Pilpres 2024
Gibran Jadi Sorotan: Di Mana Warisan Jokowi Bertemu dengan Ambisi Prabowo
Putra Presiden Joko Widodo akan mencalonkan diri pada pemilu tahun depan sebagai calon wakil presiden Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Oleh Virdika Rizky Utama
POS-KUPANG.COM - Putra Presiden Joko Widodo akan mencalonkan diri pada pemilu tahun depan sebagai calon wakil presiden Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Apa implikasinya bagi demokrasi Indonesia?
Pengumuman kemarin bahwa Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo, akan menjadi cawapres dari Prabowo Subianto, ketua Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), telah menggemparkan kuali politik di Indonesia.
Langkah signifikan ini menimbulkan pertanyaan mengenai demokrasi, politik dinasti, dan keterwakilan pemuda dalam lanskap politik nusantara.
Bagi orang yang melihatnya, langkah ini menunjukkan jejak dinasti. Demokrasi Indonesia, yang dinamis dan hidup sejak jatuhnya Suharto pada tahun 1998, selalu tertatih-tatih antara etos demokrasi murni dan iming-iming kekuasaan terpusat. Jokowi sendiri bisa dilihat sebagai representasi demokrasi akar rumput.
Perjalanan singkatnya dari seorang pengusaha mebel hingga menjadi Wali Kota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta, dan kemudian menjadi presiden, menggarisbawahi narasi bahwa siapa pun bisa mengincar jabatan tertinggi di Indonesia.
Namun, dengan naiknya Gibran selama beberapa tahun terakhir, terjadi sedikit perubahan. Walaupun wali kota Surakarta yang masih muda tentu saja memiliki pengaruh politik, menjadi putra seorang presiden yang menjabat menawarkan keuntungan yang sulit ditandingi oleh kandidat lain.
Hal ini terutama benar jika kita menganggap Gibran didukung oleh kekuatan penuh Koalisi Indonesia Maju yang diusung Prabowo, termasuk partai-partai yang dipimpin oleh keluarga Jokowi.
Pergantian peristiwa ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut. Dengan masuknya Gibran dalam pemilu tanggal 14 Februari (2024), persepsi ketidakberpihakan dan kredibilitas masa jabatan presiden Jokowi akan diuji secara kritis. Kesucian proses pemilu berpotensi terancam, sehingga mengundang perenungan mengenai kemungkinan Jokowi memanfaatkan aparatur negara untuk meningkatkan perolehan suara putranya dalam pemilu.
Putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini yang menurunkan batas usia bagi calon presiden dan wakil presiden, asalkan mereka terpilih untuk menduduki jabatan regional atau lokal – keputusan yang membuka jalan bagi Gibran yang berusia 36 tahun untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden – telah dilihat oleh banyak orang sebagai gambaran terhadap pertumbuhan populasi muda di Indonesia. Pada tahun 2024, 60 persen pemilih akan terdiri dari generasi millenial dan Gen Z, sebuah angka yang terlalu signifikan untuk ditiru oleh para politisi.
Gugatan perubahan ini diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang ketua umumnya kini dijabat oleh Kaesang Pangarep, adik Gibran, meski saat gugatan diajukan Kaesang belum menjadi ketua umum partai tersebut. Patut dicatat juga bahwa Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman merupakan kakak ipar Jokowi.
Baca juga: BREAKING NEWS: Setelah Partai Golkar, Partai Gerindra Juga Resmi Umumkan Gibran Jadi Cawapres
Mengingat ikatan kekeluargaan tersebut, tuduhan nepotisme dan dinasti politik tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, pencalonan Gibran dapat diartikan sebagai upaya menjembatani kesenjangan generasi dan sebagai wujud pengaruh kekeluargaan dan politik.
Secara historis, gerakan pemuda di Indonesia telah memainkan peran yang transformatif. Sumpah Pemuda tahun 1928 bukan sekadar deklarasi, melainkan sebuah kekuatan untuk melawan kekuasaan kolonial. Demikian pula, gerakan Reformasi setelah jatuhnya Suharto pada tahun 1998 didominasi oleh aktivis pemuda dan mahasiswa.
Jika dibandingkan dengan gerakan akar rumput yang sesungguhnya dengan kebangkitan Gibran, orang mungkin mempertanyakan apakah semangat keterwakilan pemuda masih tetap konsisten.
Keterwakilan generasi muda harus dijauhkan dari sekedar tokenisme; untuk benar-benar mewakili generasi muda, kandidat harus menyampaikan aspirasi, tantangan, dan harapan mereka melampaui usia.
Penunjukan Gibran berisiko dipandang sebagai langkah strategis, memanfaatkan masa mudanya untuk memikat pemilih muda, namun belum tentu mewakili aspirasi mereka yang sebenarnya.
Oleh karena itu, keputusan Mahkamah Konstitusi, meskipun seolah-olah mencerminkan demografi generasi muda Indonesia, ditanggapi dengan skeptis, terutama mengingat bahwa keputusan tersebut bertepatan dengan rumor pencalonan Gibran.
Pasca keputusan tersebut, sentimen negatif masyarakat terhadap Gibran mencerminkan dugaan adanya manipulasi ketentuan hukum untuk mengakomodasi ambisi politik.
Hal ini dipandang oleh banyak orang sebagai kekhilafan atau bahkan kecerobohan dari pihak Prabowo dan koalisinya. Mereka mungkin salah memperhitungkan reaksi pemilih dengan memprioritaskan aliansi strategis dibandingkan sentimen publik.
Persepsi nepotisme, yang diperkuat oleh keputusan pengadilan, telah meningkatkan pengawasan publik terhadap pencalonan Gibran. Bagi banyak orang, langkah ini tidak tampak sebagai upaya tulus untuk menjembatani kesenjangan generasi, melainkan lebih sebagai permainan strategis untuk mengkonsolidasikan kekuasaan.
Prabowo, seorang politisi kawakan dan menteri pertahanan, telah melihat naik turunnya politik Indonesia. Meskipun ia gagal mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada tahun 2009 dan menjadi presiden pada tahun 2014 dan 2019 melawan Jokowi, ketangguhan mantan jenderal tersebut tidak dapat disangkal. Sejarah ini membuat hubungan strategisnya dengan Gibran, putra mantan musuhnya, menjadi semakin menarik.
Dengan bekerja sama dengan Gibran, Prabowo mungkin ingin mengawinkan agenda politik dan ekonomi Gerindra yang kuat dengan daya tarik baru dari wali kota muda tersebut.
Aliansi ini menandakan lebih dari sekadar manuver politik; Hal ini menunjukkan dinamika politik Indonesia yang berubah-ubah, dimana persaingan di masa lalu dapat dikesampingkan demi keuntungan yang dirasakan di masa depan.
Keputusan Prabowo dan koalisinya untuk mengangkat Gibran bukan sekadar produk kenyamanan politik; ini adalah pertaruhan yang diperhitungkan dengan cermat. Tapi kenapa Gibran?
Di permukaan, aliansi ini berupaya memanfaatkan jaringan kuat yang dimiliki Jokowi, yaitu kekuatan, modal, dan relawan akar rumput. Namun, lanskap politik seringkali lebih kompleks dari apa yang terlihat.
Langkah ini, meski tampak menguntungkan, berisiko menjadi bumerang. Bersekutu dengan Gibran dapat melemahkan warisan Jokowi. Momok politik dinasti yang membayangi, dikombinasikan dengan penggambaran Gibran sebagai penerima hak istimewa, dapat mengasingkan kelas menengah perkotaan dan kelompok masyarakat yang selama ini menjadi favorit Jokowi.
Demografi ini, yang pernah menjadi benteng dukungan bagi Jokowi, dapat mengarah pada dua pesaingnya dalam pemilu presiden, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.
Selain itu, keberpihakan seperti itu dapat mengurangi jumlah suara pendukung tradisional Jokowi dan pendukung setia Prabowo. Sebagian besar loyalis Prabowo pada pemilu tahun 2014 dan 2019 serta mereka yang menentang Jokowi mungkin tertarik pada Anies.
Mengingat posisi Anies yang konsisten sebagai antitesis terhadap Jokowi dan fokusnya pada perubahan dibandingkan kesinambungan, ia mungkin lebih menarik bagi para pemilih dibandingkan Ganjar atau Prabowo.
Manuver Jokowi di papan catur politik ini mengisyaratkan motivasi yang lebih mendalam: keinginan untuk memperkuat warisannya. Namun, apakah pelestarian warisan sebanding dengan potensi pengucilan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang berkuasa?
Dalam permainan rumit ini, Gibran lebih dari sekadar pion atau ksatria; dia mungkin akan menjadi wakil Jokowi, dan ditempatkan secara strategis untuk mencapai tujuan akhir di masa depan.
Bagi Gibran, pertaruhannya juga bersifat pribadi. Dia memiliki ambisi yang kuat untuk memerintah dan mengetahui risiko politik dari perkumpulan keluarga.
Pengalaman Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi latar belakangnya. Pada tahun 2017, AHY mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta, namun ambisinya tersebut gagal, bisa dibilang karena ayahnya sudah tidak lagi memegang kendali kekuasaan.
Gibran merasakan lintasan serupa untuk dirinya sendiri; jika ia mempertimbangkan untuk mencalonkan diri sebagai gubernur atau wakil presiden setelah Jokowi menyelesaikan masa jabatannya, ia mungkin akan dirugikan tanpa adanya perlindungan dari ayahnya yang sedang menjabat.
Kesadaran ini menambah urgensi upaya politiknya saat ini. Kekalahan saat ini, ketika ayahnya masih memegang kekuasaan, dapat menutup peluang Gibran di masa depan untuk naik jabatan politik.
Ini adalah tindakan penyeimbang, di mana Gibran harus memastikan bahwa ambisi politiknya tetap sesuai dengan kepercayaannya dan kepercayaan para pemilih terhadapnya.
Namun, ujian sesungguhnya bagi Gibran ada di depan. Meskipun ia menikmati hak istimewa dalam politik dinasti, hal ini juga akan menimbulkan pengawasan. Sebagai calon wakil presiden, Gibran harus membuktikan dirinya lebih dari sekadar anak Jokowi. Meskipun relatif singkat, masa jabatannya sebagai Walikota Surakarta cukup menonjol.
Namun tantangan di tingkat nasional lebih kompleks. Mulai dari kebijakan luar negeri hingga keputusan ekonomi, dari penanganan kompleksitas agama hingga pengelolaan aspirasi nusantara yang beragam, posisi ini menuntut lebih dari sekadar semangat muda. Hal ini membutuhkan kedewasaan, kebijaksanaan, dan kemampuan untuk melampaui keuntungan keluarga.
Singkatnya, narasi politik yang berkembang di Indonesia, setelah naiknya Gibran, tidak hanya menyangkut pencalonan saja; ini adalah komentar tentang keadaan demokrasinya. Aliansi antara Jokowi dan Prabowo untuk mendorong generasi muda menduduki kursi wakil presiden mungkin tampak progresif di permukaan.
Namun, sebagaimana disebutkan di atas, hal ini berisiko dipandang sebagai politisasi sinis terhadap kaum muda, yang bertujuan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan bukannya mewakili aspirasi kaum muda.
Strategi ini, jika berhasil, dapat menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi Indonesia, dimana usia menjadi sebuah topeng bagi kepentingan politik, dan keterwakilan yang sejati tidak lagi diutamakan.
Singkatnya, Indonesia berada pada titik persimpangan antara peran politik dinasti, keterwakilan pemuda, dan cita-cita demokrasi. Para pemilih muda akan memainkan peran penting dalam menentukan arah negara selanjutnya, dan bertugas untuk membedakan keterwakilan sejati dari strategi politik.
Bagi masa depan demokrasi Indonesia, sangat penting bagi generasi muda untuk terwakili secara otentik dan tidak hanya dijadikan pion dalam permainan politik yang lebih besar.
Masa depan negara ini bergantung pada pelestarian esensi demokrasi dan tidak membiarkan kekuasaan dinasti yang strategis menutupinya.
Virdika Rizky Utama adalah Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Shanghai Jiao Tong
(thediplomat.com)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.