Pilpres 2024

Bivitri Susanti Kuliti Presiden Jokowi: Memang Tak Mudah Biarkan Anak Bertarung Sendirian

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti melontarkan pernyataan pedas ke Presiden Jokowi soal pejabat boleh berkampanye termasuk presiden.

Penulis: Frans Krowin | Editor: Frans Krowin
ISTIMEWA/POS-KUPANG.COM
MEMANG SULIT – Bivitri Susanti mengeritik Presiden Jokowi. Dia menyebutkan, sangat sulit kalau membiarkan seorang anak bertarung sendirian, apalagi dalam politik. Makanya, politik dinasti itu tidak dibolehkan. 

POS-KUPANG.COM – Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti melontarkan pernyataan pedas ke Presiden Jokowi soal pejabat boleh berkampanye termasuk presiden, karena hal itu diatur dalam undang undang.

Dia menyebutkan bahwa pernyataan Jokowi tersebut sangat kontraproduktif. Hal itu juga bertentangan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya bahwa presiden akan netral dan meminta seluruh jajarannya netral terutama dalam menghadapi Pemilu 2024.

Untuk diketahui, dalam Pilpres 2024 ini, Putra Sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto yang adalah calon presiden dalam Pilpres 2024.

"Perubahan sikap ini membuktikan dengan semakin jelas betapa pentingnya larangan politik dinasti dan nepotisme dalam pemilihan umum. Karena tidak mudah bagi presiden Jokowi bersikap netral ketika anaknya bertarung dalam pemilihan presiden," tandas Bivitri Rabu 24 Januari 2024.

Saat itu Bivitri pun menguliti Presiden Jokowi dengan menyebutkan bahwa seluruh pejabat negara harus sadar bahwa turut berkampanye merupakan hal yang melanggar prinsip keadilan dalam pemilu.

“Pemilu kita itu berasaskan Langsung Umum Bebas Rahasia, Jujur, dan Adil, (Luber dan Jurdil) sebagaimana diamanatkan Pasal 22E UUD 1945,” ujarnya.

Tapi kalau pejabat negara (presiden, menteri, kepala-kepala daerah), akan berkampanye, maka bisa mempengaruhi keadilan Pemilu melalui dua hal, yakni fasilitas, seperti kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi serta protokoler pejabat. Kedua, sebagai pemegang kekuasaan akan memengaruhi netralitas birokrasi dan mengarahkan pemilih. 

Bivitri menyebutkan bahwa keberpihakan presiden dan pejabat negara lainnya, bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

"Perlu dibedakan antara 'berpolitik' dan 'berkampanye'. Presiden berhak berpolitik, tetapi ia tidak diperbolehkan untuk berkampanye," ungkapnya.

Menurutnya, perdebatan bisa dilakukan terhadap bunyi norma pasal-pasal dalam pemilu. Namun, UU Pemilu harus pertama-tama diletakkan dalam konteks asas-asas pemilu dalam UUD 1945, yaitu Luber Jurdil dengan penekanan pada aspek keadilan.

UU Pemilu mengandung banyak kelemahan karena selain proses legislasi mengandung kepentingan politik, norma hukum juga akan dibuat berdasarkan kasus empirik.

Sedangkan, tambahnya, nepotisme dan politik dinasti yang demikian parah serta 'cawe-cawe' politik yang dilakukan tanpa etik dan rasa malu, baru terjadi pada masa pemerintahan Jokowi.

"Pernyataan Jokowi yang seakan memberi landasan hukum bagi sesuatu yang sebenarnya tidak etik dan melanggar asas keadilan dalam Pemilu sesungguhnya juga merupakan tindakan inkonstitusional karena melanggar asas Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 " jelasnya.

Lebih lanjut, kata Bivitri, seharusnya sebagai presiden, Jokowi harus membiarkan semua berproses sesuai aturan main yang ada, tanpa perlu membuat pernyataan yang membenarkan perilaku yang melanggar etik dan hukum. 

"Biarkan lembaga-lembaga yang berwenang menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang, presiden tidak patut membuatkan justifikasi apapun, termasuk bagi dirinya sendiri," ucapnya.

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved