Perang Rusia Ukraina
Rusia Berancang-ancang Putus Hubungan dengan Negara-negara Barat
Penurunan hubungan atau bahkan pemutusan hubungan bisa menggambarkan parahnya konfrontasi antara Barat dengan Rusia.
POS-KUPANG.COM, MOSKOW - Kremlin tengah menimbang-nimbang untuk menurunkan status hubungannya dengan negara-negara Barat, terutama karena keterlibatan Amerika Serikat dan sekutunya di Ukraina. Penurunan hubungan atau bahkan pemutusan hubungan bisa menggambarkan parahnya konfrontasi antara Barat dengan Rusia.
Di masa lalu, seperti krisis Kuba di tahun 1962 atau ketika Perang Dingin, Rusia tidak pernah memutuskan hubungan dengan Amerika Serikat. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, Kamis (27/6/2024), mengatakan, potensi penurunan hubungan itu terbuka mengingat pendekatan Barat akhir-akhir ini terhadap Rusia.
“Masalah penurunan tingkat hubungan diplomatik adalah praktik standar bagi negara-negara yang menghadapi sikap tidak bersahabat atau bermusuhan,” kata Peskov, Kamis (27/6/2024). Dia menambahkan, pilihan untuk melakukannya sangat terbuka. Bagi Rusia, intervensi Barat dalam isu Ukraina dinilai berlebihan.
Hal itu juga diiyakan Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov. Kepada surat kabar Izvestia, Ryabkov menyebut potensi penurunan hubungan terus dipelajari.
Di sisi lain, ia mengatakan, duta besar Rusia di banyak negara Barat terus berupaya untuk menjaga saluran komunikasi dengan Barat tetap terbuka. Langkah itu dinilai sangat penting dalam situasi saat ini.
Sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 dimulai, negara-negara Barat yang dimotori Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengucurkan bantuan kepada Ukraina agar tentara Ukraina mampu bertahan dan menyerang balik Rusia.
Baca juga: Duta Besar Korea Selatan untuk PBB Kritik Transfer Senjata Korea Utara-Rusia
Tak hanya sebatas memberi bantuan militer, AS dan Barat juga menjatuhkan sanksi ekonomi pada Rusia. Arahnya untuk mengurangi kemampuan Rusia membiayai perang di Ukraina.
Akan tetapi, situasi itu malah membuat Rusia bergeming. Sejumlah langkah diambil termasuk membuka kran impor senjata dari negara-negara sekutunya, salah satunya dari Korea Utara.
Terkait sanksi ekonomi, Rusia tetap mampu bermanuver lantaran mendapat sokongan dari China. Dukungan itu membuat Rusia mampu bertahan di bawah tekanan Barat dan AS.
Tekanan menguat
Menyikapi hal itu, Barat dan AS mencoba menekan lebih kuat. Mahkamah Kriminal Internasional di Den Haag, Belanda, mengeluarkan surat perintah penangkapan mantan Menteri Pertahanan Sergei Shoigu dan Kepala Staf Militer Valery Gerasimov.
Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa juga mengatakan, Rusia melanggar hak asasi manusia di wilayah yang diduduki, termasuk menculik, menyiksa hingga memindahkan kewarganegaraan warga setempat.
Di bidang diplomatik, Rusia mengalami kemunduran setelah Uni Eropa secara resmi memulai perundingan aksesi dengan Ukraina dan Moldova.
Di lapangan, serangan militer Ukraina kian intensif dengan menggunakan senjata-senjata canggih dari Barat dan AS. Bahkan saat ini, Barat dan AS mengizinkan senjata yang mereka hibahkan dapat digunakan Kyiv untuk menyerang sasaran yang berada di dalam wilayah teritorial Rusia.
Terkait hal itu, Kementerian Pertahanan Rusia menyebut tanggung jawab utama berada di pundak Washington. Rusia menilai izin itu bisa mengakibatkan eskalasi yang serius.
Salah satu tanggapan Rusia antara lain, adalah latihan pengerahan senjata nuklir taktis, menempatkan rudal-rudal konvensional jarak menengah, serta menandatangani perjanjian pertahanan dengan Korea Utara.
Dinamika tersebut membuat situasi kawasan berpotensi makin memanas. Apalagi dalam persepsi Presiden Putin, invasi ke Ukraina adalah bagian dari perjuangan Rusia melawan hegemoni Barat dan AS.
Serangan ke Ukraina juga menjadi bagian dari upaya Moskow menahan perluasan pengaruh NATO ke wilayah bekas Uni Soviet.
Putin memandang sokongan ekonomi dan militer Barat ke Ukraina adalah bagian dari rencana besar Gedung Putih untuk memecah belah Rusia dan kemudian menguasai sumber daya alamnya.
“Moskow sudah menyerah untuk bisa memperbaiki hubungannya dengan Barat,” kata Geofrey Roberts, sejarawan Universitas College Cork.
Dia menilai, pada satu sisi, kebijakan yang diambil Putin dilakukan karena Putin berasumsi dapat mewujudkan tata dunia multipolar, sekaligus menjaga jarak dengan Barat. Di saat yang sama, menurut Roberts, beragam tindakan yang diperlihatkan Putin bisa dibaca sebagai isyarat, protes dan tanda frustrasi Rusia atas sikap Barat, khususnya AS.
Di siai lain, langkah itu bisa juga dibaca sebagai "pernyataan" Putin pada kelompok garis keras di Rusia. Arahnya adalah agar mereka tetap mendukung Putin terkait perang di Ukraina.
(kompas.id/reuters)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.