buatan, pendidikan harus fokus pada literasi, numerasi, dan teknologi.

Pemerintah dan pemangku kebijakan harus memastikan investasi teknologi pendidikan dilakukan secara bijak.

Infrastruktur pendidikan harus sesuai dengan kebutuhan lokal serta materi pembelajaran disesuaikan dengan budaya dan bahasa.

Selain itu, pendidikan juga harus menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan inovasi. Dengan demikian, individu tetap relevan di dunia yang semakin kompleks.

Pendekatan pendidikan yang fokus pada hasil pembelajaran dan pengembangan manusia sangat diperlukan. Ini akan memastikan generasi mendatang mampu bertahan dan menjadi pemimpin di masa depan.

UNESCO mengembangkan Kerangka Kompetensi AI yang didasarkan pada tiga asumsi.

Pertama, pendidikan harus proaktif mengembangkan keterampilan untuk menciptakan kecerdasan buatan yang etis.

Kedua, siswa harus menjadi pengguna kecerdasan buatan yang kritis dan pencipta kecerdasan buatan yang bertanggung jawab.

Ketiga, kompetensi AI harus dibangun di atas pemikiran berpusat pada manusia dan etika AI. Jadi, kompetensi AI bukan hanya kompetensi prompting atau pemrograman AI.

Melalui pendekatan pendidikan yang tepat, kita tidak hanya menyiapkan lulusan yang siap menghadapi tantangan teknologi. Kita juga membentuk generasi yang mampu memimpin di dunia yang semakin digerakkan oleh kecerdasan buatan. (kompas.id)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved