Hasil Survei Terbaru
Survei Kompas: Media Arusutama Masih Jadi Sumber Informasi Tepercaya Masyarakat Pasca Tahun Politik
Slogan No Viral No Justice dimaknai, upaya mencapai rasa keadilan ditentukan oleh menyebar luas atau tidaknya suatu perkara.
Pola semacam inilah yang akhirnya menjadi dapur dari viral atau tidaknya suatu isu publik. Agen informasi dari pemerintah ke publik bukan lagi sebatas para peran media arustama. Namun, untuk tingkat kepercayaan isu, ada temuan penting yang patut disorot dari publik terkait dengan agen informasi.
Kembali pada survei Litbang Kompas, sebanyak 38,1 persen responden mengaku dalam suatu isu daerah atau negara ini lebih memercayai media massa arustama, baik televisi, media cetak, laman media massa daring, maupun akun medsos dan media arustama. Di urutan kedua, masyarakat yang tumbuh dengan budaya tutur khas ketimuran ini masih memercayai lingkup keluarga, teman, dan orang sekitar.
Informasi dari lembaga pemerintah terkait suatu isu berada di urutan ketiga dengan kurang dari 20 persen responden yang percaya. Akun medsos influencers memiliki tingkat kepercayaan 5,9 persen oleh publik.
Tentunya, ini menjadi catatan kritis lembaga pemerintahan yang cenderung mengandalkan influencers dalam menangani isu viral terkait dengan lembaganya. Akun medsos influencers yang dimaksud dalam pertanyaan wawancara survei tentunya termasuk para content creator dan akun para key opinion leader (KOL).
Menariknya, tingkat kepercayaan terhadap agen informasi ini juga berlaku bila responden dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, kelompok usia, ataupun kelas sosial. Pola jawaban hampir sama di semua kategori responden tersebut. Artinya, modal utama dalam media arustama tetaplah mempertahankan dan meningkatkan kualitas konten berita, baik dari aspek validitas maupun kelengkapan informasi.
Setelah tahun politik
Terlepas dari kualitas informasi yang ditawarkan, sirkulasi dan pendapatan iklan menjadi perhatian penting lainnya sebagai bahan bakar mesin produksi media massa. Laman-laman berita daring dari tingkat daerah dan nasional cukup semarak diisi iklan kementerian/lembaga, parpol, ataupun para politikus di tahun pemilu. Saat ini pun, iklan kampanye pilkada sudah banyak tersebar di laman media daring tingkat daerah.
Pendapatan dari iklan sudah tidak dapat lagi menjadi sumber utama media massa arustama untuk mempertahankan mesin produksinya. Minat pembaca untuk mencari info terkait politik kemungkinan akan menurun setelah momen pilkada November nanti terselenggara. Belum lagi, RUU Penyiaran saat ini masih dalam proses penggodokan.
Semua ini akhirnya terakumulasi menjadi pertanyaan akan nasib media massa arustama di tahun mendatang. Bisa jadi, ada media arustama yang mengambil posisi sebagai oposisi yang intens mengkritik pemerintahan baru, tetapi ada juga media arustama yang memosisikan diri bersama pemerintah untuk menjadi corong kebijakan publik.
Di hadapan ini, harian Kompas akan tetap mempertahankan kredibilitas dan independensinya. Selama hampir enam dekade berkarya, Kompas terus bermawas diri sebagai jembatan antara masyarakat dan pemerintah, serta sebaliknya. Sudah umum, produk jurnalistik Kompas dijuluki jurnalisme kepiting karena dinilai cenderung bermain aman dalam berbagai isu publik.
Semua ini dihidupi seturut warisan pemikiran Jakob Oetama, humanisme transedental. Manusia bukanlah obyek, melainkan subyek dan media massa menjadi corong suaranya. Mengutip pemikiran Prof De Volder, ahli etika media, Jakob mengatakan bahwa jurnalisme itu hendaknya hadir dengan obyektivitas yang subyektif.
Maksudnya, dalam menyajikan informasi, jurnalisme bukan didasari rasa suka atau tidak suka, bukan pula prasangka, apalagi kepentingan pribadi atau partisan. Subyektif dalam arti ini dikerjakan secara serius, jujur, benar, profesional, lengkap, menggali penyebab dan arti serta makna dari suatu fakta. Maka, selain independen, media massa perlu memiliki akal sehat, kepekaan, serta komitmen (Kompas.id, 10 September 2020).
Independensi media arustama menjadi nilai berharga ketika berhadapan banyaknya isu kebijakan yang dinilai kontroversial belakangan ini. Sementara itu, publik di media sosial senantiasa memunculkan beragam isu baru, yang mungkin lebih menarik perhatian ketimbang urusan kebijakan-kebijakan rumit itu. Semua ini layaknya ungkapan panem et circenses (roti dan sirkus) seturut karya Decimus Junius Juvenalis (55-128 SM).
Juvenalis saat itu menilai masyarakat Romawi sebenarnya hidup miskin dan menderita, tetapi tetap menjunjung para penguasa karena rutin menyelenggarakan pertunjukkan di Koloseum dan membagikan roti gratis.
Dukungan publik mengalir bukan karena perbaikan hidup masyarakatnya, melainkan semata karena atraksi dan rasa kenyang sementara. Namun, bahayanya, masyarakat mulai kehilangan nalar dan nurani karena atraksi makin liar serta berdarah-darah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.