Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik Minggu 11 Februari 2024 Berjudul Berlutut di Hadapan Yesus

Sikap berlutut itu membuat diri kita dengan sendirinya merasa kecil dan tak berarti sama sekali

Editor: Edi Hayong
POS-KUPANG.COM/HO
Bruder Pio Hayon SVD menulis Renungan Harian Katolik untuk Hari Minggu 11 Februari 2024 

POS-KUPANG.COM- Renungan Harian Katolik berikut ini ditulis Bruder Pio Hayon SVD mengangkat judul, Berlutut di Hadapan Yesus.

Renungan Harian Bruder Pio Hayon SVD Minggu Hari Biasa Pekan VI merujuk pada Bacaan I, Im. 13: 1-2. 44-46, Bacaan II: 1Kor. 10: 31 – 11: 1, Injil : Mrk. 1: 40-45

Berikut ini teks lengkap renungan yang ditulis, Bruder Pio Hayon SVD.

Saudari/a yang terkasih dalam Kristus

Salam damai sejahtera untuk kita semua. Berlutut di hadapan Tuhan adalah bentuk kerendahan hati saat kita memohon. Sikap berlutut itu membuat diri kita dengan sendirinya merasa kecil dan tak berarti sama sekali.

Sikap berlutut juga sebagai tanda penghormatan yang tinggi kepada orang yang lebih tinggi kedudukannya dan membuat kita merasa begitu bergantung kepadanya.

Dan berlutut juga berarti tanda bentuk permohonan paling radikal karena kita sudah merasa tak sanggup sama sekali dan merasa bergantung sepenuhnya kepada orang lain yakni Tuhan sendiri.

Saudari/a yang terkasih dalam Kristus

Hari ini kita memasuki hari minggu biasa ke VI. Pada hari minggu biasa ke VI ini kita semua diajak pada satu permenungan dan refleksi dengan fokus pada orang kusta. Dalam bacaan pertama kitab Imamat menggambarkan secara terperinci tentang orang kusta.

Dari teks bacaan dari Imamat ini terlihat jelas betapa penyakit kusta itu benar-benar membuat orang terasing dari berbagai aspek karena ada beberapa label yang dikenakan kepada mereka.

Baca juga: Renungan Harian Katolik Sabtu 10 Februari 2024, "Jadi Sandaran Bagi Sesama"

Hal-hal itu antara lain: a) mereka harus dihadapkan ke seorang imam dan “dilegalkan” oleh imam bersangkutan bahwa orang itu sakit kusta dan menjadi najis. ; b) berpakaian cabik-cabik dan rambutnya terurai; c) ia harus menutup mukanya sambil berseru : Najis, Najis; d) ia harus tinggal terasing di luar perkemahan.

Maka dari beberapa label ini akan ada dampak aspek-aspek dalam hidupnya. Secara medis, dia penyakit menular dengan tanda-tanda sakit pada kulitnya maka dia perlu diasingkan. Secara sosial, dia sudah dilabel najis oleh seorang imam maka dia menajiskan orang lain kalau bersentuhan.

Dan dia harus tinggal terisolir di luar perkemahan. Dengan sendirinya dia dikucilkan dari lingkungan sosialnya. Secara psikologis, dia pasti merasa ditinggalkan dan ditolak oleh masyarakat pada umumnya dan keluarga pada khususnya karena harus hidup terpisah dari orang lain.

Dan secara religius, sakit dideritanya dianggap sebagai kutukan dari Tuhan maka sulit disembuhkan. Maka seseorang harus datang ke imam untuk dinyatakan sebagai orang kusta dan menjadi najis atau ketika disembuhkan dia harus melaporkan lagi ke imam juga untuk dinyatakan telah sembuh dan tidak najis lagi oleh seorang imam.

Maka menjadi seorang yang terkena kusta hidupnya akan sangat menderita baik secara, fisik, psikis maupun spiritual. Namun dalam Injil hari ini, orang kusta itu mendapat penyembuhan dari Yesus.

Kehidupannya yang penuh dengan label dan tekanan dari berbagai aspek kehidupan membuat dia sangat ditinggalkan dan ditolak sama sekali. Dia sudah mati terlebih dahulu dalam semua tatanan kehidupan.

Maka ketika bertemu dengan Yesus, orang Kusta itu datang: “berlutut di hadapan Yesus dan memohon bantuanNya; ‘Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku’, dan Yesus tergerak hatinya oleh belas kasihan lalu menjamah orang itu dan berkata: “Aku mau, jadilah engkau tahir”, dan seketika itu juga dia menjadi sembuh.

Dan Yesus berpesan sesuai dengan kitab Imamat itu agar dia harus melaporkan dirinya kepada seorang imam bahwa ia telah sembuh agar cap atau label najis itu bisa ditarik kembali.

Baca juga: Renungan Harian Katolik Sabtu 10 Februari 2024, "Peringatan Santa Skolastika"

Orang kusta yang sudah hidup penuh dengan tekanan itu tak punya pilihan lain selain  datang kepada Yesus untuk “berlutut dan memohon” minta disembuhkan. Dan dia menjadi sembuh dan memuliakan Allah.

Apapun situasi kita, selalu memuliakan Tuhan Kita pun dalam hidup atau bahkan seringkali kita alami begitu banyak masalah dan tekanan dari berbagai aspek kehidupan kita. Semua itu membuat kita merasa terasing dan ditinggalkan atau ditolak baik oleh masyarakat maupun keluarga sendiri. Itu berat dan merasa tertekan.

Maka seperti orang kusta itu, dia datang kepada Yesus dan berlutut untuk memohon penyembuhan. Kita pun demikian, tak ada jalan lain selain datang kepada Yesus dengan sikap “berlutut” tanda kerendahan hati dan kerendahan diri di hadapan Tuhan agar Tuhan tergerak hati oleh belas kasihan kepada kita.

Tapi kadang kita tidak datang kepada Yesus tetapi kepada ‘tuan-tuan’ lain untuk meminta penyembuhan. Untuk kita mari kita belajar dari seorang kusta itu.

Saudari/a yang terkasih dalam Kristus

Pesan untuk kita, pertama: semua kita pasti akan pernah mengalami banyak tantangan dan masalah dalam hidup dan membuat kita tertekan sampai merasa kita ditinggalkan dan ditolak.

Kedua, dalam situasi batas seperti itu kita tak punya pilihan lain kecuali datang dan berlutut di hadapan Tuhan memohon penyembuhan dari padaNya.

Ketiga, bersikap rendah hati di hadapan Allah adalah syarat utama datang kepada Tuhan.(*)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved