NTT Memilih

Jelang Hari Pencoblosan Pemilu 2024, Richard Riwoe Ajak Masyarakat NTT Cerdas Memilih

Jelang Hari Pencoblosan Pemilu 2024, Caleg DPR RI dari PDI Perjuangan, Richard Riwoe Ajak Masyarakat NTT Cerdas Memilih

Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Adiana Ahmad
POS-KUPANG.COM/MICHAELLA UZURASI
POS-KUPANG.COM/Caleg DPR RI dari Partai PDIP, Johanis Richard Riwoe bersama host jurnalis Pos Kupang, Ryan Nong - Jelang Hari Pencoblosan Pemilu 2024, Richard Riwoe Ajak masyarakat cerdas memilih.  

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Michaella Uzurasi

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Calon legislatif (Caleg) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) daerah pemilihan NTT 2, Johanis Richard Riwoe, S.H.,  S.T., M.A., M.H., M.A., mengajak masyarakat provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk cerdas dalam menentukan pilihan saat pemilihan umum (Pemilu) 14 Februari mendatang. 

Hal ini menjadi perhatian Richard lantaran banyak caleg yang meraup suara di NTT tetapi pada akhirnya tidak menyumbang sedikitpun untuk pendapatan asli daerah (PAD) NTT setelah mereka terpilih sebagai wakil rakyat karena mereka bukan penduduk NTT yang membayar pajak di NTT. 

Berikut cuplikan wawancara eksklusif Richard Riwoe bersama host jurnalis Pos Kupang, Ryan Nong dalam Podcast Pos Kupang, Jumat, 09/02/2024. 

Baca juga: NTT Memilih, KPU Kota Kupang Jelaskan Perihal Biaya Hingga Kelengkapan TPS 

Persiapan anda sebagai seorang calon legislatif sampai detik ini seperti apa? 

Kalau persiapan bagi saya maksimal dan cukup memuaskan dan seperti yang saya katakan sebelumnya kerja keras itu tidak akan mengkhianati hasil dan saya berharap di pemilu nanti tanggal 14 Februari, saya maju sebagai caleg DPR RI dari PDIP nomor urut 5, saya berharap bisa keluar sebagai pemenang. 

Di Undang-Undang Pemilu tahun 2022 sampai dengan hari ini masih digunakan, ambang batas parlemen untuk legislatif masih empat persen. Anda sebagai kader PDIP sekaligus Caleg melihat di NTT ambang batas ini bisa dicapai untuk kontribusi ke nasional? 

Jadi parlemen Threshold itu kan batas ambang minimal untuk partai politik khusus DPR RI empat persen, itu di pasal 414 kalau tidak salah, Undang-Undang nomor 7 tahun 2017. Nah sejak kami dulu di UGM, kita bikin legal drafting untuk pemilu 2008 kalau tidak salah, kita menentukan batas ambangnya itu masih 2.5 persen. 

Itu awal ya? 

Itu awal di tahun 2004. 2004 (batas ambangnya) 2.5 lalu 2008 kita mau naikin legal draftingnya, Undang-Undangnya memang waktu itu salah satu ketuanya adalah salah satu guru besar dari UGM. Nah waktu itu memang planning ke depan untuk pemilu nanti diharapkan hanya lima parpol saja yang lolos untuk seterusnya. Jadi, dulu kan ada tiga parpol. PDIP, P3 dan Golkar. Lalu berjalannya waktu menjadi banyak, 2004 itu 39 parpol lalu setelah itu muncul lagi sekian puluh parpol sehingga akhirnya Indonesia ini berkiblat kepada, di Amerika itu kan hanya dua parpol. Demokrat dan Republik. Tapi bukan hanya dua parpol. Masih banyak parpol sebenarnya tapi parpol yang selalu lolos dalam pemilu untuk pemilu berikut hanya dua parpol karena ada ambang batas. Itu dilakukan supaya yang pertama, nanti DPR tidak susah mengambil keputusan karena tidak terlalu banyak parpol. Yang kedua, keterwakilan di seluruh Indonesia itu harus ada. Jadi kalau dulu, partai yang paling kecil, kalau tidak salah, 2004 itu PDS, dia hanya 11 kursi DPR sehingga keterwakilan kalau mengacu pada sila lima Pancasila itu kan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jadi kedepan itu saya yakin akan dinaikkan lagi menjadi 4.5 persen supaya partai yang duduk di DPR itu tidak akan banyak, supaya kalau ngambil keputusan itu gampang, kedua, ada keterwakilan. Kalau 4 persen itu artinya dari 34 provinsi hanya 23 kursi, berarti ada 20 kursi yang mewakili provinsi lain yang tidak bisa duduk sehingga keterwakilan itu perlu. Dalam pemilu kali ini 4 persen, kalau saya tinjau dari hasil survey dari LSI dari Desember sampai Januari tanggal 9, partai PDIP menduduki peringkat yang paling tinggi, 20 persen. Kemudian diikuti oleh partai-partai lain seperti partai PKB, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai PKS, Partai Demokrat hampir-hampir tidak lolos karena dia posisi 4.6 persen, demikian juga PAN, 4.2 persen. Kalau lihat dari posisi ini, partai yang tidak lolos itu P3, PSI, Partai Perindo, Partai Hanura, Partai Ummat, Partai Gelora, Partai Buruh, PBB, Partai Garuda, PKN dan seterusnya. Jadi kalau lihat survey ini ada kurang lebih enam partai yang lolos ambang batas Parlemen Threshold 4 persen. 

Baca juga: NTT Memilih, KPUD Ende Koordinasi dengan Keuskupan Agung Ende Bahas Soal Hari Pemungutan Suara

Jadi pesan untuk pemilih, apalagi misalnya basis-basis suara seperti PDIP itu harus lebih banyak ya? 

Iya. Jadi, saran saya kepada seluruh masyarakat NTT baik di dapil 1 dapil 2 NTT, saran saya memilih partai yang sudah pasti akan lolos parlemen threshold, memilih calegnya. Karena begini, contoh ada fakta yang terjadi di NTT, pak Ibrahim Medah periode lalu, dapat banyak suara saya dapat informasi itu ratusan ribu, tapi kan tidak bisa duduk dan pemilih yang mencintai dia kan mubazir suaranya. Ibaratnya buang ke laut. Bukan hanya keterwakilan, suaranya sia-sia karena orang yang didukung tidak bisa lolos karena partainya tidak lolos parlemen threshold. Sehebat apapun partainya kalau dia tidak lolos parlemen threshold ya sia-sia. Jadi dalam kesempatan ini saya mau menberitahukan kepada masyarakat NTT, baik-baiklah membaca data hasil survey. Survey ini kan dilakukan secara nasional dan kenapa demikian? Supaya partai itu lebih banyak berjuang untuk kepengurusannya sampai ke tingkat bawah. Contohnya di Sabu itu banyak yang tidak ada calegnya, kosong. Di surat suara itu akan kosong karena tidak ada calegnya. Ada beberapa partai, saya tidak etis untuk menyebutkannya tetapi bagi saya, itu ketika saya lihat datanya, itu banyak juga partai di Kabupaten Sabu Raijua yang tidak ada calegnya. Dengan demikian dia tidak punya pengurus. Dari situ kita bisa mengukur parameter bahwa partai ini hampir pasti tidak lolos parlemen threshold. Jadi kalau kita milih seseorang lalu partainya tidak lolos ya percuma. 

Bagaimana anda melihat konstelasi untuk pemilu 2024 berdasarkan data 2019? 

Jadi begini. 2019 itu menjadi parameter untuk 2024. 2019 itu kalau saya lihat, kalau saya kategorikan, ada empat jago caleg, ibaratnya dia punya dana, dia punya kemampuan untuk mendapatkan suara. Entah dengan cara membeli suara atau dengan cara nipu-nipu saya tidak tahu. Ataupun dengan cara murni dia dapat suara. Saya dapat informasi dari orang yang melakukan eksekusi, ada dua caleg yang waktu itu mengambil suara dari partai kecil yang tidak punya saksi. Lalu setelah itu dia bakar KPUDnya. Ada di Sumba, caleg DPR RI. Jadi saya menganjurkan bahwa orang-orang begini jangan dipilih lagi. Sudah pasti dia tidak akan berbuat banyak untuk NTT. Nah dulu ada empat jagoan. Tapi kali ini banyak. Kalau saya bisa runut, dari partai PDIP itu uang benar-benar fight ada tiga, Golkar juga ada tiga, Demokrat ada dua.

Ini untuk dapil NTT 2 ya? 

Iya. Untuk caleg DPR RI dapil NTT 2. Nah dari partai Gerindra ada tiga jagoannya. Mereka ini gempur habis-habisan.

Dari Nasdem juga ada tiga jadi setiap partai besar yang saya lihat ada tiga-tiga. Jadi parameter yang dulu bisa turun.

Belum lagi ada PSI walaupun kalau dilihat dari fakta hampir pasti tidak akan lolos parlemen threshold.

Demikian juga Perindo. Perindo juga ada tiga caleg yang memang kencang berlari.

Ada Partai Demokrat yang memang kencang bermain, Partai Nasdem, Partai PKB juga ada kurang lebih tiga caleg yang memang mereka fight. Saya tidak perlu sebutkan namanya.

Terus Partai Golkar, Partai Gerindra, PSI ada, yang lain kurang begitu terlihat, Perindo ada. Jadi dengan kekuatan financial mereka bermain bahkan kemarin beberapa waktu lalu salah satu partai yang balihonya paling banyak itu ketangkap di Penfui beras plus satu juta rupiah mereka beli paket suara Kota Kupang, Caleg Provinsi dan DPR RI.

Transaksi, sudah ditangkap tapi hanya ditegur dan disanksi dari Bawaslu.

Terus kedua, salah satu anak, dulu orang tuanya caleg sekarang tidak maju, itu di Soe.

Dapat juga, masih teguran. Saya berpikir, kalau dia membeli suara satu juta untuk caleg DPR RI aman lolos, orang itu setidaknya dapat 60.000 suara untuk dia sehingga kalau akumulasi dari caleg plus yang coblos partai, hampir pasti dia dapat duluan karena dia dapat lebih banyak kurang lebih segitu, itu dia aman untuk duduk.

Nah kalau kita patokan dia beli suara satu juta rupiah, kali 60.000 suara kan sudah 60 miliar.

Anggota DPR RI itu kan gajinya 334 juta kurang lebih per bulan. Kalau lima tahun kali dua belas bulan itu ketemunya sekitar 20-an M. Menjadi tidak rasionalnya besar pasak daripada tiang kan?

Orang kenapa pingin jadi DPR RI, mengeluarkan uang tiga kali lipat padahal gajinya 20-an M itu tidak termasuk yang dipotong partai, tidak termasuk makan minum selama lima tahun. Itu saja sudah tidak mencukupi biaya kampanye 60 miliar.

Jadi masyarakat ini seharusnya juga mulai memilih cerdas, yang pertama, ini dia balihonya banyak.

Mulai dari kecil-kecil sampai ke pelosok-pelosok lalu dia bagi uang karena setelah saya terlusuri sampai ke pelosok-pelosok itu ada balihonya.

Di Kota Kupang ini besar-besar tapi kalau di kampung itu kecil-kecil ukuran 1x2, 1x1, itu sampai ke pelosok yang tidak ada baliho caleg lain, ada dia. 

Saya pikir anggaran yang dikeluarkan ini bisa diatas lima miliar.

Nah kalau anggaran sebesar itu kan sudah seperempat gajinya selama lima tahun tanpa dipotong satu rupiah pun lalu ketika dia lagi bagi uang itu kan bisa hampir seratus miliar.

Dari mana dia dapat uang? Berarti berangkat niatnya ini sudah jelek.

Kalau dia menghamburkan uang lalu dia duduk di sana, kemungkinan besar NTT tidak lagi dia peduli karena dia akan fokus cari uang untuk menggantikan biaya yang sudah keluar sepanjang kampanye ini.

Saya pikir kalau dia melakukan itu, saya menyarankan kepada masyarakat NTT, orang kayak begini harus dikasih pelajaran.

Terima duitnya tidak usah pilih orangnya supaya dia kapok, karena yang jadi masalahnya adalah, kalau orang seperti ini bermain, besok, kemudian hari, anak cucu kita pintar, punya skill, punya pengetahuan, dia cerdas, punya kemampuan jadi pemimpin, sudah dibunuh oleh orang-orang seperti ini karena sudah terbangun image di masyarakat bahwa kalau kamu maju, berani bayar berapa?

Nah ketika nanti anak cucu kita mau maju, dia punya kemampuan, tidak punya uang, tidak mungkin lagi.

Akhirnya pola ini menjadi suatu mata rantai setan, mata rantai penjahat, supaya tidak ada lagi orang-orang pintar yang duduk di sana. 

Contoh, sekarang banyak caleg anak muda yang baru lulus. Kita tidak mengesampingkan anak-anak millennial. Bagus.

Asal dia punya pengalaman karena ketika dia duduk di DPR, dia mewakili lima juta penduduk NTT, untuk mengelola uang billion, bukan triliun lagi.

Nah ketika dia tidak bisa mengelola kan dampaknya kita lima juta orang termasuk saya juga kan. Jadi itu yang masyarakat pemilih cerdas harus melihat ke sana.

Bahwa kalau dia salah memilih, dampaknya ke kita. Itu ibaratnya anak usia sepuluh tahun kita kasih mobil lalu kita jadi penumpangnya, jadi apa kita di belakang ini.

Bahaya kan? Jadi itu saya bilang, anak millennial boleh tapi punya pengalaman dong mengelola uang. Jadi ketika dia selama kuliah, ini kan banyak anak muda latar belakang orang kaya, sekolah dibiayai orang tua, lulus masih bergantung sama orang tua karena tinggal sama orang tua.

Nah ketika dia duduk, pegang uang billion, ini mengatur NTT ini triliun setiap tahun, dia bisa mempertaruhkan nasib kita di sana kan? Itu menjadi taruhan.

Jadi ada beberapa hal yaitu parlemen threshold, yang kedua, yang kita pilih ini bisa mewakili kita lima juta penduduk untuk merubah NTT jadi lebih baik, yang ketiga, dia ini apakah punya pengalaman atau tidak, yang keempat, ada lagi yang lebih penting,

semua masyarakat bisa buka di Google lalu ketik caleg DPR RI dapil NTT 2. Coba lihat.

Caleg-caleg yang balihonya banyak itu mereka KTPnya mana? Karena ini saya pembayar pajak yang cukup besar juga di NTT sebagai lawyer.

Dulu KTP saya Jogja, ketika saya bayar pajak ke Jogja, saya berpikir lebih baik saya bayar pajak ke NTT supaya menaikkan pendapatan asli daerah, salah satunya dari pajak. Ini malah caleg DPR RI yang dulu KTP Kupang ketika jadi caleg DPR RI, KTPnya pindah Jakarta.

Sekarang kan KTP itu identik dengan nomor wajib pajak.

Berarti kan dia bayar pajak ke Jakarta. Padahal yang kasih suara kan kita. Lho kamu harus kasih kontribusi pajak ke NTT dari hasil gajimu yang kita pilih. 

Jadi setelah ambil suara bayar pajaknya ke Jakarta? 

Ke Jakarta. Nah ketika ada potong pajak ke Jakarta, Jakarta yang dapat. Lho dia wakilnya kita lalu kita dapat pajak dari dia apa? Itu yang jadi taruhan karena kita pemilih cerdas ini jangan dibodoh-bodohin juga lah.

Sudah sekian tahun kita dibodoh-bodohin caleg-caleg impor ini mereka kita kasih suara lalu bayar pajak ke Jakarta.

Lah uang ini kan kita rebut dari Jakarta, ini dia taruh uangnya ke Jakarta baru kita rebut lagi.

Sama seperti produk jins saya temukan di Bandung. Produk jins ini dijual di Jepang, teman saya beli di Jepang untuk bawa oleh-oleh buat saya. Setelah saya lihat label belakangnya, made in Bandung.

Waduh kenapa beli di Jepang di Bandung sini bisa dibeli. Jadi itulah beberapa kali pemilih di NTT ini kurang mendapat pemahaman bahwa kamu salah milih lho ini. Coba lihat data, buka di Google caleg DPR RI dapil NTT 2.

Kalau dia tertulis Kota Administrasi Jakarta berarti dia KTP Jakarta. Nah kalau dia KTP Jakarta berarti dia bayar pajaknya ke Jakarta bukan ke Kupang, bukan ke NTT. Lalu buat apa kita kasih suara, dia bayar pajaknya bukan menaikkan PAD NTT tapi menaikkan PAD Jakarta.(uzu)

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved