Uskup Agung Kupang yang Baru
Selamat Datang Mgr. Hironimus Pakaenoni
Mgr. Hironimus Pakaenoni telah dipilih oleh Paus Fransiskus di Vatikan menjadi uskup agung Kupang yang baru menggantikan Mgr. Petrus Turang.
Allah adalah tujuan akhir perjalanan jiwa manusia. Dalam Dia-lah jiwa manusia menjadi utuh. Walaupun kodrat manusia sempat terluka oleh dosa, namun kodrat itu bersifat dinamis, terbuka, dan tak terbatas dalam intensi dan kerinduannya.
Dan justru karena itu maka kodrat manusia hanya bisa disempurnakan oleh rahmat, di dalamnya Allah yang tak terbatas menghadiahkan diriNya untuk memenuhi kerinduan kodrati manusia.
Karena itu, bagi Santo Thomas Aquinas, rahmat adikodrati bukanlah sekadar sesuatu dari luar yang ditambahkan kepada kodrat manusia yang sudah selesai dan lengkap dalam dirinya sendiri, melainkan rahmat adikodrati-lah yang membuat kodrat manusia menjadi lengkap, dengannya manusia boleh menemukan dirinya sesuai intensinya yang benar.
Dalam situasi batas yang dialami akibat kerapuhan insaniku, bersama pemazmur saya mengungkapkan kerinduan dan rasa dahagaku akan Allah.
Ini bukan terutama tentang dahaga akan ibadah-ibadah, melainkan Allah dari semua ibadah itu; kepada Allah yang mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri, dan yang merupakan sumber kehidupan serta segala kebahagiaan bagi orang-orang kepunyaan-Nya.
Allah yang hidup itu bukan hanya lawan dari berhala-berhala yang mati, pekerjaan tangan manusia, melainkan juga lawan dari segala penghiburan dunia yang akan sirna dan habis ketika dinikmati. Jiwa yang hidup tidak akan pernah dapat beristirahat di mana pun, selain di dalam Allah.
Masih dalam situasi batas kemanusiaanku, terbersit rasa rindu untuk datang dan melihat wajah Allah, untuk menyatakan diri kepada-Nya dalam kepolosan dan kejujuran. Rindu untuk melayani-Nya, seperti hamba yang menghadap tuannya, untuk memberikan penghormatan kepada Dia dan menerima perintah-perintah-Nya.
Rasa rindu yang demikian sejatinya adalah sisi lain dari jawabanku untuk tetap tinggal dalam pelataran Allah. Sebab demikianlah ketentuan hukum Taurat, supaya tidak seorang pun datang menghadap Allah dengan tangan kosong.
Kini, setelah 25 tahun mengembara di padang gurun imamat, saya akhirnya memilih moto perak imamat saya, “Jiwaku memuliakan Tuhan” (Luk 1:46).
Saya merefleksikan bahwa ada semacam kesinambungan antara “Jiwaku haus kepada Allah” (Mzm 42:3) yang dikidungkan pemazmur, dan “Jiwaku memuliakan Tuhan” (Luk 1:46), yang dikumandangkan Bunda Perawan Maria, baik sebagai Puteri Sion sejati maupun sebagai Tabut Perjanjian Baru yang hidup.
Seperti dikatakan St. Ireneus, teolog sejarah keselamatan, kata-kata awal dari magnificat Maria ini sesungguhnya mau merayakan pemenuhan janji-janji perjanjian lama akan datangnya Mesias dari keturunan Daud (Luk 1:32).
Bertolak dari inspirasi-inspirasi biblis dan patristik ini, saya merenungkan bahwa perjalanan menjawabi serta menghidupi panggilan imamat sesungguhnya merupakan ekspresi kerinduan jiwaku akan Allah; sebuah kerinduan asali dan abadi, yang sering mengalami pasang-surut, jatuh-bangun, suka-duka, tawa-tangis, sukses dan gagal, yang sedikit-banyaknya disebabkan juga oleh berbagai keterbatasan dan kerapuhan insaniku.
Saya menyebut imamat sebagai ekspresi kerinduan asali akan Allah, karena sesungguhnya benih-benih panggilan itu sudah mulai muncul semenjak masa kanak-kanak saya, tepatnya ketika saya di bangku kelas 2 SD.
Waktu itu, sesudah menerima komuni pertama, saya begitu bersemangat mengikuti misa setiap hari untuk menerima Tubuh Kristus. (Hal ini didukung juga oleh dekatnya rumah orang-tua dengan gereja Paroki Hati Kudus Yesus Noemuti).
Bahkan ketika sendirian di rumah, saya sering bermain peran seperti seorang imam: memimpin misa dengan mengenakan daster ibu sebagai ganti kasula.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.