Timor Leste

Delegasi Timor Leste Menawarkan Rekonsiliasi dan Pelatihan Perdamaian Oleh Kamboja

DLBPK ikut menyelenggarakan pelatihan patokan mengenai rekonsiliasi dan pembangunan perdamaian 21 Februari 2024 untuk delegasi dari Timor Leste.

Editor: Agustinus Sape
CAMBODIA.OHCHR.ORG
Gedung Dewan Luar Biasa Peradilan Kamboja (DLBPK) atau Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC) di Phnom Penh. 

POS-KUPANG.COM - Dewan Luar Biasa Pengadilan Kamboja (DLBPK) ikut menyelenggarakan pelatihan patokan mengenai rekonsiliasi dan pembangunan perdamaian pada tanggal 21 Februari 2024 untuk delegasi dari Timor Leste.

Diselenggarakan bekerja sama dengan UNESCO Phnom Penh dan Indonesia, lokakarya ini bertujuan untuk mendukung upaya pemerintah Timor Leste dalam rekonsiliasi konflik dan pembangunan perdamaian, melalui pendidikan sejarah dan perdamaian yang berkualitas.

Tony Kranh, penjabat direktur pemerintahan DLBPK atau ECCC (Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia), menjelaskan bahwa Timor Leste dan Kamboja memiliki sejarah yang sama dan penuh tantangan, dan telah bekerja keras untuk membangun kembali masyarakat setelah konflik.

“Pengalaman bersama ini memberikan wawasan dan pembelajaran berharga yang dapat saling menguntungkan,” ujarnya seperti dikutip dalam siaran pers ECCC.

“Melalui upaya kolaboratif kami pada ‘Pelatihan Benchmarking’ hari ini, saya sangat yakin bahwa kami akan berbagi pengalaman dan pembelajaran yang telah kami peroleh melalui kerja sama selatan-selatan. Kolaborasi kami mempunyai potensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di kedua negara dan dapat berkontribusi pada rekonsiliasi lebih lanjut dan pembangunan perdamaian di kawasan,” tambahnya.

Ke-22 peserta tersebut adalah pejabat dari kementerian pendidikan dan kebudayaan Timor Leste, Chega National Center (CNC) – museum Timor Leste sebelum pendudukan mereka oleh Indonesia – dan lembaga pemerintah terkait lainnya, serta anggota UNESCO Jakarta dan Phnom Penh.

Mee Young Chou, kepala unit pendidikan UNESCO Jakarta, memberikan apresiasinya kepada ECCC yang telah menerima pengunjung dari Timor Leste.

“Kami semua terkesan dengan sesi informatif yang kami hadiri dan tur ECCC yang terstruktur dengan baik,” katanya.

Direktur eksekutif CNC Hugo Maria Fernandes berpendapat bahwa acara ini sangat bermanfaat.

“Kami belajar banyak dan percaya bahwa pertukaran ini akan menambah pengalaman kami. Semua upaya yang dilakukan ECCC sangat mengesankan dan kami belajar banyak hal. Kami akan dapat mengadaptasi apa yang telah kami pelajari ke dalam program kami sendiri di museum,” katanya dalam rilisnya.

Baca juga: Timor Leste: Dili Ingin Mengotomatiskan Uji Tuntas dengan Kecerdasan Buatan

Sesi pelatihan dilanjutkan dengan beberapa pemaparan.

Thaung Socheat, pejabat manajemen senior ECCC, berbicara tentang “proses akuntabilitas dan sisa fungsi ECCC”.

Hang Vannak, kepala Bagian Dukungan Korban (VSS) ECCC, memberikan presentasi rinci mengenai program reparasi, rekonsiliasi dan perdamaian, sementara rekannya dari Pusat Dokumentasi Hukum (LDC) juga memberi penjelasan kepada para peserta mengenai pekerjaan yang sedang berlangsung di pusat tersebut.

Setelah presentasi, delegasi Timor Leste mengunjungi perpustakaan ECCC, serta gudang arsip pusat sumber dayanya.

Tentang DLBPK atau ECCC

Dilansir dari situs resmi Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC), dewan peradilan ini dibentuk untuk mengadili para pemimpin senior Kampuchea Demokratik. Para pemimpin itu dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi sejak 17 April 1975 hingga 6 Januari 1979.

Dasar hukum pembentukan Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia adalah undang-undang yang disahkan pemerintah nasional Kamboja, untuk membentuk pengadilan khusus.

Dikutip dari situs Center for Justice and Accountability, sebelum undang-undang itu disahkan pada 1977, Pemerintah Kamboja meminta bantuan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Bantuan itu ditujukan untuk melakukan pengadilan bagi para pemimpin senior Khmer Merah, yang kemudian membentuk Kampuchea (Kamboja) Demokratik).

Pada 2001, Majelis Nasional Kamboja mengesahkan undang-undang yang membentuk pengadilan, guna mengadili kejahatan berat Khmer Merah pada 1975-1979.

Walau dibentuk untuk mengamankan rakyat Kamboja, pembentukan The Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia, sempat menuai polemik.

Pembentukan dewan ini dianggap melanggar prinsip hukum internasional. Karena PBB sempat dituding mengintervensi Pemerintah Kamboja.

Menurut Mochamad Muafi dalam Efektivitas The Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia dalam Menyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat (2012), pembentukan dewan peradilan ini tidak melanggar hukum internasional. Sebab, mekansime pembentukannya disesuaikan dengan prosedur umum penyelesaian sengketa internasional.

Selain itu, pembentukan Extraordinary Chambers of Cambodia juga difungsikan sebagai bentuk pertanggungjawaban Pemerintah Kamboja dalam melindungi rakyatnya.

Dewan peradilan ini dibentuk berdasarkan perjanjian yang dilakukan Pemerintah Kamboja dengan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), juga hukum kebiasaan internasional yang didasarkan pada asas jus cogens.

Adapun yang dimaksud jus cogens adalah asas dasar hukum internasional yang diakui komunitas internasional, sebagai norma yang tidak boleh dianggap dalam situasi apa pun.

Kesimpulannya, dasar hukum pembentukan Extraordinary Chambers of Cambodia adalah:

  • Perjanjian Pemerintah Kamboja dengan PBB
  • Hukum Kebiasaan Internasional yang menganut asas jus cogens
  • Undang-undang yang dibentuk Pemerintah Kamboja.

(phnompenhpost.com/Kompas.com)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved