Wawancara Eksklusif

Wawancara Eksklusif dengan Savic Ali: Suara Nahdliyin jadi Penentu Kemenangan

Savic Ali tidak memungkiri bahwa suara Nahdliyin berpengaruh terhadap kemenangan pasangan calon presiden di Pilpres 2024.

Editor: Alfons Nedabang
TRIBUNNEWS.COM
Savic Ali 

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Direktur Komunikasi Online Tim Mahfud MD (MMD), Savic Ali tidak memungkiri bahwa suara Nahdliyin berpengaruh terhadap kemenangan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di Pilpres 2024.

Hal itu menurutnya sudah terbukti dalam berbagai gelaran pilpres termasuk Joko Widodo dan Maruf Amin yang berhasil mengambil suara Nahdliyin pada 2019.

"Kalau tanpa mesin NU di tempat-tempat itu Jokowi akan kalah atau mungkin tergantikan oleh kandidat lain. Kedua memang Nahdliyin itu jumlah warganya banyak sekali walaupun jumlah warga NU yang puluhan juta, dan ada survei kalau dihitungkan jumlahnya ada 90 juta," kata Savic Ali saat podcast di Gedung Tribun Network, Palmerah, Jakarta, Kamis (30/11/2023).

Dia menilai kemenangan Jokow-Maruf di Pilpres 2019 benar-benar efek jejaring sosial NU.

Terlebih diketahui bahwa Maruf Amin memiliki karakter yang tidak turun ke grass root tetapi dia memiliki suara Nahdliyin yang cukup besar yang tidak dimiliki Jokowi.

Savic menuturkan hal ini juga sama seperti Mahfud MD yang berasal dari dunia pesantren dan memiliki jaringan suara Nahdliyin yang luas.

Suara Nahdliyin menjadi perebutan seperti halnya capres Prabowo Subianto yang kerap kali berkunjung ke pesantren NU di Jawa Timur.

"Di mana suara NU itu mengarah, ya kandidat itu kemungkinan akan punya kans memenangi Pilpres yang lebih besar ketimbang yang tidak bisa dapat dukungan," imbuh Savic.

Simak lanjutan wawancara News Manager Tribun Network Rachmat Hidayat dengan Savic Ali:

Menurut Anda sebagai aktivis dan sebagai seorang anak muda Nahdliyin. Apakah suara Nahdliyin ini menjadi penentu dalam setiap pertarungan lima tahunan?

Kalau kita lihat 2019 iya bahwa Nahdliyin penentu bagaimana Jokowi dan kyai Maruf memenangi Pilpres. Padahal kita tahu mungkin bahwa Kyai Ma'ruf juga bukan tipe orang yang biasa jalan ke grass root.

Jadi yang bekerja 2019 benar-benar mesin dan jejaring sosial NU di situ. Saya kira yang menyumbang kemenangan dari Jokowi-Ma'ruf karena kan enggak semua tempat berdasarkan waktu itu dimenangi oleh Jokowi.

Akhirnya kalau tanpa mesin NU di tempat-tempat itu Jokowi akan kalah atau mungkin tergantikan oleh kandidat lain. Kedua memang Nahdliyin itu jumlah warganya banyak sekali walaupun jumlah warga NU yang puluhan juta, dan ada survei kalau dihitungkan jumlahnya ada 90 juta.

Karena praktis 50 persen jumlah musim di Indonesia yang menjalankan tradisi NU, artinya dengan angka yang besar sekali ini saya kira memang NU menjadi salah satu penentu.

Di mana suara NU itu mengarah ya kandidat itu kemungkinan akan punya kans memenangi Pilpres yang lebih besar ketimbang yang tidak bisa dapat dukungan. Itu juga saya yang menjelaskan orang seperti misalnya Prabowo yang bukan dari kalangan pesantren dan tidak akrab dengan tradisi pesantren itu keliling ke pesantren-pesantren terutama di Jawa Timur.

Karena saya kira timnya sadar benar bahwa kalau Prabowo ini bisa mengambil hati kyai-kyai itu akan memberikan efek elektoral yang luar biasa. Tetapi kan pada dasarnya saya kira warga NU tahu kalau Pak Mahfud dari dalam pesantren.

Studinya sebelum studi hukum adalah Sastra Arab di situ jadi saya kira warga NU tahu bahwa Pak Mahfud lebih mewakili mereka, lebih merepresentasikan mereka ketimbang misal Pak Prabowo.

Kalau kita membandingkan Pilpres 2019 kalau tidak salah Anda juga sebagai salah satu tim pemenangan Pak Jokowi?

Saya enggak menjadi tim resmi.

Kalau kita membandingkan dengan Pilpres tahun ini apa yang membedakan?

Ya buat saya tentu Pilpres sekarang itu menjadi lebih ini mengherankan. Kalau saya dulu dua kali membantu Pak Jokowi, Pilpres 2014 saya membantu beliau saya ketemu langsung sama Pak Jokowi.

Saya pernah makan satu meja bareng Pak Jokowi karena saya anggap bahwa dia orang kandidat yang mungkin bisa dititipin salah satu mimpi reformasi. Ada banyak mimpi reformasi yang belum terwujud dan saya waktu itu punya harapan Pak Jokowi paling tidak memperpendek kesenjangan misalnya Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur secara umum.

Dan juga misal antara Jawa dan luar Jawa saya punya harapan seperti itu dan yang kedua juga karena rivalnya Pak Prabowo yang saya anggap tidak laik untuk sebenarnya menjadi pemimpin di negeri ini karena dengan catatan-catatan kesalahannya yang sebenarnya kategorinya dosa besar istilahnya gitu ya.

Beliau pria militer yang nyampe kesalahannya itu membuat dia dipecat dari militer karena terlibat peristiwa penculikan dan penghilangan nyawa orang. Jadi buat saya itu dosa besar yang seharusnya membuat Pak Prabowo itu tidak bisa lagi untuk berkonsentrasi politik.

Tetapi 2014 dia nyalon lagi dan kansnya besar, pada Pilpres 2009 sebelumnya Pak Prabowo wakilnya dari Ibu Mega tapi waktu itu saya menganggap kansnya kecil jadi saya enggak ikutan karena saya enggak yakin dia akan menang.

Tetapi 2014 saya kira itu mengkhawatirkan karena Pak Prabowo mungkin menang maka kemudian orang-orang seperti saya yang punya background aktiviis itu membantu Pak Jokowi .

Selain Pak Jokowi juga punya track record yang cukup baik waktu memimpin Solo dan juga menjadi Gubernur DKI.

Dan kemudian 2019 Pak Prabowo masih maju lagi yang kansnya juga besar lagi maka itu juga membuat saya tergerak untuk ini enggak boleh gitu.

Hukum yang tidak mampu mengadili Pak Prabowo harusnya politik mampu menghukum dia nah di situ jadi cara menghukum politik ya harus dikalahkan itu 2019.

Nah sekarang menjadi agak rumit karena orang yang menjadi alasan saya mendukung Pak Jokowi hari ini justru kesannya didukung oleh Pak Jokowi. Nah ini yang menurut saya absurd. Pak Jokowi menganggap Pak Prabowo yang sebelumnya rival politik itu dijalankan sebagai presiden.

Secara umur beliau (Pak Prabowo) sudah makin sepuh kalau 2014 kan masih segar, 2019 juga masih oke. Kenapa? Lagipula kan di Indonesia ini ada banyak orang yang mungkin lebih laik, atau mungkin karena kekuasaan, karena Pak Prabowo kuat, partainya kuat, pembiayaannya kuat dan segala macam.

Tapi ini kan ironis karena bahwa banyak sekali orang yang mendukung Pak Jokowi 2014-2019 karena tidak menginginkan Pak Prabowo jadi presiden sekarang Pak Jokowi membantu atau mendukung Pak Prabowo untuk jadi presiden.

Jadi buat saya ini ada agak absurd gitu tapi ya udah saya terima bahwa ini realitas politik saja dan saya sudah memutuskan membantu Pak Mahfud dan Mas Ganjar untuk meyakinkan warga Indonesia bahwa ini pasangan yang lebih laik.

Kalau menurut Mas Savic perubahan dari Pak Jokowi apa sih?

Saya pribadi jujur memberi catatan terutama di periode kedua Pak Jokowi saya bilang ini tidak cukup berhasil. Saya senang dengan periode pertama karena nggak ada ketua partai yang dijadikan menteri. Sejumlah menteri dari profesional.

Pak Jokowi punya menteri-menteri ada Bu Susi yang mungkin melakukan gebrakan kemudian sempat ada Pak Jonan saya pikir ada beberapa menteri yang etosnya kerja dan relatif bebas kandang waktu periode pertama gitu.

Karena waktu itu Pak Jokowi semangatnya tidak akomodatif kepada partai-partai. Tetapi di periode kedua pendekatannya Pak Jokowi sudah beda di periode kedua Pak Jokowi menjadikan banyak ketua partai atau petinggi partai menjadi menteri yang kemudian itu yang saya berimplikasi pada banyaknya kasus korupsi dan angkanya nggak tanggung-tanggung.

Angkanya enggak tanggung-tanggung triliun dari kasus misal BTS itu di Kominfo, ada banyak kasus-kasus yang lain juga seperti Jiwasraya, Asabri kemudian kasus infrastruktur jalan tol yang mencapai Rp1,2 triliun.

Nah saya kira pergeseran pendekatan Pak Jokowi yang mungkin lebih mementingkan stabilitas itu berdampak pada maraknya korupsi di periode kedua. Mungkin Pak Jokowi agak trauma dengan 212 dengan serangan dari Gerindra dan Demokrat yang sangat keras seperti itu sebagai oposisi.

Ada Fadli Zon, ada Fahri Hamzah yang setiap hari mungkin menyerang Pak Jokowi di periode pertama. Dan mungkin Pak Jokowi agak terganggu dengan itu dan periode kedua dia menggunakan pendekatan yang berbeda dia berusaha merangkul partai-partai ini begitu.

Bahkan Prabowo dimasukkan padahal rival di Pilpres tapi dijadikan menteri, dia berusaha agar mungkin enggak diributin dan kemudian biar situasi Itu stabil adem, dan mungkin harapannya biar enak dia bekerja karena nggak diributin.

Tapi yang terjadi kan kita tahu banyak project juga enggak sesuai harapan mungkin dan justru korupsinya merebak. Ini yang sangat disayangkan gitu loh jadi pendekatan akomodatif terhadap partai-partai justru membuat segera korupsi merebak.

Yang saya tangkap Anda kecewa dengan Pak Jokowi kemudian mendukung pencalonan Ganjar-Mahfud?

Di dalam politik saya tidak punya kekecewaan pribadi tetapi saya akan bertindak yang kira-kira mendorong ekosistem yang lebih baik. Saya sudah lama enggak kecewa dalam politik.

Tapi saya berpikir kalau sesuatu ini implikasinya buruk saya harus bekerja menahannya dan kalau sesuatu ini implikasinya baik saya akan bekerja untuk ikut mendorongnya. Jadi enggak ada urusan kecewa, saya membantu dua kali dan enggak berharap apa-apa.

Saya punya kompetensi dan merasa cukup dengan apa yang saya memiliki. Saya juga merasa bisa menanggung hidup jadi saya enggak berharap apa-apa terhadap kekuasaan.

Saya beberapa kali ketemu Pak Jokowi ya makan bareng. Saya pernah ngomong jadi semacam narasumber mewakili teman-teman, bahkan dua bulan yang lalu saya masih masih ada di sebuah acara yang berdiri di sampingnya Pak Jokowi di Sentul.

Itu baru beberapa bulan yang lalu artinya apa tadi bahwa saya sebagai warga negara dan saya sebagai mantan aktivis yang punya aspirasi terkait demokrasi, terkait pemisahan kekuasaan, terkait pemberantasan kemiskinan, terkait KKN, terkait memperpendek gap Jawa luar Jawa.

Dalam konteks itu mungkin istilah kecewa bukan hal yang tepat.

Pak Jokowi masih punya mimpi mungkin, Pak Jokowi masih memiliki agenda dan saya percaya itu. Tapi saya kira pendekatannya dengan mengakomodasi partai-partai justru bikin blunder. Bukan kemajuan yang dicapai tapi justru hal-hal buruk terjadi seperti korupsi, ada banyak kepentingan yang nempel di dalam kekuasaan dan itu lazim.

Jadi memang oligarki itu konsekuensi yang tak terelakan di dalam partai-partai makanya ada sebuah buku yang membahas oligarki di dalam partai politik. Maka disebut Iron Law, hukum besi karena itu tak terelakan.

Saya membaca referensi-referensi itu jadi buat saya di dalam politik tidak ada kecewa. Tetapi bahwa kita berpikir bahwa Indonesia ke arah yang benar dan lewat mekanisme yang benar di situ saya melihat Pak Jokowi di periode keduanya saya sudah punya keprihatinan.

Kita kembali ke Ganjar-Mahfud, mungkin kalau di Pulau Jawa lebih mudah mapping, strategi apa akan dilakukan di luar Jawa misalnya di Kalimantan, Sumatera, Bali, atau di Papua?

Saya tidak sepenuhnya bisa cerita tentang strategi seperti apa. Tapi secara umum adalah Pak Mahfud orang yang laik karena bersih, Pak Mahfud orang yang blak-blakan, orang yang tegas dan orang yang menghormati aturan main hukum.

Dan track recordnya sudah lama dan Pak Mahfud punya background pesantren yang kuat sehingga dia juga akan peka dengan misal dunia pesantren.

Kepentingan-kepentingan pesantren seperti itu, kita menyaksikan bahwa berdasarkan survei itu kelaikan Pak Mahfud paling tinggi dibanding cawapres yang lain bahkan dibanding capres.

Di antara orang yang mengenal Pak Mahfud umumnya itu positif. Jadi Pak Mahfud nasional bukan hanya di Jawa bahkan bukan hanya kalangan pesantren NU bukan hanya nahdliyin.

Karena memang justru diskursus yang dibangun Pak Mahfud sebenarnya rasional sering berbicara soal hukum, soal toleransi, soal keberagamaan. Ini kan hal-hal pada dasar menjadi concern semua masyarakat bukan hanya di Jawa.

Saya kira Mas Ganjar juga mewakili dia ketika jadi Gubernur Jawa Tengah. Dia sangat tahu saya kira problem masyarakat yang di level bawah dan level menengahnya Jawa Tengah.

Salah satu isu komitmen sekarang ini kan di keluarga miskin itu harus ada yang dapat dukungan beasiswa agar dia bisa jadi sarjana dan satu keluarga miskin satu sarjana.

Karena kita percaya bahwa ya pendidikan itu kunci untuk masa depan dalam sebuah keluarga jika ada yang mendapatkan pendidikan tinggi dia yang akan bisa membawa keluarganya itu keluar dari jurang kemiskinan.

Nah di situ pendidikan adalah cara terbaik karena dengan wawasan itu orang bisa melihat kesempatan-kesempatan dan punya skill dan knowledge baru yang membuat dia bisa mengatasi masalah-masalahnya.

Kemampuan dia untuk mengambil keputusan tidak akan lebih baik makanya saya kira itu satu contoh gitu kemudian di segmen pemilih muslim gitu kan misal kemarin kita diskusi bahwa masyarakat Indonesia itu masyarakat yang sangat religius ibaratnya 94 persen penduduk Indonesia itu memang religius.

Dan 90 persen rata-rata ada beberapa di beberapa wilayah yang mungkin 87 persen itu pada suatu saat ada yang muslim, katolik, kristen, hindu karena taat pada rajin menjalankan kewajibannya sebagai umat beragama.

Nah makanya kemudian banyak orang misalnya kalau di Islam itu kan semua orang tua itu punya concern agar anaknya bisa baca Al-Quran bukan semata dia pintar science, pintar matematika, pintar biologi, pinter bahasa Inggris, pintar apa coding atau programming atau komputer.

Tapi banyak orang tua itu di umur-umur pendidikan dasar pengin semuanya anaknya bisa baca Al-Quran. Nah itu tinggi sekali tapi kita tahu bahwa penghargaan terhadap guru-guru ngaji itu masih sangat rendah kalau dibandingkan penghargaan terhadap guru ngaji dan penghargaan terhadap guru bahasa Inggris atau guru les matematika kan beda banget.

Artinya walaupun kita ini menganggap sangat penting agama, sangat penting baca Al Quran tapi penghargaan kita terhadap guru-guru agama itu sangat rendah.

Saya sendiri ini kan pernah kuliah di IAIN saya kira standar gaji beda banget, artinya ini kan ada paradoks. Kita ini menganggap penting agama tapi pengerjaannya terhadap mereka yang punya kantong untuk merawat kehidupan beragama itu rendah. Nah Pak Mahfud punya kesadaran itu.

Makanya mulai dipikirkan teman-teman harus ada insentif terhadap guru-guru ngaji. Terhadap masjid misalnya, jadi dihitung APBN kemungkinannya berapa kenapa karena mereka adalah orang-orang yang selama ini juga menjadi tulang punggung.

Sampai hari ini pengakuannya belum bagus padahal kita ini udah punya undang-undang pesantren yang punya semangat untuk mengakui dunia pesantren tetapi sekarang pengakuan itu belum sepenuhnya ada.

Misal orang yang lulusan pesantren ijazahnya nggak bisa dipakai melamar kerja, ditolak gitu bisa nanti kan itu diskriminasi enggak ada pengakuan.

Dulu saya ini lulusan saya pesantren, enggak punya ijazah SMA saya enggak bisa kuliah ke perguruan tinggi negeri. Saya harus nunggu 1 tahun ikut ujian persamaan saya baru bisa ikut masuk perguruan tinggi negeri.

Ini kan harusnya enggak boleh lagi terjadi, recognisi yang kedua kan soal afirmasi dan tinggal fasilitasi. Jadi hal begini Pak Mahfud kan cukup paham dan akan memperjuangkannya artinya apa Pak Mahfud ini sebagai orang yang ahli hukum dari dulu sama seperti itu cara berpikirnya adalah menata hal-hal yang fundamental yang penting menjadi syarat agar kehidupan berbangsa dan bernegara ini benar baik untuk semua.

Hukum bukan hanya tajam kebawah tapi juga semua ke atas semua harus setara di depan hukum. Pak Mahfud orang hukum yang punya komitmen seperti itu beliau juga dari kalangan dunia pesantren yang sangat peka terhadap isu-isu terkait pesantren misalnya itu salah satu contoh. (tribun network/reynas abdila)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved