Wawancara Eksklusif

Wawancara Eksklusif Cawagub Jakarta Rano Karno: Gua Kayak Dibisikin almarhum Babeh

Pendaftaran Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Jakarta untuk gelaran Pilkada Serentak 2024 telah resmi ditutup pada 29 Agustus 2024.

Editor: Alfons Nedabang
TRIBUNNEWS/JEPRIMA
Calon Wakil Gubernur Jakarta Rano Karno berpose usai melakukan sesi wawancara khusus dengan Tribun Network di kawasan Cinere, Jakarta Selatan, Senin 2 September 2024. 

POS-KUPANG.COM - Pendaftaran Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Jakarta untuk gelaran Pilkada Serentak 2024 telah resmi ditutup pada 29 Agustus 2024 pukul 23.59 WIB. 

Namun pendaftaran tiga pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Jakarta yakni Pramono Anung-Rano Karno, Ridwan Kamil-Suswono, dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana masih menyisakan sedikit tanya.

Sederet pertanyaan masih bergelayut di kepala publik lantaran nama mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang santer diisukan bakal diusung PDI Perjuangan di detik-detik akhir justru batal maju. Cerita apa yang ada di balik hal itu? Apa pertimbangan PDI Perjuangan akhirnya memilih duet Pramono Anung - Rano Karno untuk maju?

Dalam wawancara eksklusif bersama Tribunnews.com, Rano Karno menjawab pertanyaan mengenai beberapa hal tersebut. Termasuk bagaimana awal dia ditunjuk oleh Megawati menjadi Cawagub mendampingi Pramono Anung. Berikut wawancara lengkapnya:

Kemarin Anda bertemu Mas Anies di CFD (Car Free Day). Apa yang diobrolin di pertemuan itu?

Satu. Nggak ada rencana. Nggak didesain. Nggak ada (settingan). Jadi kebetulan hari itu saya ada kegiatan. Yang pertama kegiatan fun walk antara SMA 6, SMA 9, dan SMA 11. Jadi ini semua SMA di Bulungan bergabung. Fun walk, nggak ada urusan sama Cawagub. Jadi ini mesti dipisahin. Pagi-pagi saya sudah di sana jam 06.00. Ya cuma iniin (mengibar) bendera (start). Habis itu memang Mas Pram mau jalan.

"Wah, kalau jalan ikutin Mas". Aku ada di GBK (Gelora Bung Karno) kan. Sudah, ikut jalan. Kita pikir jalannya deket. Bayangin, dari GBK sampai ke Bundaran HI (Hotel Indonesia). "Aduh. Mas, ini sampe sono?" "Loh iya, aku kalau ke sini biasanya ke sana." "Mati gua bilang." 

Jadi singkat kata, waktu kita jalan menuju HI. Memang tim kita lihat, lho ada Mas Anies. Jadi nggak ketemu lah, kita ke sana, Mas Anies ke sini. Jadi sebetulnya nggak dalam perencanaan. Singkat kata sampai HI, ya maaf, kita nggak kampanye, kita sosialisasi. Terutama Mas Pram juga ternganga-nganga. Dia juga kaget. Orang kenal yang namanya Pramono, tapi orang nggak tahu yang mana orangnya. Gitu kan? Jadi kemarin, "wah gua terkenal juga Dul ye". Jadi dia baru tahu. Orang mungkin kenal dia. Tapi orang mungkin, yang mana sih orangnya. 

Nah pulang, arah pulang, udah mau pulang. Eh ada orang, eh ada Mas Anies di situ kan. Dia mau pulang juga, dia lagi di ujung. Udah kita, ke situ. Ketemu lah. Kaget juga dia, bukan kaget. Wah ke sini juga. Akhirnya singkat kata ya, sebetulnya ah kalau dia sama Mas Pramono kan jauh lebih cair ya. Saya kenal dengan Mas Anies cuma mungkin tidak secair dengan Mas Pram. Begitu kan?

Jadi sebetulnya itu saja. Ujung-ujung saya cuma bilang, "Bang bantuin kita. Lu jadi ketua tim pemenangan gua ye?" "Ye entar gue pikirin." Jadi singkat kata begitu.

Keluar begitu saja ya?

Keluar begitu saja. Makanya kita juga nggak siap-siap. Mas Anies juga nggak siap untuk ya istilahnya ya.. Alhamdulillahnya itu rezeki semesta. 

Katanya rezeki anak soleh?

Iya rezeki anak soleh bisa ketemu. Aduh, saya harus cerita sedikit aja. Waktu beliau datang ke DPP, kan kebetulan saya yang nemenin. Ya kan? Pasti mau nanya itu. Nah sebetulnya kalau boleh saya cerita jadi memang setiap hari DPP itu rapat. Kita kan lagi menyiapkan Pilkada seluruh Indonesia. Kebetulan saya kan Ketua DPP. Ikutlah dalam rapat itu. Saya mendengar, memang Mas Anies bertanya, "Bang ada di mana?" "Aku ada di BKN." "BKN itu di mana?" "BKN itu ada di gedung B," saya bilang. "Udah saya ke sana." Udah, ngobrol kan.

Saya kalau pakai baju merah, memang sudah SOP kalau rapat DPP harus pakai baju merah, harus pakai kopiah Bung Karno. Jadi memang tidak terpikir itu hari ada pengumuman. Singkat kata, Bang Anies ketemulah sama saya. Ngobrol. "Ini kantor apa, Dul?" Saya bilang, "Mas ini BKN. Aku kan Sekretaris Badan Kebudayaan Nasional." "Oh di sini." Ngobrol lah di situ. Singkat kata ini kita gimana ini?

Memang seminggu sebelumnya saya sudah dengar. Walaupun saya, ah ini yang bener si ah? Saya jujur sebetulnya udah nggak mau. Nggak mau, wallah saya nggak mau. Bukan saya mengada-ngada ya. Artinya kenapa saya nggak maju di Banten. Saya sadar, istilahnya hasil Pileg saya, saya nomor 3. Nomor 1 Airin. Nomor 2 Habib dari PKS. Saya nomor 3. Jadi itu menjadi satu tolok ukur lah.

Saya bilang, sudahlah, saya ingin sekali di Komisi X saja. Kebetulan memang beban Komisi X ini kita sedang menyusun Panja biaya pendidikan. Ini kan lagi menarik kan. Mandatory 20 persen dari APBN ini kita nggak pernah tercapai. Itu yang sedang kita fokus. Jadi sebetulnya aku ingin itu. 

Seminggu sebelum, ya jujur-jujur saja, aku denger. Wah ini kayaknya Bang, ya bahasa anak-anak, kayaknya lu disuruh maju nih. Maju sama siape? Cuma dua yang saya denger. Pertama Bang Anies, kedua Ahok. Menurut lu bagaimana? Waduh jangan lu nanya menurut gua dong. Kita kan, ya maaf nih, kita ini kan petugas partai, dengan siapa pun kita harus siap. Tapi bahasa "kalau memang suruh pilih", mungkin lebih enak sama Anies. Kan begitu bahasanya. Ahok sudah pernah jadi gubernur, Mas Anies juga jadi gubernur. Dia paham. Ini kan tinggal kesinambungan.

Jadi artinya, ngobrol lah saya sama Mas Anies. Hampir dua jam. Ya pengumuman Pilkada memang tidak ada untuk DKI (Jakarta) Jabar, dan Jatim belum ada. Bayangin, orang Bu Risma kan nganterin saya ke KPUD DKI. Saya juga kaget dia tiba-tiba jadi. Dia juga kaget jadi calon gubernur Jawa Timur. Itulah yang dibilang perintah. Kita harus siap, dalam arti kata, pertanyaannya apakah siap? Kita pertama harus siap.

Kebetulan, maaf ya. Ini saya anggap jelinya Ibu. Saya jujur. Jadi pada waktu saya diundang Ibu hari Senin, makan siang di rumah beliau. Harusnya aku tuh ke Bali. Kebetulan ada kunjungan kerja DPR RI dan ya cucu ada yang study tour, sekalian dah udah kita liburan nanti sama kakek. Udah beli tiket 10, hotel udah segala macem. Tiba-tiba minggu malam Mas Sekjen telpon tidak boleh keluar Jakarta. Waduh ini apa lagi? Udah singkat kata aku Senin dipanggil Ibu.

Sebetulnya saya jujur, saya sudah siap pada pembicaraan Bu saya nggak bersedia. Saya belum dengar nama Mas Pram. Saya cuma tahu dua itu. Jadi begitu Ibu, ya kita sambil makan. Rano, saya perintahkan kamu sebagai Ketua Umum, dan ini hak prerogatif saya, tidak ada diskusi. Waduh, apa gua ngomong? Waduh, apa ini Bu? Dampingi Mas Pramono Anung menjadi wakil gubernur Provinsi DKI. Kaget saya. Saya pertama kali kaget, Mas Pram. Saya tidak mengecilkan kemampuan beliau lho. Karena saya berpikir kemampuan beliau sudah di atas gubernur, yang saya pahami. Beliau Seskab, empat kali jadi DPR RI, dia pernah jadi Sekjen Partai. Dia punya kapasitas. Saya bilang, Bu, emang Mas Pram mau? Harus mau. Pertanyaannya sama kayak kamu, katanya. Perintah.

Nah Bu, apa saya harus mau? Dia bilang. Ini yang bikin saya terkejut. No, sebentar lagi Jakarta akan ditinggal? Maksudnya apa, Bu? DKI itu nggak ada lagi. I (Ibukota)-nya pergi. Dia akan jadi DKJ. Terus kamu mau apa? Aku terkejut, Ibu nunjuk aku. Kamu kan Betawi. Sekarang kalau Betawi ditinggal, Betawi mau ke mana? Waduh. Itu jujur, tiba-tiba ini kita kayak dibisikin almarhum Babeh, eh anak gue jadi tukang insinyur. Gua mau sekali-sekali, nggak tahu ya, mungkin karena saya, ya maaf ya, itu terbersit. Kok begini ya? Saya harus terima. Tidak ada kata lain, harus terima.

Kamu ketemu Mas Pram, bicara sana. Malamnya aku ketemu Mas Pram lah. Aku ke rumah Mas Pram. Mas Pram, No kamu siap nggak dampingi saya? Siap! Kita kan petugas partai, mesti siap kan. Bismillah kita. Besok kita daftar. Hah?! Besok daftar? Ini nggak ada deklarasi? Nggak perlu deklarasi. Aduh terus kita punya apa? Kamu punya apa? Aku punya oplet, ya kebetulan aku kan BKN. Ya kita daftar masa' diem-diem anyep-anyep aja. Ini bahasa Betawinya kan anyep. Ya udah kita bikin kayak budaya sedikit. Oplet berangkatin, kemudian tanjidor, segala macem. Pokoknya kita bikin, kalau kite bilang, Betawi bilang kan keramaian. Ya sudah kita bikin sesuatu yang menarik.

Jadi perjalanannya sebetulnya nggak siap. Bukan nggak siap arti kita nggak paham. Maaf saya 11 tahun di dunia birokrasi paham. Pemerintahan itu kan cuma dua unsurnya, wajib dan pilihan. Itu aja kan. Di situ baru kita jabarkan melalui sebuah yang disebut namanya visi misi. Visi misi mau ke mana. DPP sudah mengantarkan konsep visi misi. Ini harus dijalankan oleh semua kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten, kota. Agar apa? Pembangunan berkesinambungan. Itu intinya. Jadi kalau dikatakan visi misinya apa, makmur secara ekonomi, kemudian sejahtera, dan keberadaan. Kemudian dengan 6 komponen misinya harus dijalankan. Itu wajar ya. 

Setelah mendapat perintah dari Ibu (Mega) orang pertama yang Abang kabari siapa?

Bini lah.

Pasti protes bininya, nggak?

Enggak sebetulnya. Kan udah berangkat. Bayangin istriku, anak, cucu sudah berangkat ke Bali subuh. Saya nggak ikut. Dikabarin kan sama Mas Sekjen nggak boleh pergi. Dia bilang udah gampang nanti kalau habis ketemu ibu kan keputusannya jelas.

Saya jujur Mas, udah ngomong sama istri, waduh ini udah deh, saya cukup lah. Maaf ya, saya tidak menganggap saya tua, tapi umur saya kan udah 64 ini. Udahlah cukuplah. Sebetulnya saya pada posisi mau menolak sebetulnya. Udah Bu nggak usah lah. Walaupun saya tahu isunya, terdengar, maaf nih bukan saya belagu, siapapun gubernurnya, pokoknya wakil gubernurnya elu. Bahasa anak-anak begini kan. Haduh, kenapa gue si? Kenapa gue si?

Begitu istri diberitahu, protes juga atau gimana?

Ya saya minta maaf, kita dididik oleh sekolah partai, kita dididik dengan paham nasionalis. Kita dididik secara Indonesia. Ini bagian daripada konsep pembangunan. Jadi istri, anak, cucu saya sudah sangat paham. Jadi dia bilang kalau memang itu. Ya sampai ketahuan pahamnya mana? Mereka nggak pulang. Jadi artinya 26 berangkat 29 pulang, itu jadwalnya. Bisa saja, makanya kalau dilihat di KPUD istri saya nggak ada. Karena ada di sana. Jadi bagaimana saya harus pulang? Kamu mungkin nggak pulang? Maaf satu, nggak mungkin pulang. Karena maaf, kan muktamar, kongres, kan penuh Bali tuh. Cari tiket juga susah. Berbisik dia, ada nih Bisnis cuma Rp10 juta. Jangan. Jangan pulang, mendingan buat gua bikin kaos. Ini kan baru administrasi, udah ikutin saja lah. Artinya itulah bagian dari dukungan. Ya bismillah saja lah.

Tadi ada perkataan Bu Mega yang menurut saya unik. Betawi bagaimana Bang Dul? Lalu Abang kemudian kan mikir kan ini?

Saya minta maaf ya, kan saya Sekretaris Badan Kebudayaan. Jadi saya paham bagaimana berkepribadian dalam berkebudayaan. Itu yang bikin saya agak mundur-mundur berpikir. Lho maaf lho, Ibu ini kan presiden kelima. Dia kan konsepnya nasional Indonesia Raya. Kok dia masih care dengan Jakarta? Kalau Anda punya kesempatan wawancara Ibu, apakah saya ini jual dagang beliau? No. Itu yang disampaikan. Kamu kan Betawi, setelah Jakarta tidak jadi Ibukota, Jakarta mau jadi apa. Karena itu saya suruh Pramono. Saya mikir. Ini transisi ke pemerintah pusat dengan daerah ini kalau nggak akan stuck. Ya maaf lah, ekonomi global dunia kita sedang nggak tahu ini. Transisi pemerintah pusat pindah, pasti akan ada penurunan. Ini harus kuat dalam konsep administrasi. Pramono Anung lah orangnya. Saya ketemu Mas Pram. Ape coba? No, tugas kamu di sono, tugas saya di meja.

Sudah ada pembagian tanggung jawab?

Sudah. Gua nggak perlu tampil. Lu yang tampil. Artinya begitu. Saya bilang Mas percaya saya? Saya percaya.

Ada orang yang menyebut Abang yang akan bergerak di bawah. Karena bagaimana pun seperti Abang sebut tadi, nama Mas Pram dikenal, wajahnya kagak. Betul nggak itu?

Betul. Sangat betul. Dan beliau sadar. Ape dia bilang? Dul, saya ini udah 9 tahun nggak mau tampil di ini, kan saya Seskab, saya di belakang. Coba dilihat. Memang saya lihat bisa saja dia tampil di sebelah presiden, tapi memang posisi dia tidak seperti itu. Ya dulu kan dia juga Sekjen, dekat dengan Ibu Ketua Umum. Waktu Ibu jadi Presiden dia juga tidak ini (tampil), kan? Apalagi belakangan. Dia sangat sadar itu. Makanya dia bilang, kenapa saya diminta oleh Ibu? Saya siapin, istilahnya menunye, elu yang goreng. Bahasanya begitu.

Gue siapin nih, artinya kita mau makan apa nih. Kesehatan bagaimana? Maaf, kayak kemarin misalnya kita cek kesehatan di RSUD Tarakan. Ternyata rumah sakit itu dibangun di zaman Ahok. Yang luar biasa, dibangun di atas kali Cideng. Kan waduh? Mas Pram tanya, apa yang kurang? Peralatan semua lengkap, semua dokter lengkap. Memang lahan berkurang. Terus solusinya gimana? Memang belum ada solusi, Pak. Harus ada pelebaran. Bagaimana mau ada lebar di daerah situ? Katanya di belakang masih ada sekolah. Ya barangkali "kalau memang diperlukan pelebaran akan lari ke sana". Itu bagian dari urusan wajib. (tribun network/git/dod)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM lain di GOOGLE NEWS

 

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved