Opini
Opini: Mewacanakan Reposisi Uskup Agung
Dari uraian ini bisa ditarik kesimpulan bahwa reposisi Uskup (Agung) bila mengikuti Kitab Hukum Kanonik mestinya perlu diwacanakan.
Tetapi persoalannya, jabatan ‘duniawi’ dibataskan sampai seseorang berusia 60 tahun. Bahkan saat berumur 59 tahun sudah melewati Masa Persiapan Pensiun. Lebih lagi jabatan ‘duniawi’ hanya diberi ruang sampai dua kali periode.
Karena itu bila seseorang terpilih untuk sebuah jabatan pemerintahan pada usia 35 tahun, paling-paling ia bertahan sampai 10 tahun.
Hal ini berbeda dengan jabatan seorang uskup. Usia pensiun uskup adalah 75 tahun. Bila uskup terpilih saat berumur 35 tahun, maka ia bakal menjadi uskup selama 40 tahun. Pertanyaannya apakah hal itu wajar dan manusiawi? Sekali lagi orang akan bilang, ‘itu jabatan ilahi’.
Tetapi apakah setiap orang begitu sederhana, bijaksana dan tidak otoriter serta murah hati seperti Uskup Gregorius Monteiro, SVD Uskup (Agung) Kupang, sehingga meski menjadi uskup selama 30 tahun (1967-1997), banyak orang yang masih merindukan figurnya?
Bukan rahasia kalau ada imam projo yang memutuskan pindah ke Keuskupan lain karena sudah tidak tahan dengan uskupnya yang selain sudah lama berkuasa juga kadang lebih otoriter dari pemerintahan duniawi.
Hal ini tentu saja manusiawi karena kepada uskup diberikan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan legislatif. Dengan kekuasaan yang tak terbatas ini seorang uskup bisa menjalankan kekuasaan bak seorang raja.
Tentu penilaian seperti ini ‘debatable’ dan tidak luas terjadi tetapi bukan mustahil dalam keuskupan tertentu hal ini dialami secara nyata.
Uskup Metropolitan
Wacana lain tentang posisi Uskup Agung atau yang dikenal dalam KHK seperti Uskup Metropolitan. Ungkapan ini terasa aneh ketika mendengar misalnya Kupang atau Ende karena ada Uskup Agung disebut uskup metropolitan.
Tetapi ungkapan ini mengarah kepada konsekuensi bahwa sebuah Keuskupan Agung mencakup daerah yang lebih luas dan sentral. Tentu saja posisi ini di Nusa Tenggara bisa disamakan dengan sebuah provinsi.
Yang jadi pertanyaan, mengapa Ende disebut Keuskupan Agung? Ende sudah menjadi pusat pemerintahan gerejawi bahkan sejak Indonesia merdeka yakni tahun 1913 saat menjadi Prefek Apostolik Kepualaun Sunda Kecil hingga kemudian menjadi Vikaris Apostolik.
Ende menjadi Keuskupan Agung pada masa Uskup Gabriel Manek (1961-1968) yang mencakup uskup sufragan: Denpasar (1950), Larantuka (1951), Ruteng (1951), dan kemudian keuskupan Weetebula (1959), Keuskupan Kupang (1967), dan Maumere (2005).
Keuskupan Kupang kemudian menjadi Keuskupan Agung (1997) yang mencakup keuskupan sufragan Atambua, Weetebula karena menyadari posisi Kupang sebagai Ibu Kota provinsi NTT.
Pertanyaannya, apakah seorang bisa langsung ditahbiskan menjadi Uskup Agung tanpa harus melewati posisi sebagai uskup sufragan? Pertanyaan ini mudah dijawab saat pertama kali dibentuk Keuskupan Aung Ende tahun 1961.
Saat itu langsung dipilih uskup terbaik dari keuskupan yang ada. Uskup Gabriel Manek SVD yang saat itu sudah 10 tahun menjadi uskup sufragan Larantuka terpilih menjadi Uskup Agung merupakan pengakuan akan jabatan sentral dari seorang Uskup Agung yang terpilih dari uskup yang ada di wilayah provinsi gerejawi yang ada.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.