Berita NTT
Frans Aba: Jangan Batasi Ruang Gerak Orang untuk Improvisasi Pemikiran dalam Konteks Membangun NTT
masyarakat NTT itu kurang lebih 700 peti mati kirim ke NTT. Itu kan fenomena gunung es yang merupakan problem yang harus kita atasi.
Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Rosalina Woso
Laporan Wartawan POS-KUPANG.COM, Michaella Uzurasi
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Calon Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Dr. Fransiskus Xaverius Lara Aba, S.E., M.Ec., Ph.D mengatakan, pemerintah tidak boleh membatasi orang untuk melakukan improvisasi pemikiran dalam konteks pembangunan di NTT.
Hal ini diungkapkan Frans Aba dalam Podcast Pos Kupang, Minggu, 24 Maret 2024.
Berikut cuplikan wawancara eksklusif bersama host jurnalis Pos Kupang, Ella Uzurasi.
Apa aktivitas anda saat ini?
Kalau saya, yang menjadi rutinitas pertama adalah saya sebagai seorang dosen, mengajar di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, di Jakarta lalu juga sebagai seorang research, pebisnis juga dan melakukan aktivitas sosial politik serta beberapa aktivitas yang kemarin dalam perhelatan pilpres saya sebagai seorang anggota Dewan Pakar salah satu kontestan pilpres.
Cukup padat, cukup berat dan saya kemarin dari Singapura - Batam langsung ke Kupang dan besok harus lanjut ke Larantuka, Flores Timur.
Ditengah aktivitas sepadat itu masih terpikirkan untuk maju sebagai calon Gubernur. Apa yang melatarbelakangi pemikiran untuk akhirnya maju dalam kontestasi politik?
Yang jelas bahwa yang pertama dan utama kita punya kepedulian terhadap daerah ini karena kita berasal dan besar lahir di NTT dan juga mengetahui, apalagi saya sudah satu tahun pada momen ini dari saya deklarasi dan menyatakan sikap sampai sekarang, jadi kita sudah satu tahun, proses yang saya lalui cukup panjang dan menyatakan sikap bersama-sama di hotel Aston, ribuan orang datang dan juga berkunjung ke daerah, di Flores maupun di beberapa daerah, sekarang akan fokus di daratan Timor dan Sumba maupun di hal-hal yang sifatnya udara (media, red).
Tapi orientasi pertama dan terutama, kita melihat kekurangan kita yang kita compare-kan dengan daerah lain baik secara sosial budaya, baik secara ekonomi maupun secara kultural dalam konteks kemiskinan.
Ini yang perlu kita lihat di dalam NTT kedepan mau diapakan, atau mau dibuat aspek yang sifatnya akselerasi dalam konteks percepatan terutama dari sisi pembangunan, yang kita sendiri dari satu kepemimpinan ke kepemimpinan Gubernur tidak ada aspek yang sifatnya percepatan yang kita anggap penting dalam moderasi, dalam konteks pemberdayaan masyarakat NTT.
Itu yang saya lihat. Karena kita punya keunggulan tapi keunggulan kita harus dibuat hal yang sifatnya akselerasi sehingga saya lebih menekankan kepada hal yang sifatnya aspek modernisasi dalam konteks perubahan kekuasaan politik tapi di sisi lain juga harus universal, ada responsibility dan juga ada yang sifatnya bertanggung jawab dalam konteks leadership kepemimpinan, tapi itu kita bicara dalam konteks kebersamaan sehingga saya mengangkat (tema) merajut gotong royong bersama masyarakat NTT sebagai mediasi didalam konteks kepemimpinan.
Kita jangan bicara siapa, apakah saya sebagai Gubernur ataupun konteks-konteks lain tapi kita harus lihat bagaimana NTT ini kedepan dan itu harus sama-sama duduk dan berbicara dengan seluruh komponen masyarakat dan jangan membatasi ruang gerak orang untuk melakukan improvisasi pemikiran atau berbagi informasi dalam konteks pembangunan di NTT ini.
Ini berarti berangkat dari keprihatinan seorang Frans Aba melihat kondisi Nusa Tenggara Timur saat ini?
Kalau bicara keprihatinan itu sangat ekstrim bagi saya tapi lebih layak kita ada aspek kepedulian didalam kebersamaan kita sebagai masyarakat NTT dalam merajut gotong royong dalam membangun NTT sehingga kita tidak lagi dalam tataran pemikiran bicara tentang NTT karena terus terang saja sebagai seorang ekonom saya melihat dari kacamata ekonom, dengan melihat dan merasakan apa yang menjadi kekurangan pada diri saya dan apa yang menjadi kelebihan pada diri saya ya kita bersama-sama membangun NTT.
Oleh karena itu jangan kita melihat siapanya tetapi bagaimana NTT yang akan kita rajut dalam proses pembangunan ini didalam proses pergantian kepemimpinan.
Pertanyaan anda tadi, adalah bagian dari proses yang harus kita lakukan didalam penegasan dari aspek-aspek dalam melihat pembangunan terutama ekonomi karena kita lihat strata ekonomi dalam konteks pertumbuhan ekonomi kita itu sangat rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Kita daerah termiskin dalam strata kuantitas itu nomor tiga dari bawah, setelah Papua dan Papua Barat.
Padahal kalau kita akumulasi dalam proses percepatan, kita bisa bisa meloncat lebih cepat ke standar (ekonomi) menengah karena kalau kita compare-kan dengan daerah lain, itu di 6 - 7 persen dalam konteks pertumbuhan ekonomi. Karena saya sebagai seorang ekonom saya bisa melihat angka ini berapa besar dengan kekuatan dan kelebihan yang kita lakukan akselerasi percepatan ekonomi.
Belum saya bicara lain, oleh karena itu yang perlu kita lakukan dalam proses NTT kedepan adalah apa yang kita sebut dengan apa yang menjadi keunggulan komparatif kita. Kalau keunggulan komparatif kita di sektor pertanian 27 persen, tinggal apa yang masih kurang dalam proses itu. Maka yang menjadi kelemahan kita secara konvensional kita ini kan masih sangat tradisional dalam proses percepatan ekonomi kita.
Oleh karena itu aspek modernisasi didalam pendekatan yang lebih lanjut pada pendekatan yang saya katakan, industrialisasi. Itu yang masih kurang dalam konteks manufaktur ataupun aspek yang sifatnya proses percepatan dari sisi industrialisasi karena sekarang sudah terbuka lebar.
Aspek digitalisasi bisa membuka ruang kita. Pemerintah bukan hanya sebagai aspek yang sifatnya mediator tapi juga fasilitator dalam proses percepatan sebagai intemedian dalam leadership kepemimpinan.
Berbicara tentang ekonomi di NTT sendiri, ini adalah salah satu penyebab masyarakat kalangan bawah memilih pergi ke luar negeri dengan jalan ilegal. Anda melihat seperti apa?
Yang pertama harus kita lihat bahwa ada problem. Dari tahun 2014 sampai tahun 2022 pekerja migran Indonesia (PMI) kita terutama masyarakat NTT itu kurang lebih 700 peti mati kirim ke NTT. Itu kan fenomena gunung es yang merupakan problem yang harus kita atasi.
Pertanyaan tadi, apa yang terjadi dengan aspek perubahan dalam konteks yang mana pekerja kita keluar. Yang menjadi pertanyaan bagi kita, apakah pekerja kita yang dikirim keluar itu sudah sesuai kompetensi atau tidak? Atau cuma pekerja tradisional saja? Karena apa?
Ruang kerja di NTT itu sebenarnya bisa dilakukan proses dengan konteks yang tadi saya katakan, keunggulan komparatif dari sisi ekonomi, apakah pertanian, apakah peternakan, apakah perkebunan, apakah perikanan, itu bisa dilakukan dalam mengerem aspek yang sifatnya membuat orang keluar dan NTT apakah yang sekarang dilakukan ilegal dan pulang sebanyak 700 peti mati itu merupakan fenomena bagi kita, jadi keprihatinan seperti yang anda katakan.
Oleh karena itu yang menjadi penting di sini adalah kita menciptakan lapangan pekerjaan. Kita boleh kirim pekerja dari NTT ke luar negara atau ke luar daerah dalam konteks regional, tetapi yang mempunyai kompetensi. Orang NTT itu punya kelebihan.
Militansi kerjanya, loyalitas, kesetiaan itu tidak perlu diragukan tetapi problemnya adalah organ-organ pengiriman tenaga kerja itu berdasarkan aspek yang tidak kompetensi, tidak akuntabel dalam konteks profesionalitasnya.
Lebih banyak pada aspek buruh biasa, kerja rumah tangga bahkan skill dari aspek rumah tangga juga sangat rendah belum lagi dari segi bahasa. Nah dampak-dampak akhirnya orang (pergi) dengan cara ilegal.(uzu)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.