Berita NTT
Sedo Uwi Tarian Khas Ngada, Wujud Kebersamaan Selepas Reba
Ia mengatakan, Sedo Uwi semacam seruan tentang Uwi atau ubi itu sendiri. Uwi sebagai makanan yang sangat sakral dan dipuja saat perayaan Reba.
Penulis: Irfan Hoi | Editor: Oby Lewanmeru
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Tarian Sedo Uwi yang berasal dari Kabupaten Ngada, merupakan wujud kebersamaan masyarakat dalam puncak perayaan Reba.
Penulis asal Ngada, Veronika Ule mengatakan, Sedo Uwi sendiri merupakan tahapan puncak selepas acara Reba.
"Itu kebersamaan, dan itu indah. Ini salah satu seni juga. Seni pertunjukan dan seni suara," kata Vero Ule, Sabtu (10/2/2024) saat acara syukuran Reba bagi diaspora Ngada di Kupang.
Dalam tarian Sedo Uwi itu, ada tiga kelompok. Satu kelompok bertugas mengantar syair atau disebut Jara. Kelompok lainnya doa naro sebagai menyambung dan kelompok lainnya lebih besar menyambung dalam polivoni.
Dia mengatakan, lagu yang dinyanyikan sekalipun berbeda syair dan melodi namun tetap satu irama yang sama. Baginya wujud itu menggambarkan keharmonisan bahwa sekalipun berbeda tetapi tetap sama.
Baca juga: Hadiri Syukuran Reba Warga Ngada, Ketua DPRD NTT Sebut Sebuah Ajaran Luar Biasa
Vero Ule menyebut, syair yang diucapkan kebanyakan memuja muji ubi atau uwi. Menurut dia, syair mengungkapkan bahwa, meski ubi itu dicungkil oleh babi hutan, tapi tidak akan habis.
"Uwi itu simbol kehidupan yang tidak punya. Terlalu indah Sedo Uwi itu sebagai tarian," ucapnya.
Tarian Sedo Uwi juga ikut disemarakkan dengan syair berupa sindiran yang tujuan utamanya hanya untuk menghangatkan suasana saat tarian itu berlangsung.
Ia mengatakan, Sedo Uwi semacam seruan tentang Uwi atau ubi itu sendiri. Uwi sebagai makanan yang sangat sakral dan dipuja saat perayaan Reba.
"Uwi makanan yang menghidupkan mereka (leluhur) saat mengembara," katanya.
Ia menerangkan, dalam pengembaraan para leluhur hanya mengandalkan Uwi. Dalam penuturan, kata dia, Tiwalina atau Aimere, orang pertama yang menetapkan perayaan Reba, Siliana Wunga, mulai menanam uwi.
Baca juga: Paulus Bhuja Sebut Reba Bentuk Pendekatan Diri Kepada Tuhan
"Dia yang meletakkan dasar bahwa uwi itu harus terus direvitalisasi. Walaupun sekarang kita jarang. Seperti kami di Jerebu, ubi ditanam hanya untuk Reba, tapi untuk konsumsi itu jarang," katanya.
Namun, di daerah selatan Ngada, uwi masih menjadi makanan wajib warga setempat. Vero Ule mengaku, uwi yang ditanam juga tidak boleh lebih diatas 1000 mdpl. Uwi, kata dia, menjadi sanjungan utama warga Ngada saat Reba.
Akan tetapi, kondisi itu justru berbeda dengan saat ini. Uwi mulai jarang dijumpai sebagai pangan wajib warga Ngada karena pergeseran era. Padahal uwi menjadi tanaman lokal yang sangat bagus.
Vero Ule menjelaskan, tahapan Reba diawali dengan pembersihan tempat acara. Kemudian dilanjutkan dengan acara memercik tanaman dengan air kelapa muda dengan maksud tanaman bisa tumbuh subur.
Adapun miniatur rumah adat yang dibangun di tengah kampung. Biasanya tiap kampung ada sepasang rumah adat sebagi simbol laki-laki dan perempuan. Tiap kampung juga akan memiliki banyak rumah adat berpasangan, mengikut jumlah suku yang mendiami kampung itu.
"Jadi kalau ada pasangan itu ada berapa, itu menunjukkan dalam kampung itu ada berapa suku. Jadi kalau Ngadu dan Paga ada tiga, berati dalam kampung itu ada suku," kata dia.
Setalah dibangun Ngadu dan Paga itu, malamnya akan digelar malam berkumpul keluarga atau masyarakat dan merayakannya di dalam rumah adat. Sao atau rumah yang didalamnya punya banyak keturunan.
Pada malam itu, ibu-ibu akan merayakan di Sao dan laki-laki akan merayakan di rumah adat keturunan ibunya. Dia menegaskan, Siliana Wunga merupakan tokoh yang bagus.
Sebab, upaya leluhur itulah yang membuat warga Ngada hingga kini masih terus berkumpul meskipun hanya satu kali dalam satu tahun. Kebersamaan itu semata sebagai bentuk refleksi bersama.
"Reba itu harusnya kembali ke kampung. Karena kita di Kupang tidak kembali ke kampung maka kita hanya lakukan syukuran. Kita bersyukur saja bahwa kita punya budaya Reba, yang mengumpulkan banyak orang sebagai refleksi bersama," kata dia.
Biasanya Reba mulai dilakukan sejak akhir Desember dan dilanjutkan hingga bulan Maret atau Reba Loga. Setelah itu tidak boleh ada lagi perayaan Reba. Vero Ule berpesan agar generasi Ngada di mana saja untuk pulang kampung merayakan Reba bila ada kesempatan.
"Saya menyarankan agar saat perayaan Reba di kampung, kembali. Supaya tahu rumah adatnya, keturunannya," tegasnya. (fan)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.