Renungan Harian Kristen

Renungan Harian Kristen: Keadilan yang Berbelas Kasih, Yohanes 8:1-11

Hakim tersebut memutuskan untuk mendengar kisah lengkap dari sang janda sebelum memberikan keputusannya.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Pdt. Nope Hosiana Daik, M.Th 

Oleh Pdt. Nope Hosiana Daik, M.Th

POS-KUPANG.COM - Pada suatu hari, seorang hakim yang terkenal bijaksana menghadapi kasus yang sangat kompleks. Seorang janda tua yang miskin dituduh mencuri makanan dari pasar karena anak-anaknya kelaparan.

Di satu sisi, hukum jelas menyatakan bahwa mencuri adalah tindakan yang salah dan harus dihukum.

Namun, di sisi lain, kondisi sang janda yang putus asa dan tidak memiliki cara lain untuk memberi makan keluarganya juga tidak dapat diabaikan.

Hakim tersebut memutuskan untuk mendengar kisah lengkap dari sang janda sebelum memberikan keputusannya.

Setelah mendengar penderitaan dan perjuangannya, hakim tersebut memutuskan untuk membebaskan sang janda dengan sebuah nasihat untuk mencari bantuan melalui jalur yang benar.

Hakim juga mengarahkan komunitas setempat untuk mendukung sang janda dan keluarganya sehingga tidak lagi terpaksa melanggar hukum untuk bertahan hidup.

Kisah ini menggambarkan bahwa keadilan yang sejati tidak hanya berpegang pada aturan yang kaku, tetapi juga mempertimbangkan rasa kemanusiaan dan belas kasih.

Inilah jenis keadilan yang diajarkan oleh Yesus, yang menembus jauh ke dalam hati manusia dan merangkul mereka dalam kasih dan pengertian.

Keadilan atau Lasi’ Amnoet

Keadilan berarti sikap, sifat, dan tindakan yang tidak berat sebelah. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mengukur keadilan dengan ukuran: sama besar, sama tinggi, sama dalam, sama lebar, dan sama untuk hal-hal lainnya. Prinsipnya harus sama, tidak boleh berbeda!

Sebagai “masyarakat hukum,” kita mencari keadilan di pengadilan. Namun, ada juga fenomena “pengadilan jalanan” atau “pengadilan massa,” seperti main hakim sendiri yang biasanya terjadi ketika seseorang atau keluarganya merasa dianiaya.

Alat ukurnya bagi keadilan adalah “apa yang dirasakan oleh seseorang itu juga harus dirasakan oleh orang lain.” Pencarian keadilan dalam konteks ini berakar pada rasa balas dendam.

Mencari keadilan tanpa mempertimbangkan rasa kemanusiaan menghasilkan keadilan yang prosedural saja.

Namun, keadilan yang berbelas kasih adalah sifat, sikap, dan perlakuan yang didasarkan pada berbagai pertimbangan yang penuh rasa kemanusiaan, dengan mempertimbangkan kondisi nyata seseorang (ekonomi, sosial, dan kesehatannya).

Ini adalah keadilan adiluhung, keadilan yang membuat manusia yang menderita merasakan kemanusiaannya. Keadilan adiluhung adalah suasana dimana mereka yang lemah dan rentan merasa diperlakukan secara adil.

Kita juga mencari keadilan dengan tidak main hakim sendiri, tetapi menggunakan hakim dengan alat ukurnya adalah seperangkat “hukum positif” yang dipakai untuk mengarahkan kepada keputusan yang adil dan tidak berat sebelah.

Di pengadilan, hakim akan mengadili perkara seperti pencurian ubi di kebun tetangga oleh seorang janda miskin yang sudah tiga hari tidak makan.

Hakim mengetuk palu, dan si janda miskin dinyatakan bersalah berdasarkan “seperangkat peraturan perundang-undangan tentang kasus pencurian” dan dihukum tiga bulan penjara.

Kisah ini menunjukkan upaya mencapai keadilan, tetapi keadilan prosedural, yang hanya memenuhi rasa keadilan berdasarkan alat tanpa menggali sebab-sebab suatu peristiwa.

Keadilan adiluhung terjadi ketika para hakim membebaskan si janda miskin dari hukuman penjara meskipun terbukti mencuri ubi di kebun tetangga, karena ia terpaksa mencuri untuk makan.

Jika kita hanya mencari dan memaknai keadilan hanya berdasarkan instrumen hukum yang baku, maka keadilan ibarat senter dan pentungan di tangan hansip yang ronda malam.

Yesus dan Keadilan Adiluhung

Keadilan sejati adalah keadilan yang berbelas kasih, “keadilan welas” (keadilan adiluhung). Keadilan ini merengkuh seluruh pengalaman kemanusiaan yang disandera oleh berbagai kepentingan.

Keadilan adiluhung adalah keadilan yang mengulik semua aspek terselubung dari berbagai “instrumen hukum” yang sering kita sebut “tumpul ke atas dan tajam ke bawah” atau “penerapan standar ganda.”

Keadilan adiluhung dapat kita dalami dari cerita tentang Yesus, perempuan yang kedapatan berzina, dan para penghujatnya dalam Yohanes 8:1-11.

Ketika Yesus sedang mengajar di Bukit Zaitun, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa seorang perempuan yang tertangkap basah berzina dan menempatkannya di hadapan Yesus.

Mereka bertanya kepada Yesus tentang hukuman bagi perempuan tersebut untuk mencobai-Nya.

Yesus, tidak terjebak dalam permainan mereka. Ia berkata, “Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”

Setelah itu, satu per satu orang meninggalkan tempat itu, dan Yesus berkata kepada perempuan tersebut, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi.”

Keadilan belas kasih Yesus adalah sebuah adendum bagi kesadaran kolektif untuk melakukan pembebasan dari keadilan tanpa belas kasih.

Yesus sebagai Tuhan, yang dikenal perempuan itu, menunjukkan bahwa Tuhan memiliki belas kasih. Ia tidak menghukum perempuan itu, bukan karena menyetujui perbuatan zinah, tetapi karena ada ketidakadilan dalam kasus ini. Laki-laki yang terlibat dilindungi, sementara perempuan yang dipermalukan.

Yesus melepaskan perempuan itu dengan pesan, “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi,” sebagai harapan pemulihan hidup sekaligus kritik terhadap sistem peradilan yang manipulatif.

Dalam diri Yesus, kita menemukan Allah yang rapuh dan terluka dalam dunia, sebagaimana pendapat teolog feminis Jerman, Dorothee Sölle, tentang kerentanan.

Yesus menghendaki terciptanya tatanan masyarakat baru, kehidupan yang egaliter. Kisah ini mengajarkan kita untuk memaknai keadilan dan belas kasih Allah, yang dapat dipakai untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah keadilan sejati, bukan sekadar keadilan prosedural.

Akhirnya pembaca yang Budiman, mata rantai kekerasan terhadap perempuan dan mereka yang rentan akan terputus jika kita tidak lagi menjadikan mereka sebagai komoditi dalam proyek-proyek hitam.

Mata rantai kekerasan seksual akan terputus jika laki-laki dan perempuan diajarkan untuk menghormati dan mengasihi sesama manusia.

Orang tua harus berhati-hati dan peka dalam mendidik anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, agar tidak melakukan kekerasan terhadap perempuan yang sering ditempatkan dalam posisi tawar rendah dalam masyarakat. Amin. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved