Uskup Agung Kupang yang Baru

Selamat Datang Mgr. Hironimus Pakaenoni

Mgr. Hironimus Pakaenoni telah dipilih oleh Paus Fransiskus di Vatikan menjadi uskup agung Kupang yang baru menggantikan Mgr. Petrus Turang.

|
Editor: Agustinus Sape
YOUTUBE/KEUSKUPAN AGUNG KUPANG
Mgr. Hironimus Pakaenoni saat diumumkan sebagai Uskup Keuskupan Agung Kupang yang baru di gereja Santa Maria Assumpta Kupang, Sabtu (9/3/2024) malam. 

Oleh: Yosep Sudarso, ASN Kemenag Kota Kupang

POS-KUPANG.COM - Beberapa menit yang lalu, Takhta Suci Vatikan melalui Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, mengumumkan Uskup Agung Kupang yang baru. Uskup terpilih itu bernama Mgr. Hironimus Pakaenoni atau yang selama hampir 27 tahun disapa Romo Roni. Uskup baru ini menggantikan Mgr. Petrus Turang yang juga menjelang 27 tahun sebagai gembala tertinggi umat Katolik di Keuskupan Agung Kupang.

Dalam terang iman, walaupun berbeda tingkatan tahbisan, kesamaan angka ini tentu bukan kebetulan semata. Ini penyelenggaraan Tuhan. Mgr Roni bersama RD Gerardus Bernadus Duka (saat ini Vikaris Jenderal Keuskupang Agung Kupang) adalah buah sulung imamat Mgr. Petrus Turang.

Uskup Turang menahbiskan mereka berdua sebagai imam di Paroki Sta. Maria Assumpta, Kota Baru, Kupang, Senin, 8 September 1997, bertepatan dengan perayaan hari lahir Sta. Perawan Maria.

Engkaulah Petrus dan di atas batu karang ini….

Semasa hidup-Nya, Yesus dengan sengaja memilih 12 orang menjadi murid-Nya. Di antara kedua belas rasul ini, Ia memilih dan menetapkan Simon sebagai kepala. Ia juga memberi Simon gelar Kefas (Ibrani) atau Petrus (Yunani) yang berarti batu karang.

Penginjil Mateus bahkan mencatat bahwa Yesus mendirikan Gereja-Nya di atas Petrus, si batu karang (Mat 16:17-19). Warta Mateus ini mengungkapkan iman jemaat awal bahwa Yesus adalah pendiri gereja tetapi Ia mendirikannya di atas para rasul dengan Petrus sebagai kepalanya.

Iman gereja perdana ini lalu diteruskan dan diajarkan oleh Magisterium Gereja sesuai kewenangan yang ada padanya bahwa demi keberlangsungan kepemimpinan dalam gereja, para rasul digantikan oleh para uskup (bdk. Lumen Gentium artikel 20).

Ini tidak berarti hanya 12 uskup sebagaimana jumlah para rasul. Bukan juga dalam pengertian setiap rasul diganti oleh orang lain. Pemahaman yang lebih tepat ialah kalangan para rasul diganti oleh para uskup atau sebutan lainnya dewan para uskup.

Ciri kolegialitas para uskup ini misalnya ditandai dengan sekurang-kurangnya harus ada tiga uskup yang hadir menumpangkan tangannya kepada uskup terpilih.

Terpenuhinya syarat minimal ini sekaligus memperlihatkan bahwa uskup baru diterima dalam kalangan dewan para uskup.

Pada sisi lain, saat ditahbiskan, seorang uskup sejatinya menerima kepenuhan imamat (tahbisan tertinggi) sehingga ia menjadi imam dalam ibadat suci (fungsi imam), guru dalam ajaran (fungsi nabi), dan pelayan dalam kepemimpinan (fungsi raja).

Dalam cintanya yang utuh kepada gereja, uskup –dan juga imam yang mengambil bagian dalam imamat uskup- menghadirkan Yesus Kristus, Sang Imam Agung di tengah-tengah umat dan dunia.

Kedudukan uskup yang demikian khas, yakni memiliki kepenuhan imamat dalam kesatuan dengan dewan para uskup, sesungguhnya menunjukkan juga hubungan antara gereja lokal/gereja partikular yang ia pimpin dengan gereja universal.

Relasi timbal balik gereja keuskupan/diosesan dengan gereja universal dirumuskan dalam Lumen Gentium (LG) artikel 23, antara lain demikian, “Masing-masing uskup mewakili gerejanya sendiri, sedangkan semua uskup bersama Paus mewakili seluruh gereja dalam ikatan damai, cinta kasih dan kesatuan.”

Baca juga: BREAKING NEWS: RD Hironimus Pakaenoni Jadi Uskup Agung Kupang yang Baru

Kesatuan dengan dewan para uskup yang dikepalai oleh Paus merupakan sebuah keharusan atas dasar amanat Kitab Suci, warisan Tradisi Suci dan dipelihara dengan setia oleh Magisterium Gereja.

Kuasa uskup, bahkan dewan para uskup, tak terpisahkan dari kuasa Paus sebagai pengganti takhta Petrus. Sebab, injil mencatat hanya Simonlah yang ditempatkan oleh Tuhan sebagai batu karang dan diangkat menjadi gembala umat-Nya (bdk. Yoh 21: 15-17)

Dalam konteks ini kita umat Keuskupan Agung Kupang patut bersukacita karena takhta suci Vatikan menunjuk Mgr. Hironimus Pakaenoni sebagai Uskup Agung Kupang dan pada waktunya ketika menerima tahbisan uskup, yubilaris bergabung dalam dewan para uskup; pengganti para rasul dan batu karang gereja.

Sebuah anugerah yang hanya disyukuri karena ini murni kehendak dan pilihan Tuhan. Setiap insan, termasuk Mgr. Hironimus Pakaenoni, hanya bisa tunduk pasarah dan bersama Bunda Maria bermadah, aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu.

Dari Jiwaku haus kepada Allah menuju Jiwaku Memuliakan Tuhan

Sub-judul di atas adalah spirit yang menemani ziarah yubilaris sejak ditahbiskan sebagai imam hingga sekarang.

Penggalan pertama, Jiwaku haus akan Allah (Mzm 42:3) adalah moto yang ia pilih saat menjadi imam, 8 September 1997 yang lalu.

Sementara Jiwaku Memuliakan Tuhan (Luk 1: 46) adalah motonya saat merayakan 25 tahun imamat, 8 September 2022.

Refleksi yubilaris atas motonya dapat kita baca dalam buku Itu Imam, Mengintip 25 Tahun Imamat RD Dus Duka dan RD Roni Pakaenoni.

Seizin editornya, Kunibertus Ganti Gai dan Yosep Sudarso, kami mengedit seperlunya dan mempersembahkannya kepada para pembaca dan umat beriman untuk semakin mengenal Mgr. Hironimus Pakaenoni, Uskup Agung Kupang terpilih.

Mgr. Hironimus Pakaenoni saat diumumkan sebagai Uskup Agung Kupang yang baru di Gereja Santa Maria Assumpta Kupang, Sabtu (9/3/2024) malam.
Mgr. Hironimus Pakaenoni saat diumumkan sebagai Uskup Agung Kupang yang baru di Gereja Santa Maria Assumpta Kupang, Sabtu (9/3/2024) malam. (YOUTUBE/KEUSKUPAN AGUNG KUPANG)

Sekian tahun telah lewat, dan bukan tanpa arti. Dunia memang belum berubah. Dan ketika aku menoleh lagi, tepi-tepi malam sudah merayap di bawah kursinya. Tanpa kata-kata, aku pun bangun menyusun langkah baru. Pikirku, “mungkin masih ada hari esok. Dan siapa tahu, Tuhan masih membutuhkan aku…kendati yang ada padaku cuma ini: Jiwaku Haus kepada Allah.

Mazmur pasal 42 ayat 3 ini merupakan bagian dari perikop utuh Mazmur 42:1-12, yang diberi judul “Kerinduan kepada Allah”.

Motto ini merupakan kristalisasi hasil permenunganku yang relatif panjang selama masa-masa persiapan sebagai calon imam, yang selanjutnya menjadi landasan dan pedoman arah bagi ziarah imamatku.

Pada awalnya saya merasa terinpirasi oleh pemikiran Santo Agustinus dan Santo Thomas Aquinas mengenai kerinduan asali dan abadi dalam diri semua dan setiap manusia.

Kerinduan itu tidak lain daripada bersatu dengan Allah. Santo Agustinus mengungkapkannya secara jelas dalam kata-kata, “Tuhan, Engkau menciptakan kami untukMu, dan hati kami tidak akan tenteram sebelum beristirahat di dalam Engkau”.

Allah adalah tujuan akhir perjalanan jiwa manusia. Dalam Dia-lah jiwa manusia menjadi utuh. Walaupun kodrat manusia sempat terluka oleh dosa, namun kodrat itu bersifat dinamis, terbuka, dan tak terbatas dalam intensi dan kerinduannya.

Dan justru karena itu maka kodrat manusia hanya bisa disempurnakan oleh rahmat, di dalamnya Allah yang tak terbatas menghadiahkan diriNya untuk memenuhi kerinduan kodrati manusia.

Karena itu, bagi Santo Thomas Aquinas, rahmat adikodrati bukanlah sekadar sesuatu dari luar yang ditambahkan kepada kodrat manusia yang sudah selesai dan lengkap dalam dirinya sendiri, melainkan rahmat adikodrati-lah yang membuat kodrat manusia menjadi lengkap, dengannya manusia boleh menemukan dirinya sesuai intensinya yang benar.

Dalam situasi batas yang dialami akibat kerapuhan insaniku, bersama pemazmur saya mengungkapkan kerinduan dan rasa dahagaku akan Allah.

Ini bukan terutama tentang dahaga akan ibadah-ibadah, melainkan Allah dari semua ibadah itu; kepada Allah yang mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri, dan yang merupakan sumber kehidupan serta segala kebahagiaan bagi orang-orang kepunyaan-Nya.

Allah yang hidup itu bukan hanya lawan dari berhala-berhala yang mati, pekerjaan tangan manusia, melainkan juga lawan dari segala penghiburan dunia yang akan sirna dan habis ketika dinikmati. Jiwa yang hidup tidak akan pernah dapat beristirahat di mana pun, selain di dalam Allah.

Masih dalam situasi batas kemanusiaanku, terbersit rasa rindu untuk datang dan melihat wajah Allah, untuk menyatakan diri kepada-Nya dalam kepolosan dan kejujuran. Rindu untuk melayani-Nya, seperti hamba yang menghadap tuannya, untuk memberikan penghormatan kepada Dia dan menerima perintah-perintah-Nya.

Rasa rindu yang demikian sejatinya adalah sisi lain dari jawabanku untuk tetap tinggal dalam pelataran Allah. Sebab demikianlah ketentuan hukum Taurat, supaya tidak seorang pun datang menghadap Allah dengan tangan kosong.

Kini, setelah 25 tahun mengembara di padang gurun imamat, saya akhirnya memilih moto perak imamat saya, “Jiwaku memuliakan Tuhan” (Luk 1:46).

Saya merefleksikan bahwa ada semacam kesinambungan antara “Jiwaku haus kepada Allah” (Mzm 42:3) yang dikidungkan pemazmur, dan “Jiwaku memuliakan Tuhan” (Luk 1:46), yang dikumandangkan Bunda Perawan Maria, baik sebagai Puteri Sion sejati maupun sebagai Tabut Perjanjian Baru yang hidup.

Seperti dikatakan St. Ireneus, teolog sejarah keselamatan, kata-kata awal dari magnificat Maria ini sesungguhnya mau merayakan pemenuhan janji-janji perjanjian lama akan datangnya Mesias dari keturunan Daud (Luk 1:32).

Bertolak dari inspirasi-inspirasi biblis dan patristik ini, saya merenungkan bahwa perjalanan menjawabi serta menghidupi panggilan imamat sesungguhnya merupakan ekspresi kerinduan jiwaku akan Allah; sebuah kerinduan asali dan abadi, yang sering mengalami pasang-surut, jatuh-bangun, suka-duka, tawa-tangis, sukses dan gagal, yang sedikit-banyaknya disebabkan juga oleh berbagai keterbatasan dan kerapuhan insaniku.

Saya menyebut imamat sebagai ekspresi kerinduan asali akan Allah, karena sesungguhnya benih-benih panggilan itu sudah mulai muncul semenjak masa kanak-kanak saya, tepatnya ketika saya di bangku kelas 2 SD.

Waktu itu, sesudah menerima komuni pertama, saya begitu bersemangat mengikuti misa setiap hari untuk menerima Tubuh Kristus. (Hal ini didukung juga oleh dekatnya rumah orang-tua dengan gereja Paroki Hati Kudus Yesus Noemuti).

Bahkan ketika sendirian di rumah, saya sering bermain peran seperti seorang imam: memimpin misa dengan mengenakan daster ibu sebagai ganti kasula.

Begitulah benih-benih panggilan itu terus bertumbuh hingga saya memutuskan untuk masuk Seminari Menengah Lalian hingga ke Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Maumere.

Ziarah pendidikan sebagai calon imam bukannya tanpa kendala. Selalu ada tahapan di mana ada keengganan untuk berlangkah; memutuskan antara berhenti dan bekerja sebagai awam atau terus menapaki perjalanan menuju imamat suci.

Dilema dan tantangan paling berat ketika tiba saatnya untuk memutuskan: atau siap ditahbiskan sebagai diakon dengan segala risiko dan konsekuensinnya; atau berhenti sebagai calon imam.

Momen-momen krusial ini kiranya tidak berakhir pada saat pentahbisan diakon dan imam, melainkan terus mengiringi ziarah hidup imamatku hingga kini.

Ada sekian banyak fatamorgana kehidupan yang menawarkan oase-oase segar di tengah kembaraku melintasi padang gurun gersang yang nyaris membelokkan arah ziarah imamatku.

Dari situ saya semakin sadar dan paham akan dinamika hidup panggilan imamat yang setiap kali menuntutku untuk terus-menerus mengenangkan, menyegarkan dan mengaktualisasikan kembali kerinduan asaliku dalam menggapai horizon keabadian, yakni Dia yang telah mengenal dan memanggilku sejak dalam rahim ibuku (Bdk. Yer 1:5).

Tuntutan untuk terus-menerus mengejawantahkan kerinduan asali serta membaharui persetujuan awalku dalam menanggapi panggilan Tuhan ini pun hanya mungkin terwujud berkat spirit kerendahan hati dan keterbukaan total terhadap rahmat adikodrati, “Ecce ancilla Domini, fiat mihi secundum verbum tuum” (Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu, Luk 1:38).

Inilah dinamika dialog berkaitan dengan Kabar Sukacita; sebuah dialog iman yang tidak meniadakan anugerah kodrati dan rahmat adikodrati yang telah Tuhan tetapkan dalam diri hambaNya ini.

Sebaliknya, ia menggerakkan, menghargai dan menaikkan derajat pikiran, hati, afektivitas, dan kepekaan. Inilah sebuah tanggapan irasional namun sekaligus masuk akal. Inilah juga realisasi kontemplatif dari kehadiran dan pemberian Allah bagi hambaNya ini, yang menolongku untuk menghargai dan menyadari bahwa hidupku ada di dalam misteri Allah.

Bagaimanapun, pengalaman akan misteri ini tidak menuntunku kepada sebuah penarikan diri atau pelarian dari dunia yang sering keras, kurang bersahabat, penuh tantangan, kesulitan, dan cobaan, lalu berkonsentrasi pada pemenuhan kepuasan spiritual-batiniah pribadi belaka, melainkan justru menantangku untuk berpartisipasi dalam karya menghadirkan kerajaan Allah di tengah-tengah dunia.

Inilah sebuah undangan untuk terus-menerus berkontemplasi, mendengarkan Sabda Allah, menghidupiNya dalam tindakan konkret keprihatinan, belas-kasih dan pelayanan terhadap sesama, teristimewa terhadap mereka yang miskin dan berkekurangan (Bdk. Yoh 2:3)], serta merayakan seluruh misteri hidup melalui sakramen-sakramen yang berpuncak pada Ekaristi Mahakudus.

Saya sadar bahwa kendati dibentuk dari debu tanah, namun Yang Mahakuasa telah memperhatikan kerendahan dan kehinaan hambaNya ini, serta melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku, dan namaNya adalah Kudus.

Karena itu, sembari terus membuka diri terhadap rahmat adikodrati, saya pun terus berjuang dengan segenap keterbatasan insaniku, untuk menjadikan seluruh hidupku sebagai pujian bagi namaNya. Gloria Dei, homo vivens

(STSM – Penfui, Kupang, RD. Hironimus Pakaenoni).

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved