Opini

Opini: Hidup Enak Jadi Koruptor

Dalam formula Ignas Kleden, korupsi adalah suatu kejahatan publik yang meluas dan meningkat cepat (Kompas 17/10/2015).

|
Editor: Agustinus Sape
FOTO PRIBADI
Arnoldus Nggorong 

Oleh: Arnoldus Nggorong

POS-KUPANG.COM - Bila mengikuti perkembangan kasus korupsi di Indonesia, kita akan mendapat kesan yang amat kuat bahwa terdapat kecenderungan yang terus meningkat. Dalam formula Ignas Kleden, korupsi adalah suatu kejahatan publik yang meluas dan meningkat cepat (Kompas 17/10/2015). Kecenderungan peningkatan itu dapat dilihat dalam nilai uang yang ditilep dan jumlah orang yang berpartisipasi di dalamnya.

Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sebagaimana ditulis dalam editorial Mediaindonesia.com, dalam 5 tahun terakhir (sejak 2019-2023) perkara korupsi di Indonesia, bukannya berkurang, malah semakin bertambah (Mediaindonesia.com 15/5/2024).

Masih menurut ICW, tercatat 271 kasus korupsi pada tahun 2019. Lalu pada tahun 2020 kasus karupsi beranjak terus ke angka 444. Kemudian di tahun 2021 kasus korupsi naik menjadi 553. Lagi-lagi dalam tahun 2022 mengalami kenaikan sebanyak 579 kasus. Lompatan yang cukup jauh terjadi pada tahun 2023 melonjak hingga 791 kasus korupsi.

Kondisi ini memperlihatkan pertama, korupsi memang sudah tidak dipandang lagi sebagai kejahatan luar biasa. Pandangan yang biasa saja itu ditampakkan dalam ketidakseriusan menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) oleh DPR (Mediaindonesia.com 21/5/2024).

Patut diajukan pertanyaan semacam dugaan, apakah ketidakseriusan itu karena mereka masih bermusyawarah-mufakat (bersekongkol) untuk mencari rumusan lain yang dapat meringankan dan menyelamatkan mereka dari jeratan hukum yang dibuatnya sendiri?

Dirumuskan secara negatif, bagaimana mungkin DPR membuat hukum yang (nantinya) menjebak dirinya sendiri? Ataukah ada unsur kesengajaan untuk menundanya (melupakannya) dengan beragam dalih yang dimasukakalkan? Hanya mereka yang tahu.

Lagi pula, penundaan dalam jangka waktu yang lama, dengan alasan yang kelihatannya masuk akal tadi, membuat orang lupa dan tidak lagi peduli. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh DPR, sebagai ‘kesempatan emas’, untuk ‘memetieskan’ dan ‘memakamkannya’.

Kedua, predikat yang disematkan kepada para koruptor adalah “pencuri berdasi”, “penjahat kerah putih”. Dengan sebutan demikian sudah memberi kesan elitis, istimewa, kepada mereka. Pemberian nama yang terkesan elitis itu, menurut Haryatmoko, sudah meringankan beban (Haryatmoko, 2003, Etika, Politik dan Kekuasaan).

Dengan ungkapan eufemistis yang demikian, dengan sendirinya secara psikologis, memberi kelegaan kepada pelaku korupsi. Sebab kejahatan seperti itu tidak mungkin dilakukan oleh buruh kasar atau orang yang tidak berpendidikan.

Bertolak dari anggapan demikian, mereka pun dikategorikan dalam kelompok yang mesti mendapat ‘privilese’. Dalam artian mereka tidak diperlakukan sebagai si pencuri kakao, misalnya. Akibatnya, tidak pernah terjadi bahwa seorang koruptor yang tertangkap dianiaya dan dihakimi oleh massa. Padahal perbuatan mereka, yaitu mencuri tadi, an sich, adalah jahat, tetap dipandang terhormat karena dinilai telah berjasa bagi negara melalui pengabdiannya selama sekian tahun. Termasuk fasilitas yang dinikmatinya selama berada di penjara semakin mempertegas makna ‘privilese’ bagi para koruptor.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan seorang warga biasa (yang berpakain lusuh, kotor, berbau, compang-camping) yang kedapatan mencuri kakao di kebun tetangga. Dia akan memperoleh sanksi sosial berupa bahan pergunjingan dan dijauhkan dalam pergaualan. Atau kejadian yang lebih tragis dan lebih ekstrim lagi adalah penghakiman massa dalam bentuk pembakaran terhadap pencuri motor misalnya.

Padahal bila dicermati secara saksama dan diperbandingkan secara sederhana, yang jauh lebih biadab adalah ‘pencuri berdasi’ daripada pencuri kakao atau motor. Sebab perbuatan si ‘penjahat kerah putih’ menelantarkan nasib banyak orang, kerugian yang ditimbulkannya pun jauh lebih dahsyat. Sedangkan pencuri kakao atau motor tadi hanya merugikan keluarga pemilik kebun kakao atau pemilik kendaraan.

Ketiga, sebagian besar warga masyarakat masih bersikap permisif terhadap para koruptor. Apalagi kalau pelaku korupsi dilihat sangat dermawan, sering memberikan sumbangan kepada masyarakat, sumbangan bagi pembangungan rumah-rumah ibadah, sumbangan kepada panti asuhan, fakir miskin, dan sumbangan untuk mendukung kegiatan-kegiatan keagamaan, kegiatan kaum muda, kelihatan rajin beribadah, murah senyum, berpenampilan sederhana.

Lebih-lebih lagi jika koruptor dapat menciptakan lapangan pekerjaan dengan membeli saham atau membangun perusahaan dari hasil korupsi, demikian Haryatmoko. Dengan tindakan amal-karitatif demikian, menurut Haryatmoko, koruptor telah melakukan silih atas kejahatannya. Mereka juga akan mendapat pujian dan sanjungan dari warga masyarakat sebagai orang yang baik dan peduli terhadap nasib banyak orang.

Penerimaan masyarakat terhadap koruptor jenis ini lebih bagus ketimbang seorang rakyat jelata yang disebut pencuri ayam. Lebih dari itu, walaupun bekas nara pidana korupsi, namun tetap mendapat sambutan yang hangat. Contoh yang paling terang benderang adalah Anas Urbaningrum yang disambut begitu meriah oleh para pendukungnya ketika dia keluar dari penjara (detik.com 11/4/2023).

Keempat, mereka yang terjerat dalam kasus rasuah tersebut hanya kerena kesalahan administrasi. Dengan kata lain, korupsi, lagi-lagi, terjadi cuma karena kurang teliti dalam hal administrasi, keliru mencatat (keterlanjuran menekan tuts-tuts angka di keybord komputer). Dalam istilah yang elegan, malaadministrasi.

Diformulasikan dalam bahasa Haryatmoko, korupsi seakan-akan hanya menjadi kemampuan membuat laporan keuangan atau kemampuan melakukan transaksi tanpa meninggalkan tanda bukti.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa bagi yang lihai membuat laporan keuangan diyakini pasti bebas, sedangkan bagi yang kurang terampil membuat laporan akan terjerat hukum.

Dalam konteks ini, dapat dimengerti dan tidak heran pula, mereka masih bisa dan tetap tersenyum seraya melambai-lambaikan tangan kepada sorotan kamera wartawan karena ini cuma soal administrasi biasa.

Kelima, hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor masih ringan. Ignas Kleden mengafirmasi hukum yang ringan bagi koruptor kakap. Ditambah lagi dengan remisi yang diperoleh para nara pidana korupsi semakin mengafirmasi unsur keringanan hukuman itu. Selain itu, para koruptor pun mendapat fasilitas mewah selama berada di penjara. Liputan6.com mencatat, fasilitas mewah dimaksud berupa pendingin udara, rak buku, lemari es, spring bed, washtafel, kamar mandi lengkap dengan toilet duduk dan pemanas air (Liputan6.com 23/7/2018).

Lebih dari itu, setelah keluar dari penjara pun mereka masih dapat menikmati hasil korupsinya. Bahkan yang paling gampang adalah para pelaku korupsi yang masih berstatus tersangka dapat mempraperadilankan pihak yang telah menangkapnya sehingga pelaku pun, dapat saja, dibebaskan.

Dengan narasi singkat di atas, paling kurang kita memperoleh sedikit gambaran bahwa para koruptor memiliki nasib yang cukup beruntung di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kondisi ini amat berbeda dengan nasib koruptor di Negeri Cina, yang mendapat hukuman mati.

Dengan lain perkataan, lebih enak jadi koruptor daripada hidup jujur, seadanya, hidup pas-pasan, berkekurangan pula, tapi sengsara, derita yang diperoleh. Jadi, sekali lagi, memang lebih enak jadi koruptor. Dengan rumusan yang ekstrim, jika ingin hidup lebih baik, jadilah koruptor di Indonesia.

Mesti Berubah

Bila perspektif terhadap kejahatan korupsi masih dianggap biasa-biasa saja, maka perbuatan jahat ini tidak akan hilang, malah sebaliknya ia akan bertumbuh subur dan terus berkembang biak.

Maka dari itu, perspektif yang biasa-biasa saja tadi harus diubah. Sebab korupsi pada dasarnya adalah kejahatan yang luar biasa. Menurut Haryatmoko, terdapat tiga point yang membuat perilaku korupsi diposisikan sebagai kejahatan luar biasa. Pertama, korupsi merusak sendi-sendi hidup bersama. Kedua, korupsi mengkhianati cita-cita kebebasan. Ketiga, korupsi menghalangi upaya membangun institusi-institusi yang lebih adil.

Dalam nada yang setara, tingkat luar biasa kejahatan korupsi, oleh Ignas Kleden diformulasikan sebagai berikut, kejahatan ekonomi dalam bentuk apa pun akan merugikan kesejahteraan umum, melukai rasa keadilan dalam masyarakat dengan memperbesar kesenjangan antara kemakmuran yang tak wajar segelintir elite dan kemiskinan yang juga tak wajar dari rakyat yang berhak hidup layak dalam suatu negara merdeka yang harus melindunginya.

Perihal hidup layak dijamin oleh UUD 1945 pasal 28A yang berbunyi: setiap orang berhak hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dalam penjelasan selanjutnya makna pasal 28A, setiap orang mempunyai jaminan hak atas kehidupannya, baik untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Hak hidup sendiri merupakan hak yang esensial yang tidak dapat ditawar atau non-derogable rights (hukumonline.com 11/12/2023).

Bertolak dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa korupsi adalah negasi terhadap kemanusiaan. Dalam bahasa yang radikal, korupsi adalah bentuk paling biadab terhadap kehidupan. Sebab, sekali lagi, korupsi menyengsarakan banyak orang terutama mereka yang papa, terpinggirkan, tidak beruntung, lemah.

Dengan lain perkataan, memelihara korupsi sama dengan melestarikan kesengsaraan, penderitaan. Dalam arti yang lebih luas, mengasuh korupsi identik dengan merawat budaya kematian.

Dengan demikin perubahan cara pandang terhadap kejahatan korupsi itu adalah suatu keharusan, mutlak, tidak bisa ditawar-tawar. Lebih dari itu, bersikap tegas menolak kejahatan korupsi mesti tampak kasat mata dan riil. Cara pandang dan ketegtasan sikap itu harus mulai dari sekarang, dari diri sendiri. Katakan, TIDAK!, pada korupsi. Sekali lagi, STOP KORUPSI!

Penulis adalah alumnus STFK Ledalero, tinggal di Labuan Bajo

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved