Utang Pemerintah Diproyeksikan Masih Terus Meningkat Tahun 2024 Ini
Adapun salah satu pemicu kenaikannya adalah pelemahan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global termasuk rupiah.
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia disebut-sebut kian memprihatinkan tiap tahunnya, bahkan tahun ini diproyeksikan masih bakal meningkat dari posisi akhir tahun 2023.
Bank Indonesia (BI) mencatat, ULN RI mengalami kenaikan sebesar 2,7 persen secara tahunan atau year on year (yoy) menjadi 407,1 miliar dolar AS per akhir Desember 2023.
Adapun salah satu pemicu kenaikannya adalah pelemahan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global termasuk rupiah.
Menanggapi hal ini, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan utang Indonesia khususnya ULN pemerintah makin memprihatinkan.
“Secara agregat saat ini masing-masing warga negara menanggung beban utang pemerintah Rp 30,5 juta.
Sementara postur belanja pemerintah yang lebih ekspansif dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan meningkatkan beban utang per penduduk hingga Rp 40 juta,” ujarnya kepada KONTAN, Rabu (6/3/2024).
Bhima menjelaskan, rencana defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan dinaikan pada 2025 sementara di tahun ini pendapatan dari pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) diperkirakan tumbuh lebih rendah dibanding kenaikan utang.
“PNBP jelas merosot karena terlalu bergantung pada swing harga komoditas, nikel karena oversupply juga anjlok harganya,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Bhima, negara tujuan ekspor juga tengah melemah permintaannya, belanja negara untuk proyek infrastruktur sangat agresif. Hal ini ditambah pula dengan beban BUMN karya yang sebagian utangnya ditanggung negara.
“Praktik utang ugal-ugalan tanpa solusi untuk rem utang bakal menghambat pertumbuhan ekonomi. Jadi jangan terjebak pada rasio utang dibawah 60 persen, likuiditas domestik fakta nya makin tergerus karena tersedot utang,” terangnya.
Bhima mengungkapkan, di tahun ini total ULN diproyeksikan naik sekitar 3,1-3,4 persen, ini dikarenakan kebutuhan menutup defisit anggaran semakin besar.
“Apalagi tahun depan (2025) ULN pemerintah bisa melonjak signifikan dengan proyeksi defisit APBN 2,8 persen karena mulai berjalan program populis seperti makan siang gratis,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Bhima menambahkan, kemampuan negara untuk membayar utang akan semakin berat jika dilihat dari perbandingan jumlah utang dengan penghasilan yang diterima tiap bulannya alias Debt Service Ratio (DSR).
Sementara itu, tren resesi negara maju dan ketidakpastian perekonomian global turut berimbas ke banyak negara berkembang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, saat ini terdapat 52 persen negara berkembang yang sedang menghadapi permasalahan fiskal.
Ia menyebutkan kondisi ini juga masuk dalam bahasan pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (Finance Ministers and Central Bank Governors/FMCBG) di bawah Presidensi G20 Brasil, pada 28-29 Februari 2024.
"Banyak negara berkembang yang saat ini 52 persen negara sedang menghadapi masalah fiskal. APBN-nya tidak sehat, utangnya dalam kondisi tertekan," tutur Sri Mulyani, Selasa (5/3/2024).
Sri Mulyani menambahkan, dengan kondisi tersebut, bahkan 52 persen negara berkembang tersebut tidak memiliki akses modal, sehingga mereka tidak mampu pulih sejak pandemi Covid-19.
Maka dari itu, banyak negara berkembang masih memerlukan dukungan. Dengan situasi tersebut, maka sangat diperlukan dukungan institusi multilateral agar menjadi solusi, terutama dalam persoalan pembiayaan.
Sri Mulyaini juga menyebutkan dalam pertemuan FMCBG di Brasil membahas tren dan guncangan global saat ini, seperti pandemi, perubahan iklim, teknologi digital, fragmentasi dan proteksionisme perdagangan.
Sejumlah kondisi tersebut memperparah kesenjangan dan berdampak negatif bagi negara berpendapatan rendah. "Terutama bagi keluarga miskin, perempuan dan daerah tertinggal," tambah dia.
Baca juga: Prabowo Umumkan: Semua Utang Negara di Era Soeharto Sudah Dilunasi Pemerintahan Jokowi
Adapun pertemuan pertama FMCBG mendiskusikan agenda-agenda global terkini, seperti berbagai kebijakan ekonomi untuk mengatasi kesenjangan, perspektif global terhadap pertumbuhan, inflasi dan stabilitas keuangan, perpajakan internasional, sektor keuangan di Abad 21, serta utang global dan keuangan berkelanjutan.
Resesi Global Membayangi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi masih berkutat di kisaran 5 persen pada tahun ini.
Sejumlah faktor internal dan eksternal turut mengancam perekonomian, mulai dari resesi global hingga inflasi akibat lonjakan harga pangan.
Proyeksi dari banyak lembaga internasional juga menyimpulkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di sepanjang 2024 maksimal berada di level 5,2 persen.
Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro memprediksi, pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya mencapai 5,06 persen, sementara tahun depan diprediksi lebih tinggi yakni mencapai 5,05 hingga 5,15 persen.
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tersebut, menurut dia, pemerintah bisa mengandalkan sektor-sektor fundamental, seperti industri fast moving consumer goods atau industri yang bergerak di bidang produk konsumen untuk keperluan sehari-hari.
"Kemudian ritel, health care, education, telekomunikasi, sektor yang di-drive oleh kebijakan pemerintah, seperti hilirisasi, yang nanti relatif bisa men-drive," tutur Asmo, panggilan akrab Andry Asmoro, seusai konferensi pers Mandiri Investment Forum (MIF) 2024, Selasa (5/3/2024).
Untuk meraih pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen bukanlah hal mudah. Ada sejumlah tantangan, baik di tingkat global maupun domestik, yang harus dihadapi.
Di tingkat global, tensi geopolitik masih belum usai. Ada juga Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) yang berlangsung pada November 2024, yang tentunya banyak mempengaruhi Indonesia pada beberapa aspek, seperti ekonomi, politik, keamanan dan pertahanan.
"Misalnya di akhir tahun presiden AS terpilih Donald Trump. Ini pernah kita alami pada 2018, ketika terjadi perang dagang antara AS dan China, kemudian China melambat, harga komoditas turun. Ini juga membuat pendapatan komoditas Indonesia turun," ungkap Asmo. (*)
Lonjakan Utang Pemerintah
year on year
Utang Negara
Ekonom dari Indef Bhima Yudhistira
Bhima Yudhistira
resesi global
Dampak Tarif Impor Donald Trump, Industri Otomotif dan Elektronik di Ujung Tanduk |
![]() |
---|
Risiko Resesi Bisa Meningkat hingga 35 Persen Akibat Kebijakan Presiden Trump |
![]() |
---|
Kerugian Akibat Penundaan Pengangkatan CPNS dan PPPK 2024, Ini Hitungan CELIOS |
![]() |
---|
Memahami Tata Kelola Uang Negara |
![]() |
---|
Beban Utang Pemerintah Kian Berat, Terus Bertambah dalam Empat Bulan Terakhir |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.