Destinasi Wisata
Atraksi Pasola Sumba Barat: Dari Tragedi Kawin Lari ke Tradisi Perang Damai
Masyarakat Marapu Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), akan kembali menggelar pesta budaya tahunan Pasola tahun 2024.
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Masyarakat Marapu Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), akan kembali menggelar pesta budaya tahunan Pasola tahun 2024.
Ada tiga pesta adat Pasola di Sumba Barat, yakni Pasola Lamboya. Untuk tahun 2024, Pasola Lamboya akan digelar di lapangan pasola Haronakala di Kecamatan Lamboya pada tanggal 6 Februari 2024.
Seperti biasanya setelah Pasola Lamboya diikuti Pasola Wanukaka di Kecamatan Wanukaka dan terakhir Pasola Gaura di Kecamatan Lamboya Barat.
"Ritual dan atraksi Pasola biasa berlangsung setiap tahun dimana waktu pelaksanaannya ditentukan para rato adat setiap wilayah pelaksanaan pasola," ujar Kepala Dinas Pariwisata Sumba Barat, Charles Herman Weru, S.Sos, Rabu 24 Januari 2024.
Merujuk website Pemerintah Kabupaten Sumba Barat sumbabaratkab.go.id, Pasola berasal dari kata sola atau hola yang berarti kayu lembing.
Dalam konteks ritual, pasola merupakan tradisi perang adat yang mana dua kelompok penunggang kuda saling berhadapan, kejar-mengejar seraya melempar lembing kayu ke arah lawan.
Pasola diselenggarakan sekali dalam setahun yaitu pada permulaan musim tanam, tepatnya pada bulan Februari di Kecamatan Lamboya serta bulan Maret di Kecamatan Wanokaka dan Laboya Barat/Gaura.
Sama halnya dengan upacara Bijalungu Hiupaana, tanggal pasti perayaan pasola ditentukan oleh para rato berdasarkan perhitungan bulan gelap dan bulan terang serta dengan melihat tanda-tanda alam.

Satu bulan sebelum pasola seluruh warga harus mematuhi sejumlah pantangan antara lain tidak boleh mengadakan pesta, membangun rumah dan sebagainya.
Upacara Pasola terkait dengan persiapan pengerjaan lahan serta adanya anggapan tentang percikan darah yang mempunyai kekuatan magis menyuburkan dan menghidupkan.
Anggapan tersebut, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ada hubungannya dengan konsep kejadian yang oleh Gregory Forth (1983) dikatakan terkait kehidupan janin dalam kandungan yang mendapatkan daya hidup dari darah ibu yang dialirkan melalui tali pusat.
Oleh karena itu darah atau sesuatu yang menyerupai darah dipandang mempunyai kekuatan sakti menyuburkan dan menghidupkan.
Tragedi Cinta Segi Tiga
Menurut legenda setempat, pasola merupakan klimaks dari sebuah tragedi cinta segi tiga. Alkisah, berabad-abad silam di kampung Weiwuang hidup tiga bersaudara: Ngongu Tau Matutu, Yagi Waikareri dan Ubu Dula. Ketiganya telah menikah dan si bungsu Ubu Dulla
memperistri seorang wanita cantik bernama Rabu Kabba.
Suatu hari ketiganya turun ke laut untuk mencari ikan yang memang merupakan mata pencaharian mereka, namun tanpa sepengetahuan para istri dan warga Weiwuang mereka terus berlayar hingga ke Muhu Karera, sebuah negeri yang terkenal makmur untuk mengadu nasib.
Hari demi hari terus berlalu. Sewaktu mereka tak kunjung pulang, warga yang cemas pun mencari kian kemari. Namun sia-sia, ketiganya bak’ hilang tertelan lautan.
Warga Weiwuang yakin mereka telah meninggal dan Rabu Kabba pun dilanda kepedihan tak terperi. Tapi di sisi lain, batinnya menolak percaya Ubu Dulla telah meninggal dan setiap ada kesempatan ia selalu pergi ke tepi pantai dengan harapan suatu hari kelak akan melihat perahu yang membawa suaminya kembali pulang.
Akhirnya harapan Rabu kabba terwujud juga. Suatu hari, sebuah perahu benar-benar muncul dari batas cakrawala tapi yang datang bukan Ubu Dulla, melainkan seorang pemuda lain bernama Teda Gaiparona.
Rabu Kabba menjalin persahabatan dengan pemuda asal Kodi itu dan lama kelamaan keduanya saling jatuh cinta. Karena adat yang ketat cinta mereka sulit terwujud sehingga keduanya memutuskan untuk kawin lari.
Bersamaan dengan itu, Ngongu Tau Matutu, Yagi Waikareri dan Ubu Dulla tiba-tiba muncul kembali di Weiwuang. Warga menyambut mereka dengan penuh suka cita namun mendung duka tak dapat dibendung tatkala Umbu Dulla mendengar berita tentang istrinya yang telah kabur bersama pria lain.
Demi menegakkan kehormatan, dengan ditemani sejumlah warga Weiwuang, Ubu Dulla pergi mencari keduanya.
Pencarian mereka akhirnya membuahkan hasil namun saat melihat Rabu Kabba, Ubu Dulla sadar cintanya ternyata belum hilang. Ia mengajak Rabu Kabba pulang bersamanya, tapi Rabu Kabba yang merasa telah ternoda menolak untuk kembali.
Hati Ubu Dulla terasa nyeri, tapi bukannya membalas dendam ia malah merelakan istrinya dibawa pergi, asalkan Teda Gaiparona mau menikahinya secara resmi dan membayar sejumlah belis (mas kawin) pengganti seperti yang dulu pernah diberikan Ubu Dulla saat meminang Rabu Kabba.
Demikianlah, belis pun dibayarkan dan sebagai penghormatan terhadap kebesaran jiwa Ubu Dulla, keluarga Teda Gaiparona juga memberikan sebungkus nyale hidup, yaitu cacing laut warna-warni yang kemunculanya merupakan pertanda kemakmuran. Kemakmuran yang berusaha dicari Ubu Dulla sampai ke Muhu Karera sehingga akhirnya harus kehilangan istri yang begitu ia cintai.
Kedua pihak juga sepakat untuk selalu menyelenggarakan Pasola, ritual perang adat menggunakan tombak kayu yang didedikasikan untuk mengenang kejadian itu. Kejadian yang jika tidak mereka selesaikan dengan arif, bisa jadi telah memicu terjadinya perang sungguhan antara dua keluarga besar yang pastinya bakal memakan banyak korban.
Darah yang tumpah saat Pasola bukanlah darah yang sia-sia karena tiap tetesnya dipecaya turut menyumbangkan kesuburan bagi bumi.
Kronologi Ritual
Seperti Bijalungu Hiu Paana, penyelenggaraan Pasola didahului oleh serangkaian ritual yang berhubungan. Lain lokasi dan penyelenggara, lain pula ritualnya.
Yang paling lengkap adalah ritual-ritual yang dilaksanakan di wilayah Wanokaka, yang kami ambil sebagai contoh berikut ini:
1. Purung Laru Loda
Secara harafiah purung laru loda berarti menurunkan tali larangan, dan itulah yang pertama kali dilakukan oleh para Rato di kampung-kampung penanggung jawab Pasola yaitu Waigalli, Ubu Bewi, Lahi Pangabang, Prai Goli dan Puli.
Purung Laru Lado merupakan pertanda dimulainya Wulla Biha atau bulan pamali dengan sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh seluruh warga masyarakat.
2. Penentuan Waktu
Penentuan waktu penyelenggaraan pasola dilakukan bertepatan dengan munculnya purnama raya. Dasar utama perhitungan ini adalah
bentuk bulan, yang didukung oleh kemunculan tanda-tanda alam seperti mekarnya bunga katina, babi hutan membuat sarang, pasang surut air laut dan sebagainya.
Karena terkait dengan pemunculan nyale sebagai indikator hasil panen yang hanya terjadi setahun sekali, maka penentuan waktu menjadi sangat vital. Perkiraan mungkin bisa dilakukan jauh hari, tapi tanggal pastinya tidak.
Para Rato sangat berhati-hati membaca tanda alam karena salah menentukan tanggal berarti nyale tak akan muncul pada waktunya, dan bagi mereka hal demikian bisa dianggap sebagai kesialan.
3. Pati Rahi (?)
Ini adalah konsep empat hari yang sama seperti pada Bijalungu Hiu Paana: empat hari menjelang puncak perayaan yang diisi ritual-ritual penting.
Di hari pertama, para rato dari kampung Waigalli (yang dalam ritual ini berperan sebagai kabisu Ina-Ama) mengadakan perkunjungan ke Waiwuang, Praigoli dan Lahi Majeri untuk melihat persiapan-persiapan yang telah dilakukan menjelang hari H.
Pada Hari kedua, sebuah permainan tinju tradisional (Pakujil) diselenggarakan di pantai Teitena, yang menurut legenda adalah lokasi tempat terdamparnya Ubu Dulla bersaudara.
Hari ketiga merupakan hari padat kegiatan, ritual-ritualnya terus bersambung hingga atraksi puncak pada hari keempat.
Ritual hari ketiga dimulai dengan Palaingu Jara yang berarti melarikan kuda, semacam ajang pemanasan bagi kuda-kuda dan para ksatria yang akan berlaga besok.
Malam harinya semua rato penyelenggara Pasola berkumpul di Ubu Bewi untuk melakukan serangkaian ritual dan pemujaan, antara lain Kajalla, ritual pertanggungjawaban yang disampaikan dalam bentuk pantun tanya jawab oleh seluruh kabisu penyelenggara Pasola.
Ada pula penyembelihan sejumlah ayam sebagai media untuk meramalkan kejadian-kejadian yang bakal terjadi saat pasola berlangsung.
Dan sekali lagi: mengamati bulan, yang kali ini muncul sempurna sebagai pertanda final datangnya Nyale dan Pasola. Acara ditutup sekitar pukul 3 dini hari dengan penabuhan tambur suci sebagai tanda pasola telah menjelang dan ketupat adat sudah boleh dimakan (nganang katupat).
4. Madidi Nyale
Ritual yang secara harafiah berarti memanggil nyale ini berlangsung di pantai Wanokaka pada hari keempat Pati Rahi. Ritual dimulai sesaat sebelum fajar setelah rombongan Rato selesai melakukan ritual di Ubu Bewi dan beriringan menuju pantai untuk memimpin upacara.
Para warga dan wisatawan juga ikut berburu nyale, cacing laut warna-warni yang selain sedap dijadikan kudapan juga menjadi indikator
hasil panen.
Nyale yang banyak dan bersih berarti panen melimpah. Nyale kotor dan saling menggigit berarti ada hama tikus. Nyale busuk berarti hujan berlebihan (sehingga padi bisa busuk). Nyale tidak muncul berarti kemarau panjang (bisa menyebabkan musibah kelaparan).
5. Pasola
Atraksi Pasola diselenggrakan secara berurutan di dua tempat berbeda. Yang pertama di pantai Wanokaka setelah Madidi Nyale. Yang kedua di arena utama Kamaradena dari pukul 09.00 hingga menjelang siang.
Pasola adalah pertarungan antara dua kubu, dan sebagaimana layaknya pertarungan, pesertanya tidak dibatasi. Masing-masing kubu menggunakan taktik tersendiri dan berusaha keras menjatuhkan pihak lawan.
Seringkali ada yang terluka bahkan ada juga yang meninggal, tapi sportivitas tetap dijunjung tinggi.
Ada aturan tak tertulis bahwa dendam tak boleh dibawa keluar arena, membalas boleh saja tapi tunggu pasola berikutnya.
Darah yang tumpah juga dianggap sebagai pertanda positif bahwa panen akan berlimpah.
Akar Pasola yang tertanam jauh dalam budaya masyarakat Sumba Barat menjadikan Pasola tidak sekadar keramaian semata.
Pertama ia adalah kultus religius, suatu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada roh-roh leluhur.
Kedua, merujuk legendanya, pasola merupakan suatu bentuk penyelesaian krisis suku melalui `bellum pacificum’ atau perang damai dalam sebuah ritual adat.
Ketiga, sebagai perekat jalinan persaudaraan. Permainan jenis apa pun termasuk Pasola selalu menjadi sarana sosial ampuh. Apalagi
bagi kabisu-kabisu yang terlibat langsung. Selama pasola berlangsung semua peserta, kelompok pendukung, maupun wisatawan diajak bersorak, tertawa dan bergembira bersama, karena itulah pasola menjadi terminal pengasong keseharian penduduk dan tempat menjalin persahabatan dan persaudaraan.
Pasola ricuh
Tapi, pernah terjadi Pasola yang merupakan perang damai malah ternoda ketika terjadi kericuhan di antara kedua kelompok yang bertanding.
Seperti dilansir dari kompas.com, atraksi budaya Pasola yang dihadiri ribuan warga dan peserta di Lapangan Kamara Dena Lahihagalang, Desa Waihura, Kecamatan Wanukaka, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (13/3/2023), berujung ricuh. Akibatnya, dua warga setempat terluka akibat terkena lemparan batu.
"Kejadiannya kemarin siang sekitar pukul 11.30 Wita," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah NTT Komisaris Besar Ariasandy, kepada Kompas.com, Selasa (14/3/2023).
Ariasandy menjelaskan, permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas kuda itu mulai digelar pada Senin pukul 04.00 Wita.
Acara diawali dengan ritual pemanggilan nyale (cacing laut) di Pantai Pahiwi oleh Rato atau tokoh adat di Sumba Barat.
Selanjutnya dilaksanakan Pasola Pantai sebagai simbol dimulainya atraksi Pasola. Pelaksanaan Pasola Pantai, berlangsung sekitar pukul 09.00 Wita.
Rato bersama peserta atraksi Pasola kemudian bergerak menuju Lapangan Kamara Dena Lahihagalang tempat dilaksanakannya atraksi Pasola.
Sekitar Pukul 10.00 Wita, Rato bersama peserta atraksi Pasola tiba di lokasi kegiatan. Kegiatan atraksi pasola itu kemudian dibuka Wakil Bupati Sumba Barat John Lado Bhora Kabba. Wakil Bupati menyampaikan pesan keamanan dan ketertiban masyarakat kepada seluruh peserta atraksi dan juga penonton yang hadir.
Ritual adat kembali digelar di lapangan Pasola oleh Para Rato dengan saling berbalas syair adat. "Usai pelaksanaan ritual adat pembuka, atraksi Pasola pun dimulai," kata Ariasandy.
Terdapat dua kelompok penunggang kuda atraksi Pasola, yakni pada sisi kanan tribun dari kelompok Wanukaka Atas dan dari sisi kiri tribun Kelompok Wanukaka Bawah.
Awalnya, pelaksanaan atraksi Pasola berjalan aman dan lancar. Kedua kelompok saling beradu ketangkasan dengan menunggang kuda dan saling melempar tombak yang terbuat dari ranting kayu maupun rotan, hingga pukul 11.30 Wita.
Namun, pelaksanaan atraksi Pasola dihentikan akibat kericuhan antardua kelompok peserta atraksi dan para pendukung masing-masing kelompok.
"Kericuhan tersebut dipicu karena adanya aksi provokasi dari salah satu peserta atraksi kelompok Wanukaka Bawah," ungkap Ariasandy.
Ariasandy menyebut, Kapolres Sumba Barat bersama seluruh personel pengamanan yang terlibat segera melokalisasi dan menghalau peserta aksi, melalui tindakan preemptif.
Kapolres, lanjut dia, juga mengimbau kedua kelompok untuk tetap tenang dan kembali ke posisi masing-masing.
"Atas kejadian tersebut terdapat dua orang penonton mengalami luka pada bagian kepala dan segera dilakukan tindakan medis, diduga akibat terkena lemparan batu," kata Ariasandy.
Selanjutnya Rato bersama Pemerintah Daerah Sumba Barat menghentikan dan mengakhiri pelaksanaan atraksi Pasola, untuk mengantisipasi kericuhan yang lebih besar.
"Kapolres mengimbau kepada seluruh masyarakat yang hadir untuk kembali ke rumah masing-masing," ujar Ariasandy.
Sebelumnya, kericuhan serupa juga terjadi pada Februari 2023 lalu. Pasola yang dihadiri ribuan warga dan peserta di Lapangan Hobakala, Desa Patila Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (16/2/2023), berujung ricuh.
"Atraksi Pasola dimulai pukul 08.30 Wita dan ricuh pukul 10.20 Wita," ungkap Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah NTT Komisaris Besar Polisi Ariasandy, kepada Kompas.com, Jumat (17/2/2023).
Untuk penyelenggaraan Pasola 2024, kiranya maksud baiknya dihayati oleh siapa pun yang terlibat sehingga pasola benar-benar menjadi atraksi perang damai, bukan perang yang membawa kericuhan.
Selamat berkunjung dan menyaksikan Pasola Sumba Barat 2024.
Nonton atraksi pasola di sini
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.