Anggaran Pendidikan

Alokasi Anggaran Pendidikan Masih di Bawah 4 Persen, Pemanfaatan Anggaran 20 Persen Perlu Dievaluasi

Pengawasan pemanfaatan anggaran fungsi pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD harus diseriusi agar lebih efektif.

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) berbincang dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim seusai memberikan keterangan kepada wartawan terkait penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Buku Daftar Alokasi Transfer ke Daerah Tahun Anggaran 2023 di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (1/12/2022). 

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah menetapkan 20 persen APBN untuk pendidikan. Namun, dalam pelaksanaan alokasi anggaran pendidikan ternyata tidak pernah mencapai 4 persen.

Karena itu,  anggaran fungsi pendidikan 20 persen dari APBN harus dievaluasi kembali pemanfaatannya untuk kepentingan memajukan pendidikan. Klaim penggunaan anggaran pendidikan yang tidak sesuai ketentuan membuat alokasi anggaran fungsi pendidikan belum membuahkan sumber daya manusia yang siap menyongsong Indonesia Emas 2045.

Alokasi anggaran fungsi pendidikan Indonesia masih di bawah 4 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Padahal, acuan internasional sudah lebih dari 4 persen. Bahkan negara lain sudah di kisaran 4-6 persen dari PDB.

Mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional yang juga Rektor Universitas Yarsi Fasli Jalal dalam rapat dengar pendapat umum bersama Panitia Kerja (Panja) Pembiayaan Pendidikan Komisi X DPR di Jakarta, Kamis (20/6/2024), mengatakan, dirinya gelisah dengan kondisi pendidikan nasional yang tertinggal. Sebab, sejumlah indikator masih tertinggal. Akses bersekolah dan berkuliah masih terkendala. Upaya melejitkan perguruan tinggi menjadi berkelas dunia juga belum berhasil baik.

”Berdasarkan ukuran indeks pembangunan manusia Bank Dunia, ada dua yang terkait pendidikan, yakni rata-rata lama sekolah dan skor tes, seperti PISA (Programme for International Student Assessment). Negara tetangga skor PISA-nya sudah di atas 500. China dan Vietnam juga sudah melejit, tapi Indonesia masih di bawah 400. Akibatnya, potensi anak yang lahir sekarang untuk bisa produktif di usia 18 tahun nanti tidak optimal,” kata Fasli.

Menurut Fasli, di tengah kenaikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, justru skor PISA menurun. Padahal, Indonesia termasuk konsisten ikut tes sejak tahun 2000. ”Selama 20 tahun, jangankan menaik, skor tes menurun,” ujar Fasli.

Oleh karena itu, sejalan dengan Panja Pembiayaan Pendidikan Komisi X DPR, Fasli mendukung evaluasi dan mencermati penggunaan anggaran pendidikan. Ia mempertanyakan adanya dana cadangan Rp 100 triliun dari anggaran pendidikan Rp 665 triliun pada tahun 2024. Padahal, jika dimanfaatkan, dana ini bisa memberikan ruang gerak untuk membiayai berbagai program prioritas pendidikan.

”Termasuk, sekitar 52 persen anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah. Bagaimana kepercayaan dengan memberikan otonomi penuh pengelolaan pendidikan ke daerah ini berbuah kemajuan pendidikan di daerah,” kata Fasli.

Penggunaan tidak efektif

Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf mengatakan, Panja Pembiayaan Pendidikan mengumpulkan masukan dan data dari berbagai pihak untuk mengevaluasi pemanfaatan anggaran pendidikan 20 persen. Ada sorotan soal ketidakefektifan penggunaan anggaran, yang mencolok terutama transfer ke daerah dan anggaran di kementerian/lembaga (K/L) yang tidak semuanya dimanfaatkan sesuai ketentuan.

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Suharti menuturkan, alokasi anggaran pendidikan sejak tahun 2010 hingga tahun 2024 jumlahnya meningkat. Meski demikian, jumlahnya tidak pernah sampai 4 persen dari PDB, tetapi berfluktuasi maksimal 3,5 persen dari PDB. Padahal, jumlah penduduk dan siswa semakin banyak.

”Akhirnya anggaran pendidikan hanya untuk operasional, sedangkan untuk investasi dan peningkatan kualitas masih kelabakan,” kata Suharti.

Suhari menyebutkan, Kemendikbudristek tidak memiliki akses untuk mengetahui alokasi dan pemanfaatan anggaran fungsi pendidikan yang tersebar ke daerah ataupun 22 K/L lainnya. Akibatnya, ketika ada kebutuhan tambahan anggaran pendidikan, tidak mudah untuk dipenuhi.

”Kami berharap ada perbaikan supaya Kemendikbudristek bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional bisa bersama-sama menetapkan anggaran fungsi pendidikan. Ada rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan agar rancangan PP Pembiayaan Pendidikan ada turunannya. Sekarang sedang harmonisasi,” tutur Suharti.

Baca juga: Anita Gah Gebrak Meja Hingga Tunjuk Nadiem Makarim, Sebut 17 Sekolah di NTT Belum Rampung Sejak 2021

Terkait anggaran fungsi pendidikan di K/L, Suharti mengatakan, untuk tahun ini tersebar di 22 K/L lain selain Kemendikbudristek dan Kementerian Agama.

Misalnya, Kementerian Sosial pada 2024 mendapatkan anggaran fungsi pendidikan sekitar Rp 12 triliun, semula tidak pernah ada. ”Apakah untuk memenuhi anggaran fungsi pendidikan 20 persen? Kami tidak mengetahui persis. Bappenas sudah mengidentifikasi tiap-tiap K/L terkait anggaran, apakah masuk pendidikan kedinasan atau bukan sehingga layak dibiayai dengan anggaran fungsi pendidikan,” papar Suharti.

Menurut Suharti, alokasi anggaran pendidikan yang dikucurkan ke Kemendikbudristek secara umum tidak naik signifikan. Sementara anggaran pendidikan untuk K/L lain ada yang naik hingga empat kali lipat, bahkan 16 kali lipat.

Berdasarkan evaluasi Kemendikbudristek, meskipun sudah ada bantuan operasional sekolah (BOS) majemuk atau alokasi BOS yang berbeda sesuai kemahalan atau wilayah, tetap saja kebutuhan layanan pendidikan di satuan pendidikan masih jauh dari kebutuhan.

Contohnya, dari kebutuhan operasional PAUD Rp 2,1 juta, hanya bisa dibantu 28-56 persen. Adapun kebutuhan sekolah luar biasa yang mencapai Rp 8,6 juta hanya bisa dipenuhi 40-84 persen.

”Kami mendukung supaya pemda juga memenuhi kewajibannya mengalokasikan APBD 20 persen di luar transfer daerah,” kata Suharti.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek Abdul Haris menuturkan, alokasi bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) baru sekitar 31 persen. Bahkan, dengan pagu indikatif tahun 2025, malah turun 16 persen, padahal biaya operasional meningkat.

Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek Kiki Yuliati menyampaikan, BOPTN untuk pendidikan tinggi vokasi, seperti politeknik, sekitar 38 persen dari kebutuhan. Mahasiswa di politeknik membayar uang kuliah tunggal (UKT) di kisaran Rp 7 juta. Meskipun perguruan tinggi vokasi memberikan keleluasaan dengan mencicil, tetap saja ada yang tidak mampu melunasi sesuai tenggat.

Menurut Kiki, sesuai ketentuan, perguruan tinggi K/L mestinya berbentuk pendidikan tinggi vokasi, yakni politeknik dan akademi. Kenyataannya, ada yang berbentuk sekolah tinggi dan institut. Bahkan, ada yang memiliki program studi yang sama dengan perguruan tinggi di bawah Kemendikbudristek.

”Untuk anggaran mahasiswa per tahun, ada yang sampai Rp 67 juta/mahasiswa/tahun. Padahal, ada di program studi yang tidak ada bedanya dengan yang umum,” kata Kiki.

Tidak memenuhi

Pelaksana Harian Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Horas Maurits Panjaitan mengutarakan, pemerintah daerah selalu diingatkan untuk mengalokasikan anggaran fungsi pendidikan paling sedikit 20 persen dari APBD.

Namun, tren kenaikan anggaran pendidikan dalam APBN tidak diikuti kemampuan pemda dalam memenuhi 20 persen APBD untuk pendidikan. Hanya 2 persen dari 514 kabupaten/kota yang mengalokasikan 20 persen dari APBD untuk pendidikan (di luar transfer daerah).

Maurits menambahkan, ada sejumlah masalah pendidikan di daerah, yakni belum meratanya layanan pendidikan, rendahnya kualitas pendidikan, rendahnya kualifikasi pendidikan dan produktivitas lulusan, dan rendahnya kualitas dan efektivitas belanja pendidikan.

Selain itu, ketersediaan sarana pembelajaran digital belum memadai, partisipasi pendidikan prasekolah masih minim, akses dan kualitas pendidikan nonformal perlu ditingkatkan, hingga masalah pendidikan karakter.

(kompas.id)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved